17 March 2009

Memahami Mahkamah Konstitusi

Koran Tempo, 9 March 2004


By Refly Harun

Constitutional Court’s Judge Assistant


PERTAMA-tama saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas apresiasi rekan Saldi Isra atas putusan Mahkamah Konstitusi mengenai eks-PKI (Saldi Isra, “Menghormati Mahkamah Konstitusi, Koran Tempo, 3/3/04). Sejak dibacakan dalam persidangan terbuka di kantor Mahkamah Konstitusi, Jl Medan Merdeka Barat Nomor 7, Jakarta Pusat, 24 Februari lalu, putusan eks-PKI terus-menerus mendapatkan pujian –sesuatu yang saya khawatirkan bisa meninabobokan MK dan menjadikan beban bila suatu saat putusan yang dihasilkan tidak favorable bagi masyarakat.

Dukungan bahkan juga datang dari putra-putri korban PKI yang dikomandani Amelia Yani, putri mendiang Jenderal Ahmad Yani. Tentu ada pula yang mengkritik, seperti disampaikan beberapa fungsionaris Partai Golkar, antara lain Akbar Tandjung, Ibrahim Ambong, dan Mahadi Sinambela. Dalam perdebatan dengan saya di sebuah stasiun radio, Mahadi bahkan mengatakan delapan hakim yang mengabulkan tuntutan eks-PKI digantung saja bila ternyata terjadi apa-apa dengan bangsa ini di kemudian hari karena putusan MK itu.

Dalam tulisannya, rekan Saldi menyatakan, “Oleh karena itu, untuk menghormati putusan MK sebagai garda konstitusi (the guardian of constitution), dalam waktu dekat harus dilakukan revisi terbatas terhadap UU No. 12/2003.” Saran yang dimaksudkan sebagai follow-up putusan MK itu amat simpatik. Terlebih rekan Saldi menyatakan jangan sampai putusan MK menjadi macan kertas, mengingat putusan judicial review oleh Mahkmah Agung kerap tidak ditindaklanjuti.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepadanya, saran mulia rekan Saldi itu bisa diinterpretasikan seolah-olah putusan MK tidak akan bergigi kalau tidak ditindaklanjuti. Karena itu perlu ditindaklanjuti dengan cara melakukan legislative review terbatas terhadap pasal yang telah dibatalkan MK. Dalam pandangan sempit saya, rekan Saldi telah keliru memahami hakikat putusan MK. Sesuai dengan bunyi Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945, MK mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final (final and binding). Putusan MK tidak bisa dilawan dengan upaya-upaya hukum lain. Begitu dibacakan, saat itu pula putusan MK mengikat. Karena itu, terhadap putusan MK, tidak perlu dilakukan follow-up apa-apa.

Satu-satunya follow-up terhadap putusan MK adalah memuatnya dalam Berita Negara dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak putusan diucapkan. Tetapi hal ini tidak terkait soal efektifitas putusan MK, melainkan terkait dengan adanya fiksi hukum bahwa setiap orang dianggap tahu suatu undang-undang (dengan demikian tidak ada alasan untuk menghindarkan diri dari ketentuan undang-undang dimaksud). Putusan MK dalam hal ini harus diketahui semua pihak karena ia mengikat semua pihak. Ada dua karakteristik putusan MK yang perlu digarisbawahi, yaitu (1) berlaku ke depan (nonretroaktif) dan (2) mengikat secara umum.

Putusan MK karenanya berbeda dengan putusan judicial review MA yang masih mengisyaratkan pencabutan peraturan oleh institusi yang mengeluarkan peraturan. Misalnya, suatu PP dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, maka setelah menyatakan PP tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, MA akan memerintahkan pencabutan itu. Selama ini memang ada persoalan karena perintah itu kerap diabaikan, seperti disinggung rekan Saldi sendiri.

Meminjam perumpamaan Wakil Ketua MK Prof. Dr. Laica Marzuki, pasal-pasal atau ayat-ayat yang telah dibatalkan MK (atau bahasa teknis yuridisnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat) ibarat macan yang telah dicabut gigi-giginya. Macan itu bisa berlari ke mana-mana, tetapi dia tidak bisa lagi menggigit. Macan yang tidak bisa menggigit lagi tentunya sudah kehilangan hakikat kemacanannya.

***

Dalam kaca mata bangsa ini yang kerap melihat politik sebagai panglima perang, eksplanasi putusan MK itu mungkin mengherankan. Bagaimana mungkin MK yang hanya terdiri dari sembilan orang dapat mementahkan putusan 500 wakil rakyat di DPR, ditambah pemerintah, yang bersepakat dalam suatu kesepakatan undang-undang. Terlebih enam dari sembilan hakim konstitusi berasal dari saku DPR dan pemerintah –masing-masing tiga orang hakim. Tetapi itulah konsekuensi dari pilihan menjadi negara yang belandaskan pada konstitusi. Segala tindak-tanduk badan atau penyelenggara negara dibatasi atau harus dalam koridor konstitusi.

Ada tiga hal yang umumnya diatur dalam konstitusi di mana pun di dunia ini, yaitu (1) perlindungan terhadap hak asasi manusia, (2) pembagian kekuasaan di antara cabang-cabang kekuasaan negara, dan (3) pembatasan kekuasaan. Namun, konstitusi saja tidak cukup karena watak dari kekuasaan yang kerap eksesif, lagi dan lagi. Kekuasaan, meminjam doktrin klasik Lord Acton, cenderung korup (power tends to corrupt). Itulah sebabnya diperlukan institusi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) agar konstitusi tidak dilindas watak buruk kekuasaan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, peran penjaga konstitusi itu diberikan kepada suatu mahkamah konstitusi (constitutional court). Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri mencatat, saat ini setidaknya ada 78 negara di dunia yang memiliki mahkamah konstitusi.

Dalam pembentukan suatu undang-undang, watak buruk kekuasaan itu bisa muncul setiap saat mana kala suatu mayoritas kekuasaan menyepakati suatu aturan yang bertentangan dengan konstitusi. Dalam suatu praktek demokrasi, hal ini tentu sah-sah saja. Namun, di atas prosedur demokrasi ada konstitusi yang merupakan kesepakatan tertinggi bangsa. Itulah sebabnya ada prosedur untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi (judicial review). Ini adalah bagian dari kegiatan untuk menjaga konstitusi.

MK berwenang untuk menilai apakah suatu undang-undang bertentangan dengan undang-undang dasar atau tidak. Hasil dari kegiatan pengujian itu memang bisa memunculkan ironi, yaitu kesepakatan wakil-wakil dari ratusan juta rakyat Indonesia di DPR bisa dimentahkan oleh sembilan orang saja hakim konstitusi –bahkan bisa lima orang saja dalam hal terjadi split decision (putusan dengan dissenting opinion). Tetapi, meminjam Ketua MK Prof Dr Jimly Asshiddiqie, keadilan itu kadang tidak sama dan sebangun dengan suara mayoritas.

Dalam putusan MK terhadap larangan menjadi caleg bagi eks-PKI, menurut Jimly, suara mayoritas rakyat Indonesia yang tercermin di DPR dikalahkan suara keadilan dari delapan orang hakim (ada seorang hakim yang mengajukan pendapat berbeda). Bagi suatu proses demokrasi ini mungkin menyakitkan, tetapi tidak bagi upaya mencari kebenaran dan keadilan.

Sebagai penutup, dalam konteks putusan eks-PKI oleh MK, patut direnungkan ucapan Charles Evans Hughes (1907): “We are under a Constitution, but the Constitution is what the judges say it is, and the judiciary is the safeguard of our liberty and of our property under the Constitution.” Walaupun sudah lama kita putus asa akan perkataan hakim dan dinding-dinding pengadilan di negeri ini, dalam konteks putusan MK mengenai eks-PKI, asa itu terasa terjalin lagi.***

No comments: