17 March 2009

Menghindari Skenario Terburuk Sengketa Pemilu

Published by KOMPAS, 30 March 2004
 
Analisis Pemilu
 
Oleh Refly Harun, 
Asisten Hakim Konstitusi
 
    BAGI Mahkamah Konstitusi, perhelatan pemilu baru akan terjadi 
saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil penghitungan suara 
secara nasional. Menurut UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003, hasil 
penghitungan suara harus sudah diumumkan paling lambat 30 hari 
setelah pemungutan suara. KPU sendiri menargetkan akan mengumumkan 
hasil penghitungan pada 25 April 2004.
    Yang diumumkan adalah penghitungan suara manual, dari tingkat 
tempat pemungutan suara (TPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK), KPU 
kota/kabupaten, provinsi, hingga KPU Pusat. Hasil pencoblosan 
sendiri, menurut Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, sudah bisa 
diketahui 9 jam setelah hasil penghitungan suara tiap TPS sampai ke 
PPK. Dari PPK data langsung dientri ke data center KPU.
    Selama 3 x 24 jam setelah 25 April itulah Mahkamah Konstitusi 
(MK) akan ketiban "pesta" berupa gugatan sengketa hasil pemilu. 
Seandainya di tiap daerah pemilihan terdapat seorang caleg yang 
mempersoalkan hasil pemilu, maka MK akan menuai 2.055 perkara. 
Perhitungannya, jumlah daerah pemilihan (DP) anggota DPR adalah 69, 
DP DPRD provinsi 210, DP DPRD kota/kabupaten 1.744, dan DP DPD 32 
sehingga jumlah seluruhnya mencapai 2.055 daerah pemilihan.
    Perkara-perkara tersebut harus diselesaikan dalam 30 hari. 
Artinya, tiap hari MK harus menyelesaikan 68-69 perkara atau 2-3 
perkara per jam. Artinya lagi, dalam 25 menit pertama sejak perkara 
didaftar, sudah harus ada yang diputus! Ini perhitungan penyelesaian 
bila para hakim dianggap tidak tidur dan terus bekerja selama 30 x 24 
jam!
    Kontras dengan hal itu, jumlah hakim MK dibatasi sembilan orang 
saja. Semuanya harus terlibat. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi 
tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilu (PMK Pemilu), MK 
dibolehkan membentuk panel hakim yang terdiri atas tiga hakim untuk 
memeriksa sengketa pemilu. Tetapi, untuk mengambil putusan dan 
membacakan putusan, sembilan hakim harus terlibat. Bisa kurang dari 
sembilan, tetapi tidak boleh kurang dari tujuh hakim. Itu pun dua 
hakim yang berhalangan harus punya alasan yang dibolehkan UU 
(meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya).
    Sembilan hakim dengan ribuan perkara itulah skenario terburuk 
penyelesaian perselisihan hasil pemilu. Melihat watak parpol dan 
caleg selama ini, yang umumnya hanya siap menang tetapi tidak siap 
kalah, prediksi ribuan kasus itu tidak mengada-ada.
    Pertanyaan krusialnya, bagaimana MK meng-handle semua ini? Ada 
dua jalan. Pertama, persiapan internal MK. Sejauh ini hakim-hakim MK 
telah menyadari kemungkinan tumpukan perkara itu. Untuk itu sudah 
dibentuk dua tim, yaitu tim asistensi perselisihan hasil pemilu dan 
tim pembuatan peraturan perkara pemilu. Tim kedua telah menyelesaikan 
PMK Pemilu dan model-model permohonan sengketa yang akan membuat 
perkara dapat segera ditangani. Adapun tim kedua sudah mengadakan 
beberapa kali pertemuan untuk menginventarisasi masalah yang mungkin 
timbul.
    Namun, persiapan saja tidak cukup. Tanpa berpretensi mewakili MK, 
saya mengimbau masyarakat, terutama caleg, agar tidak "sembarang" 
menyoal sengketa hasil pemilu ke MK. Sebab, tidak semua sengketa 
pemilu bisa diajukan ke MK. Yang bisa diajukan cuma perselisihan 
hasil pemilu yang ditetapkan secara nasional oleh KPU. Sengketa pada 
tahapan penyelenggaraan pemilu, misalnya pelanggaran pemilu, 
merupakan wewenang Panwas. Bila mengarah kepada pelanggaran pidana, 
Panwas meneruskannya kepada penyidik. Bila pelanggaran hanya bersifat 
administratif, Panwas meneruskan ke KPU. Dan, bila sengketa itu tidak 
mengandung unsur pelanggaran, Panwas sendiri yang menyelesaikan.
    Juga tidak tiap sengketa hasil pemilu bisa diajukan ke MK. 
Menurut UU No 24/2003, sengketa yang bisa diajukan adalah yang 
mempengaruhi: (1) terpilihnya calon anggota DPD; (2) perolehan kursi 
parpol peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.
    Bila suara yang dipersoalkan tidak cukup signifikan-misalnya 
untuk calon anggota DPD tidak akan menggeser minimal urutan nomor 
empat dan untuk calon anggota DPR tidak menambah jumlah kursi partai-
permohonan itu dinilai tidak memenuhi syarat dan tidak layak 
diperiksa. Permohonan seperti ini akan dinyatakan tidak dapat 
diterima, artinya hakim tidak lagi memeriksa materi pokok perkara. 
Bila perkara yang dipersoalkan tidak cukup signifikan, ada baiknya 
tidak diajukan agar (maaf) tidak merepotkan MK.
    UU MK juga membatasi pihak-pihak mana saja yang bisa mengajukan 
permohonan. Dalam konteks pemilu legislatif, yang bisa mengajukan 
hanya calon anggota DPD dan parpol peserta pemilu (tidak 
perseorangan). Saat ini cuma 1.940 caleg DPD dan 24 parpol yang boleh 
mengajukan.
    Perseorangan calon anggota DPR yang ingin mengajukan sengketa ke 
MK harus melalui DPP masing-masing, tidak bisa langsung ke MK. Dengan 
demikian, kerepotan juga bakal dialami DPP parpol peserta pemilu. 
Apakah DPP parpol siap melanjutkan aspirasi para caleg yang ingin 
menyoal sengketa hasil pemilu, apalagi bila yang harus diurus ribuan 
permohonan.
    Sebagai penutup, saya ingin mengungkap lagi 9 poin kesepakatan 24 
parpol peserta pemilu pada 6 Februari. Dalam konteks perselisihan 
hasil pemilu, penting diungkapkan kesepakatan nomor 9 bahwa parpol 
peserta pemilu akan menghormati dan menghargai hasil Pemilu 2004 yang 
ditetapkan KPU. Andai kesepakatan ini dipegang, tentu tidak akan ada 
yang menyoal hasil pemilu. Dengan begitu, MK akan terhindar dari 
impitan perkara. Kalaupun ada perkara yang masuk, betul-betul 
selektif. Bukan perkara iseng dari para caleg yang tidak bersedia 
kalah. Mudah-mudahan skenario buruk ini tidak pernah terjadi. *

No comments: