17 March 2009

Gagalnya Pemilihan Umum Proporsional Terbuka

Published by Koran Tempo, 29 April 2004

Refly Harun

· Peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

Pembaruan sistem pemilihan umum (pemilu) melalui penerapan sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka (open list) telah gagal. Demikian yang bisa disimpulkan bila kita membaca temuan Center for Electoral Reform (Cetro) yang dikutip dalam headline Koran Tempo edisi 22 April lalu.

Dalam temuan bertitel "Perkiraan Hasil Pemilu DPR RI 2004: Wakil Rakyat atau Wakil Parpol", Cetro mengungkapkan bahwa sebagian besar calon legislator meraih kursi karena posisi nomor urut, bukan karena murni perolehan suara perseorangannya mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP). Sejauh ini hanya dua calon legislator yang bisa memenuhi BPP, yaitu Dr. M. Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera di daerah pemilihan (DP) Jakarta 2 dan H. Saleh Djasit SH dari Partai Golkar di DP Riau.

Penggunaan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka pada awalnya dimaksudkan agar pemilih memiliki kesempatan tidak hanya memilih partai, melainkan juga memilih sang calon. Dalam bahasa populer sering diungkap agar para pemilih tidak membeli kucing dalam karung. Hal ini terkait dengan ketidakpuasan terhadap pemilu-pemilu sebelumnya yang dinilai tidak menghasilkan wakil-wakil rakyat yang dikenal dan akuntabel terhadap konstituen.

Akan tetapi, pengadopsian sistem ini sejak awal telah membawa komplikasi tersendiri, sedangkan tujuan agar rakyat memilih calonnya secara langsung--setidaknya berdasarkan temuan Cetro--tak tercapai. Penyebabnya, antara lain, di tingkat UU Pemilu (UU No. 12/2003) seperti ada sabotase terhadap semangat sistem ini yang ditandai dua hal: aturan tentang suara sah dan penetapan calon terpilih.

UU Pemilu menyatakan bahwa suara sah adalah bila (1) mencoblos partai dan calon yang diajukan partai tersebut sekaligus atau (2) mencoblos partai saja. Mencoblos calon saja dianggap tidak sah, demikian pula mencoblos partai dan calon dari partai berbeda sekaligus. Di sini terlihat tidak konsistennya pengaturan dalam UU Pemilu.

Seharusnya kategori suara sah itu cukup satu saja, yaitu mencoblos partai dan calon sekaligus. Hal ini akan lebih konsisten dengan semangat sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Dengan pengaturan suara sah seperti itu pemilih "dipaksa" untuk memilih tidak hanya partai, melainkan juga calon yang diinginkan. Dari sisi sosialisasi oleh penyelenggara pemilu, lebih mudah mensosialisasikan satu cara pencoblosan daripada dua cara.

Untuk menyukseskan sistem proporsional dengan daftar terbuka itu KPU telah berupaya keras mensosialisasikan agar pemilih memilih partai dan calon sekaligus. Tetapi, karena suara sah bisa dengan mencoblos partai saja, tanpa harus mencoblos salah satu calon, tak heran bila partai-partai peserta pemilu hanya mengampanyekan partainya, tanpa menyinggung calon legislatornya.

Akibatnya, kampanye KPU terlindas hiruk-pikuk kampanye pemilihan partai semacam Moncong Putih. Kampanye para calon yang dilakukan secara sporadis dan dengan dana terbatas oleh masing-masing calon malah terkubur di tengah gemuruh kampanye partai. Bagi banyak pengamat, kampanye yang dilakukan partai politik peserta pemilu dalam masa kampanye lalu sangat tidak mendidik karena tidak menggambarkan perubahan sistem Pemilu 2004 yang digembar-gemborkan dengan jargon "milih langsung".

Mengenai penetapan calon terpilih, UU Pemilu menentukan bahwa calon terpilih bila (1) memperoleh suara sama atau lebih besar daripada BPP, atau (2) bila tidak ada yang mendapatkan suara yang memenuhi BPP, kursi diberikan kepada calon yang didaftar di urutan pertama, kedua, dan seterusnya sesuai dengan perolehan kursi partai.

Dengan pengaturan seperti ini tidak heran para calon legislator masih meributkan pada urutan keberapa mereka di daftar itu. Tidak heran pula bila muncul konflik internal di dalam tubuh partai sehubungan dengan pengajuan daftar calon legislator ke KPU. Menjelang batas akhir pengajuan daftar calon legislator pada 29 Januari lalu, beberapa aktivis partai, terutama partai-partai besar, bahkan mensabotase daftar calon legislator yang diajukan partainya. Di beberapa daerah bahkan ada dua versi daftar calon legislator yang diajukan ke KPU daerah.

Faktanya, hasil pencoblosan 5 April lalu membuktikan bahwa memang susah mendapatkan suara yang minimal sama dengan BPP. Dari 550 kursi DPR, sekali lagi berdasarkan temuan Cetro, bisa jadi hanya dua yang maju dengan mekanisme BPP. Dengan begitu, mayoritas anggota DPR nanti (448 orang) terpilih karena berada di urutan teratas daftar calon.

Hal ini makin menegaskan bahwa Pemilu 2004 tidak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Calon-calon terpilih bukan karena perolehan suara langsung kepada dirinya, melainkan karena perolehan suara partai. Dalam kasus Partai Demokrat, perolehan suara partai lebih banyak ditentukan karena faktor Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pendiri dan calon presiden Partai Demokrat.

Dari sisi pemilih, yang menurut Cetro, 69 persen di antaranya telah memilih partai dan calon sekaligus, fenomena ini jelas amat merugikan karena akhirnya mereka tidak dapat menempatkan calon yang diinginkan untuk duduk di kursi legislatif. Artis Nurul Arifin yang memperoleh suara tertinggi di DP Jawa Barat 6 harus mengalah pada calon di urutan satu dan dua, Ade Komaruddin dan Wasma Prayitno, lantaran tidak cukup memenuhi BPP. Ade Komaruddin kita tahu adalah elite partai yang saat ini duduk di kursi DPR periode 1999-2004.

Dari sisi penyelenggara pemilu (KPU), upaya luar biasa untuk menyelenggarakan pemilu yang dapat disebut sebagai the most complicated election in the world menjadi sia-sia. Padahal, untuk menopang sistem pemilu yang relatif baru ini KPU sempat terhuyung-huyung dalam hal penyediaan logistik sehingga tidak dapat memenuhi ketentuan undang-undang agar logistik pemilu tiba di TPS paling lambat 10 hari menjelang pemilu. Betapa tidak, yang harus disediakan paling tidak lebih dari 2.000 jenis surat suara dengan jumlah keseluruhan lebih dari 600 juta lembar. Melakukan validasi film terhadap lebih dari 2.000 jenis surat suara yang harus memuat daftar nama caleg di masing-masing daerah pemilihan itu saja tidak mudah. Belum lagi mencetak dan mendistribusikan surat-surat suara itu ke seantero Indonesia.

Melihat fenomena di atas, ada yang beranggapan sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem distrik (pluralitas-mayoritas). Sistem distrik memang memiliki keuntungan paling tidak dalam dua hal, yaitu (1) lebih sederhana sehingga mudah dilaksanakan dan (2) pemilih dapat langsung memilih siapa yang mereka inginkan untuk duduk di kursi legislatif. Menurut saya, perlu pemikiran mendalam untuk menerapkan sistem ini. Tidak saja karena sistem ini mengundang berbagai kelemahan--yang juga tidak bisa dihindari sistem pemilu yang lain--seperti banyaknya suara yang hilang, melainkan juga bisa menjadi bumerang dalam kondisi riil di Tanah Air. Pengalaman pemilihan anggota DPD yang menerapkan sistem distrik berwakil banyak, misalnya, menunjukkan bahwa calon-calon terpilih justru lebih banyak yang populer dan berduit. Bahkan ada seorang calon yang pada tiga-empat tahun lalu dinyatakan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dan sempat ditahan malah melenggang dengan meraup suara terbanyak.

Kesimpulannya, untuk Pemilu 2009 tetap perlu dipertahankan sistem pemilu saat ini dengan perbaikan di sana-sini, paling tidak dalam hal sahnya suara (memilih partai dan calon sekaligus) dan penetapan calon terpilih (kursi diperuntukkan bagi calon yang terbanyak mendapatkan suara). Satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan adalah memecah waktu pelaksanaan pemilu legislatif menjadi maksimal tiga kali untuk pemilihan (1) anggota DPR, (2) anggota DPD, dan (3) anggota DPRD provinsi dan DPRD kota/kabupaten. Pemecahan ini tidak saja akan lebih memudahkan penyelenggaraan pemilu (terutama dari sisi logistik), melainkan juga dapat meningkat kualitas pemilu itu sendiri, termasuk lebih menghangatkan arena politik local.***

No comments: