17 March 2009

Halo, Koalisi Konstitusi Baru?

(Hello, the Coalition of New Constitution?)


Published by the Indonesian media

Koran Tempo, 27 Desember 2003


By Refly Harun

Former Member of the Coalition of New Constitution,

Working in the Constitutional Court


DI tengah hiruk-pikuk persiapan Pemilu 2004, isu tentang amandemen atau perubahan konstitusi rupanya tidak seksi lagi. Terbukti, coverage pemberitaan tentang kegiatan Komisi Konstitusi yang sudah berjalan selama tiga bulan di media massa terbilang sepi dibandingkan persiapan Pemilu 2004. Padahal, menurut keyakinan banyak kalangan, UUD 1945 dan perubahannya masih mengandung banyak persoalan. Karena itu, meski diberi mandat sekadar mengkaji perubahan UUD 1945, fungsi Komisi Konstitusi masih terbilang strategis, yaitu sebagai pintu gerbang untuk masuk ke dalam isu yang lebih besar, misalnya hadirnya konstitusi baru.

Kesepian itu bisa jadi karena hilangnya news maker isu amandemen selama proses perubahan UUD 1945, yaitu sekelompok penggiat lembaga swadaya masyarakat dan para dosen perguruan tinggi yang berhimpun dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB), atau yang sebelumnya dikenal dengan nama Koalisi Organisasi Nonpemerintah untuk Konstitusi Baru (Koalisi Ornop). Selama gonjang-ganjing perubahan UUD 1945, KKB telah muncul sebagai rival sepadan para anggota MPR, terutama anggota Badan Pekerja MPR yang menyiapkan rencana perubahan UUD 1945. Rivalitas dua kelompok ini berujung pada suatu perintah pembentukan komisi yang berjudul ’Komisi Konstitusi’ tetapi tanpa roh sama sekali. Tidak heran, salah seorang pemuka KKB, Bambang Widjojanto, melakukan aksi teatrikal berupa perobekan Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukan Komisi Konstitusi di Gedung MPR/DPR menjelang berakhirnya Sidang Tahunan MPR 2002.

Melalui pertemuan di Makasar, Sulawesi Selatan, 3-4 September 2002, KKB sebenarnya berancang-ancang untuk membentuk komisi konstitusi swasta yang sama sekali terpisah dengan komisi konstitusi bentukan MPR yang telah diamanatkan melalui Tap MPR Nomor I/MPR/2002 (Sinar Harapan, 4/9/02). Tetapi ide itu hanya sebatas ide, tidak melompat menjadi realitas. Ide tentang komisi konstitusi itu rupanya tidak seksi lagi sehingga tidak perlu diperpanjang. Padahal, di balik ide pembentukan komisi konstitusi terkandung maksud akan hadirnya konstitusi baru yang akuntabel baik dari segi substansi maupun prosedur pembuatannya seperti di Thailand dan Afrika Selatan.

Pertanyaannya, masih relevankah ide tentang konstitusi baru itu? Jawaban dari pertanyaan ini adalah pertanyaan lagi, yaitu apakah hasil dari rangkaian amendemen itu telah meletakkan kerangka yang kokoh bagi proses transisi demokrasi di Indonesia. Bahasa pasarnya, apakah kita sudah puas dengan konstitusi kita saat ini.

Harus diakui, beberapa materi yang diatur dalam perubahan UUD 1945 telah menerbitkan optimisme yang kuat, misalnya tentang parlemen berkamar dua (bikameral), pemilihan presiden secara langsung baik untuk putaran pertama maupun kedua, dan penghapusan unsur utusan golongan dalam MPR yang menutup pintu bagi perwakilan tentara lagi. Akan tetapi, sebagai sebuah konstitusi yang utuh, UUD 1945 dan perubahan-perubahan yang telah dilakukan jelas mengundang persoalan. Dari segi performa konstitusi misalnya, pilihan dengan cara melampirkan hasil amendemen menyebabkan konstitusi kita “tidak enak dipandang”. Dari pintu ini saja kebutuhan sebuah konstitusi baru terasa urgen.

Dari segi substansi, ada beberapa persoalan yang bisa dicatat, yang bukan tidak mungkin akan menjadi sumber sengketa ketatanegaraan di masa depan. Misalnya, tentang kecenderungan untuk “legislative heavy” (antara lain mengenai kewenangan mutlak DPR di bidang perundang-undangan yang tidak menyediakan mekanisme veto bagi eksekutif dan cenderung mengabaikan DPD), tentang impeachment yang mencampuradukkan proses hukum dan proses politik sekaligus, inkonsistensi pemilihan kepala pemerintahan antara di pusat dan di daerah yang semakin menyuburkan praktik politik uang (money politics), pemilihan presiden secara langsung yang tidak membuka calon independen, dan masih banyak lagi. Perbaikan-perbaikan seperti ini tidak cukup ditugaskan hanya kepada sebuah komisi konstitusi yang kewenangannya hanya “mengkaji” perubahan UUD 1945 seperti diamanatkan oleh Tap MPR Nomor I/MPR/2002, melainkan harus oleh sebuah komisi konstitusi yang memiliki wewenang jauh lebih luas, kalau perlu hingga membuat draf konstitusi baru ---apakah nanti bahan-bahan perubahan UUD 1945 akan menjadi raw materials apa tidak, itu soal lain.

Pada titik inilah ‘komisi konstitusi swasta’ dibutuhkan. Komisi ini akan bersanding dan bersaing dengan komisi konstitusi bentukan MPR. Rakyatlah yang kemudian akan menentukan mana komisi terbaik pilihan mereka. Siapa tahu, karena ada ‘pesaing’, komisi konstitusi bentukan MPR akan bekerja lebih maksimal sehingga mampu menghasilkan sebuah rancangan konstitusi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan panitia ad hoc Badan Pekerja MPR selama ini, dan memiliki keberanian untuk lepas dari belenggu ketetapan MPR yang membatasi wewenang mereka menjadi sekadar ‘komisi kajian konstitusi’. Sejauh ini Komisi Konstitusi bekerja sendirian dan terkesan tanpa kontrol publik melalui media massa.

Tradisi konstitusional

Ada soal lain mengapa pengerjaan konstitusi harus diulang dari awal. Proses amendemen UUD 1945 telah menghapuskan kesempatan emas bagi bangsa ini untuk melakukan pembelajaran politik melalui constitutional making process seperti yang dinikmati rakyat di Afrika Selatan dan Thailand. Pembelajaran itu bisa dilakukan kalau rakyat terlibat aktif dalam pembuatan (amendemen) konstitusi. Sayangnya, proses yang dilakukan MPR melalui Badan Pekerjanya sangat elitis dan minim partisipasi publik. Jangankan tercipta people’s constitution seperti di Afrika Selatan dan Thailand, informasi tentang telah dilakukannya perubahan itu saja masih terbatas pada masyarakat perkotaan, atau bahkan kota-kota besar saja.

Hasil poling IFES (International Foundation for Election Systems) baru-baru ini yang berhubungan dengan amendemen konstitusi cukup mencengangkan. Dari 3.000 orang yang disigi dari seluruh Indonesia ternyata 74% responden menyatakan tidak tahu UUD 1945 telah diamendemen, hanya 23% yang menyatakan tahu, dan sisa 3% tidak menjawab.

Mengapa pembelajaran melalui constitutional making process itu penting? Indonesia bisa dikategorikan negara yang tidak memiliki tradisi konstitusional yang solid seperti Amerika Serikat. Karena itu, yang dibutuhkan adalah sebuah konstitusi rinci untuk meminimalkan loop holes yang mungkin timbul. Dalam sejarah kita konstitusi yang sama (UUD 1945) dapat menjadi dasar bagi rezim yang sama sekali bertolak belakang: rezim demokratis (1945-1949) dan rezim otoriter (1959-1998). Kita tidak bertindak sebagai the guardian of constitution, melainkan hanya menjadi objek permainan rezim. Itu semua karena sense of belonging terhadap konstitusi itu sangat kurang karena sejak awal UUD 1945 memang dirancang secara elitis oleh para anggota BPUPKI yang notebene bentukan pemerintah Jepang.

Padahal, seperti dikatakan Nicholas Hasyom, mantan penasihat hukum Presiden Nelson Mandela (1994-1999) dan terlibat dalam constitutional making process di Afrika Selatan, praktik terbaik dari pembuatan suatu konstitusi setidaknya menekankan tiga elemen, yaitu (1) must ensure popular endorsement (harus menjamin persetujuan masyarakat luas); (2) should ensure not merely depth but breadth of support (seharusnya tidak semata-mata memastikan dalamnya dukungan masyarakat, melainkan juga luasnya dukungan itu), dan sebagai kata kunci (3) there should direct public participation in the making (and amending) of a constitution (harus ada partisipasi publik langsung dalam pembuatan [dan amendemen] suatu konstitusi). (Hasyom: 2002).

Reformasi konstitusi pada era saat inilah yang diharapkan mampu membuat tradisi konstitusional yang tidak solid itu menjadi kukuh. Sialnya, para anggota MPR telah ‘merampok’ kesempatan emas bagi rakyat Indonesia itu. Dan kekuatan di luar MPR yang selama ini vokal terlihat mati suri untuk proyek yang mungkin tidak lagi ‘seksi’ ini. Apa kabar Koalisi untuk Konstitusi Baru?***

Jakarta, 24 Desember 2003

No comments: