17 March 2009

Mimpi Buruk Sengketa Hasil Pemilu


By Refly Harun

Asisten Hakim Konstitusi;

Peneliti pada Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


Published by Suara Pembaruan, 11 March 2004


DI sebuah koran nasional saya pernah menulis tentang kemungkinan membludaknya sengketa atau perselisihan hasil pemilu yang bakal diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan jumlah daerah pemilihan (DP) untuk kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebanyak 1.968 (masing-masing 69, 208, dan dan 1.691), seandainya muncul satu saja sengketa hasil pemilu di masing-masing DP, maka MK akan menuai 1.968 permohonan. Ditambah permohonan dari calon anggota DPD yang gagal terpilih (32 provinsi masing-masing ‘menyumbang’ satu sengketa), semuanya menjadi genap 2.000 permohonan (dalam persidangan di MK tidak dikenal istilah “gugatan” melainkan “permohonan”). Permohonan itu harus diputus dalam jangka waktu 30 hari. Dengan demikian, setiap hari setidaknya harus diputus 66 kasus!

Padahal, jumlah hakim MK dibatasi sembilan saja, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Setiap putusan atas sebuah permohonan harus melalui pintu sembilan hakim ini dan dibacakan dalam suatu persidangan terbuka yang juga dihadiri kesembilan hakim. Bisa dibayangkan bagaimana bakal limbungnya institusi MK menangani sengketa hasil pemilu itu.

Masalah bakal makin bertambah-tambah seandainya para calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang kalah juga berbondong-bondong mengajukan permohonan. Saat ini, minus calon anggota DPD dari Papua yang belum jelas datanya, jumlah calon anggota DPD yang tercatat di Media Center KPU adalah 928 orang. Bakal semakin runyam lagi seandainya potensi sengketa itu tidak satu di masing-masing daerah pemilihan, tetapi dua, tiga, dan seterusnya. Kolega hakim konstitusi yang membaca tulisan itu dan kemudian berdikusi dengan saya berkomentar, “bagi saya, ini bukan bayangan, tetapi mimpi buruk!”

***

Prediksi yang “seram-seram” kerap dilontarkan untuk tujuan yang sebaliknya: tidak terjadi apa yang diprediksikan. Seorang rekan saya yang sedang menulis disertasi tentang reformasi konstitusi 1999-2002 di sebuah perguruan tinggi di Australia, pernah dengan gagahnya memprediksikan bahwa Sidang Tahun MPR 2002 yang menjadi pamungkas perubahan UUD 1945 bakal gagal dan reformasi konstitusi mengalami aborsi. Ternyata, meski tambal-sulam, ‘bopang-bopeng’, dan ‘compang-camping’ di sana sini, perubahan UUD 1945 bisa diparipurnakan. Pasal-pasal krusial seperti pemilihan langsung presiden untuk putaran kedua (second round) dan penghapusan utusan golongan yang menutup tentara menginjakkan kaki lagi di legislatif dapat disepakati.

Saya dan teman saya itu sebenarnya berada pada titik yang sama: tidak menginginkan apa yang dibayangkan terjadi. Dalam perspektif itulah bayangan mengenai timbunan sengketa hasil pemilu harus dibaca.

Para hakim MK sendiri sudah sejak awal mengantisipasi kemungkinan membludaknya sengketa hasil pemilu. Saat ini MK sudah membentuk tim asistensi untuk penyelesaian sengketa hasil pemilu yang melibatkan beberapa asisten hakim dan pihak-pihak luar yang dinilai memiliki kompetensi dalam perselisihan hasil pemilu. Sebagai langkah awal, Januari lalu tim telah mengadakan pertemuan dengan beberapa stake holder pemilu seperti Panwaslu, Forum Rektor, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) untuk memetakan posisi masing-masing dalam konstelasi Pemilu 2004. Bekerja sama dengan International Foundation for Election System (IFES), akhir Februari ini MK akan menggelar workshop yang akan memetakan masalah-masalah di seputar sengketa hasil pemilu dan berupaya membuat suatu manajemen perkara untuk menangani soal itu.

Mendahului workshop itu, ada beberapa hal yang menurut saya bisa diandalkan untuk menghapuskan bayangan seram tentang sengketa pemilu. Salah satunya adalah menerapkan secara ketat ketentuan penanganan sengketa hasil pemilu seperti termaktub dalam Pasal 74 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Ada tiga restriksi yang dimuat dalam UU MK itu, yaitu restriksi dari segi pemohon, materi permohonan, dan waktu permohonan.

Dari segi pemohon, Pasal 74 ayat (1) UU MK membatasi tiga pihak saja yang bisa mengajukan permohonan, yaitu (1) calon anggota DPD, (2) calon presiden/wakil presiden, dan (3) partai politik. Dari segi materi permohonan, Pasal 74 ayat (2) menyatakan permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD, penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden/wakil presiden serta terpilihnya pasangan calon presiden/wakil presiden, dan perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan. Lalu, dari segi waktu permohonan, Pasal 74 ayat (3) membatasi bahwa permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.

Dikaitkan dengan pemilihan legislatif 5 April nanti, yang paling potensial membanjiri meja hakim konstitusi adalah permohonan dari para calon anggota DPR dan DPRD yang tidak puas. Untuk anggota DPR yang memperebutkan 550 kursi saja, caleg yang tercatat lolos bertanding di KPU adalah 7.756 orang. Belum lagi caleg dari DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang sudah pasti jauh lebih banyak lagi. Namun, kendati mereka nanti berbondong-bondong menggugat hasil pemilu, hal itu harus dilakukan melalui dewan pimpinan pusat (DPP) partai yang berkedudukan di Jakarta. Mereka tidak boleh mengajukan sendiri permohonan ke MK. Dengan demikian, “kepusingan” itu tidak terjadi di MK, melainkan di DPP masing-masing partai.

Kalau ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan caleg partai yang menggugat hasil pemilu, hal itu akan menjadi tambahan pekerjaan bagi DPP untuk menyiapkan permohonan ke MK. Patut diragukan kesiapan partai untuk mengajukan suatu permohonan yang banyak itu. Apalagi, permohonan harus disiapkan dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 jam. Lebih dari waktu yang ditentukan itu, MK berhak menolak permohonan.

DPP pun belum tentu berkeinginan meneruskan permohonan ke MK karena bukan tidak mungkin sengketa terjadi justru di antara internal partai untuk memperebutkan kursi legislatif. Dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka (open list), hal itu mungkin saja terjadi. Misalnya, ada caleg yang memperoleh kurang sedikit saja dari bilang pembagi pemilih (BPP) untuk maju dengan mandat langsung. Karena yang bersangkutan didaftar di urutan bawah, otomatis yang berhak atas kursi adalah yang didaftar di urutan atas walaupun suara yang dihasilkan jauh lebih kecil dibandingkan calon tadi. Dalam keadan ini belum tentu DPP mau meneruskan permohonan sengketa itu ke MK karena yang didaftar di urutan atas umumnya memang orang DPP.

Untuk anggota DPD, persoalan yang akan mereka hadapi adalah rentang waktu 3 x 24 jam dan tempat mengajukan permohonan yang harus di Jakarta. Untuk masalah kedua, ada kecenderungan MK bakal menerima permohonan yang diajukan via faksimile atau email, tetapi rentang 3 x 24 jam tidak bisa dikompromikan lagi karena sudah merupakan ketentuan undang-undang.

Seandainya dengan restriksi di atas pun permohonan tetap membludak (karena misalnya banyak caleg yang mem-by pass DPP untuk langsung mengajukan sendiri permohonan dan MK tidak memiliki kapasitas untuk menolak permohonan), tim asistensi sengketa hasil pemilu bisa bekerja cepat untuk memotong pemohon yang tidak memiliki legal standing (kapasitas mengajukan permohonan).

Terhadap pemohon perseorangan caleg DPR/DPRD, tim asistensi bisa membuat catatan agar permohonan tidak dapat diterima sehingga hakim tidak perlu lagi memeriksa permohonan dan tinggal ketok palu. Terhadap permohonan yang pemohonnya memenuhi kualifikasi sebagai pemohon tetapi yang dimohonkan tidak bakal mempengaruhi terpilihnya anggota DPD (misalnya yang mengajukan keberatan adalah calon dengan peroleh suara peringkat di atas lima) atau mempengaruhi perolehan kursi partai, tim asistensi juga bisa memberikan catatan yang sama dan hakim tinggal ketok palu saja.

Pasal 75 UU MK menentukan bahwa pemohon harus menguraikan dengan jelas kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan menyampaikan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon. Hal ini sudah tentu tidak mudah kecuali partai memiliki tenaga/teknologi untuk penghitungan alternatif.

Mungkin saja ada ribuan kasus yang masuk, tetapi setelah melalui tim asistensi sengketa hasil pemilu, permohonan itu bisa jadi hanyalah “sampah” yang tidak pantas diperiksa lebih lanjut. Terhadap “sampah-sampah” itu tim asistensi tinggal membubuhkan sedikit catatan agar hakim menyatakan “permohonan tidak dapat diterima” karena tidak memenuhi kriteria Pasal 74 UU MK. Hakim tinggal ketok palu. Alhasil, yang betul-betul diperiksa dalam persidangan mungkin hanya beberapa kasus yang betul-betul berbobot. Karena itu, mereka yang akan mengajukan permohonan sengketa hasil pemilu sebaiknya berpikir ulang sebelum mengajukan permohonan dan membaca secara cermat ketentuan Pasal 74 UU MK.

Setelah merenung, saya kok (menjadi) optimistis bayangan seram saya dan mimpi buruk yang dikatakan kolega asisten hakim itu tidak pernah akan terjadi.***

(*Artikel ini pandangan pribadi penulis, tidak mewakili institusi MK)

Jakarta, 31 Januari 2003

Refly Harun

No comments: