17 March 2009

Putusan MK, Balada KPKPN

Published by Kompas, 3 April 2004


By Refly Harun

Asisten Hakim Konstitusi

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


PALU putusan MK terhadap nasib Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) telah diketuk, Selasa, 30 Maret lalu. Apa boleh buat, KPKPN harus berakhir. Upaya terakhir dengan meminta pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 yang telah meniadakan eksistensi KPKPN kandas sudah. Bagi sebagian, terutama para anggota KPKPN dan komponen masyarakat yang rindu akan terberangusnya korupsi, putusan itu tentu menyakitkan. “Saya kecewa berat sekali dengan putusan MK. Ternyata MK justru merestui pembubaran KPKPKN,” kata Ketua KPKPN Jusuf Syakir segera setelah pembacaan putusan di Kantor MK, Jl Medan Merdeka Barat Nomor 7, Jakarta Pusat.

Tentu tidak sedikit yang sependapat dengan Syakir. Kali ini MK sebagai palang pintu kesewenang-wenangan lembaga legislatif tidak mau berbuat sesuatu untuk membumihanguskan ‘kesewenang-wenangan’ itu. Apalagi, dalam hal pembubaran KPKPN, ada nunasa kolusi antara legislatif dan eksekutif karena KPKPN kerap memalukan mereka dengan membeberkan harta kekayaan –yang juga diungkapkan KPKPN dalam permohonan judicial review-nya.

Dalam putusannya Majelis Hakim MK menyatakan setidaknya hal-hal sebagai berikut. Pertama, pesan dalam UUD 1945 adalah memberantas korupsi, sedangkan cara untuk mencapai tujuan harus dijabarkan lebih lanjut, yang merupakan wewenang pemerintah dan DPR. Ketika pemerintah dan DPR memilih untuk melebur KPKPN dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal itu dinilai MK sebagai policy dan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, anggapan bahwa peleburan KPKPN ke dalam KPK akan membuat pencegahan korupsi tidak efektif, bagi MK, soal efektivitas suatu undang-undang juga bukan merupakan wilayah yang harus dipertimbangkan dalam suatu permohonan pengujian undang-undang. Kendati begitu, tidak berarti suatu efektivitas UU tidak bisa diuji. Pengujian dapat dilakukan setiap saat, tetapi tidak dengan judicial review oleh MK, melainkan DPR sendirilah yang mengujinya melalui mekanisme legislative review. KPKPN sendiri dalam permohonannya tidak dapat menunjukkan pasal atau ayat apa dalam UUD 1945 yang telah dilanggar dengan melebur KPKPN ke dalam KPK.

Dari putusan MK itu, sekali lagi, kita menyaksikan ada hakim yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Kali ini pendapat yang berbeda itu dikemukakan oleh Hakim Soedarsono dan Hakim Maruarar Siahaan –keduanya kebetulan hakim konstitusi yang berasal dari MA.

Sebagai pribadi, saya pun merasa kecewa KPKPN dibubarkan. Tetapi, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini berkaitan dengan pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) oleh KPKPN. Pertama, dalam memajukan permohonan, KPKPN ternyata tidak hanya menembak pasal yang berhubungan dengan eksistensi KPKPN, melainkan juga berupaya memberangus eksistensi UU KPK, sesuatu yang kelahirannya justru dinantikan para pembenci korupsi.

KPKPN justru menginginkan UU KPK dibatalkan. Hal ini terbukti dengan permohonan uji formil UU KPK yang bila dikabulkan akan berujung pada terberangusnya keseluruhan undang-undang itu. Artinya, lembaga KPK yang saat ini sudah terbentuk akan dibubarkan. Padahal, sejak awal KPKPN kerap mengeluhkan bahwa mereka tidak memiliki wewenang penyelidikan dan penyidikan untuk menindaklanjuti dugaan korupsi para penyelenggara negara yang catatan kekayaannya membuat kita geleng-geleng kepala. Kehadiran KPK justru menambal lubang menganga pemberantasan korupsi di sektor penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi.

Kedua, KPKPN juga mempersoalkan pasal-pasal yang tidak berhubungan dengan eksistensi lembaga mereka. Yaitu, Pasal 40 yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3), Pasal 12 ayat (1) huruf a yang memungkinkan KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam menangani perkara korupsi, dan Pasal 12 ayat (1) huruf i yang menyatakan bahwa KPK dapat meminta bantuan polisi atau instansi terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Pasal-pasal ini dinilai KPKPKN bertentangan dengan pasal-pasal HAM dalam UUD 1945. Permohonan pembatalan pasal-pasal ini sepertinya “diselipkan” para pengacara KPKPN yang selama ini memang banyak membela tersangka koruptor.

MK menolak mengabulkan uji formil yang berujung pada terberangusnya eksistensi UU KPK karena faktanya tidak ada pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. MK juga menolak membatalkan pasal-pasal yang dinilai KPKPN bertentangan dengan UUD 1945 karena MK berpendirian pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Justru keberadaan pasal itu untuk menegakkan pesan konstitusi untuk memberantas korupsi.

UU KPK sebenarnya masih menyediakan pintu bagi eksistensi KPKPN, tetapi keberadaannya tidak lagi sebagai sebuah lembaga, melainkan menjadi Bagian Pencegahan dari KPK. Persoalannya, apakah tokoh-tokoh masyarakat yang berhimpun di KPKPN mau ‘sekadar’ menjadi pegawai Bagian Pencegahan di KPK. Hal ini agaknya bukan wilayah perdebatan konstitusi lagi, melainkan sudah soal prestise pribadi atau kelembagaan.

Di sisi lain, selama perjalanan proses pengujian UU KPK, beberapa anggota KPKPN tidak menunjukkan itikad sungguh-sungguh untuk menyelamatkan lembaga KPKPN. Misalnya, beberapa anggota KPKPN malah mendaftar sebagai pimpinan KPK, yang esksistensinya justru didasarkan pada undang-undang yang mereka persoalkan. Kendati hal ini tidak masuk dalam pertimbangan majelis MK dan memang tidak boleh menjadi pertimbangan, soal ini sempat mencuatkan pertanyaan bagi sebagian hakim MK dalam proses pemeriksaan permohonan KPKPN.

Sejak awal menyimak kasus ini, saya sempat ‘tergoda’ untuk memperjuangkan agar KPKPN dipertahankan. Argumentasi yang saya bangun, korupsi bertentangan dengan amanat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Karena itu, upaya apa pun yang dilakukan untuk memberangus korupsi adalah upaya konstitusional. Dengan penafsiran terbalik, upaya untuk menghambat pemberantasan korupsi adalah menentang UUD 1945.

Dalam perjalanannya KPKPN telah terbukti ‘mampu’ menguak dugaan korupsi beberapa pejabat negara, termasuk Jaksa Agung MA Rachman. Karena itu, adalah tindakan inkonstitutional bila lembaga ini dibubarkan. Namun, belakangan saya menyadari, penafsiran itu terlalu melebar, tidak straight to the point. Faktanya pemohon sendiri tidak bisa menunjukkan pasal atau ayat apa yang dilanggar dengan melebur KPKPN ke dalam KPK.

Dengan kekuasaan yang dimilikinya MK bisa saja memberikan penafsiran yang meluas. Tetapi, bila dilakukan, MK akan terjebak godaan kekuasaan untuk menjadi eksesif, lebih dan lebih. Ujung-ujungnya putusan MK tidak lagi bernilai konstitusi, melainkan sudah masuk dalam wilayah pertarungan politik. Tentu saja MK tidak boleh menjadi lembaga politik.Karena itu, walapun putusan kali ini mungkin tidak seperti putusan eks-PKI yang disambut suka cita, masyarakat harus mengerti bahwa fungsi MK yang terutama adalah menjaga konstitusi (the guardian of constitution), bukan menghidupkan lembaga yang diberangus karena adanya dugaan ‘persekongkolan’ eksekutif-legislatif.***

Jakarta, 31 Maret 2004

*Tulisan ini pendapat pribadi, tidak mewakili institusi MK.

No comments: