17 March 2009

Habis Komisi (tiada) Terbit Konstitusi

Published by Suara Pembaruan, 14 January 2004


Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


BEBERAPA rekan saya yang kini menjadi anggota Komisi Konstitusi (KK) kerap diledek mengenai kinerja lembaga yang saat ini sedang bekerja untuk melakukan kajian komprehensif mengenai perubahan UUD 1945 oleh MPR dalam periode 1999-2002. “Komisinya habis, tapi konstitusinya tidak kunjung ada,” begitulah ledekan yang sering diterima.

Ledekan itu menurut saya terbilang wajar. Setelah bekerja selama tiga bulan, hingga saat ini komisi belum memperlihatkan kinerja meyakinkan. Paling tidak, hal itu terlihat dari pemberitaan yang minim mengenai komisi ini. Berita yang muncul justru hal-hal negatif, seperti cuti panjang (14 hari) di akhir tahun lalu dan kehadiran beberapa anggota komisi yang minim yang membuat sidang tidak kuorum.

Di sisi lain gaji yang diterima lumayan juga. Mereka yang berasal dari luar Jabotabek memperoleh paling tidak Rp14 juta per bulan, terdiri dari Rp8 juta untuk akomodasi, Rp3 juta untuk uang paket, dan Rp125 ribu sekali sidang (lima kali sidang per minggu ---walaupun faktanya hanya besidang tiga kali, karena dua kali dalam seminggu dianggap melakukan penelitian independen). Sedangkan mereka yang tinggal di Jakarta memperoleh sedikitnya Rp9 juta per bulan. Di luar gaji yang diterima itu mereka juga tidak diwajibkan untuk melepaskan pekerjaan masing-masing. Ada yang menjadi guru besar, pengacara, pengusaha, dan sebagainya.

Sejak awal, pembentukan KK memang telah mengundang pro dan kontra. MPR yang berwenang melahirkan komisi ini bersikap maju-mundur. Mayoritas anggota menolak pembentukan komisi, tetapi akhirnya terpaksa mengakomodasi karena tekanan publik, terutama dari Koalisi untuk Konstitusi Baru (KKB), sebuah koalisi yang menghimpun tokoh-tokoh LSM dan perguruan tinggi.

Berlandaskan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi dan Keputusan MPR Nomor 04/2003 tentang Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Komisi Konstitusi, komisi yang awalnya “diharamkan” mayoritas anggota MPR ini akhirnya lahir. Sebagai tindak lanjut, Badan Pekerja MPR kemudian melakukan rekrutmen anggota komisi. Cukup mencengangkan, ada 500-an orang yang berminat menjadi anggota komisi, di antaranya guru besar dan doktor-doktor hukum. Kampanye KKB agar para ahli hukum, terutama hukum tata negara, tidak terlibat komisi gagal total. Terlebih lagi komisi ini dipimpin oleh Prof Dr Sri Soemantri, ahli hukum tata negara senior yang sangat dihormati dalam forum-forum akademik dan yang menulis disertasi tentang perubahan konstitusi (1978).

Starting point yang baik ini ternyata tidak berlanjut dengan kinerja yang meyakinkan. Seperti yang dapat dibaca dari pemberitaan pers, pada sidang pleno pertama saja rapat berlangsung bertele-tele karena anggota komisi yang berjumlah 31 orang berebut unjuk bicara, padahal materi pembicaraan baru berkutat pada prosedur kerja, belum pada substansi tugas, yaitu kajian komprehensif terhadap perubahan UD 1945. Setelah tiga bulan bekerja, publik tidak banyak tahu perkembangan yang terjadi dalam komisi ini. Sebagian karena pers sepertinya sudah tidak tertarik lagi mengangkat isu amandemen, sebagian (sangat mungkin) karena kinerja komisi yang lamban yang pada akhirnya menyebabkan keengganan pers untuk memuat aktivitas komisi.

Hambatan waktu

Dengan waktu yang tinggal empat bulan apa yang dapat dilakukan dan dihasilkan komisi (mandat komisi berakhir pada 7 Mei 2003 karena anggota dilantik pada 7 Oktober 2002)? Saat ini anggota komisi dibagi dalam dua subkomisi yang masing-masing berjumlah 15 orang. Subkomisi A menyiapkan naskah akademis dan subkomisi B menyiapkan draf penyempurnaan perubahan UUD 1945. Dua hal inilah (naskah akademis dan draf penyempurnaan perubahan UUD 1945) yang bakal menjadi produk komisi.

Naskah akademis dimaksudkan sebagai dasar (guidelines) bagi komisi dalam merumuskan draf perubahan UUD 1945. Logikanya, naskah akademis diselesaikan dulu barulah kemudian dibuat draf perubahan berdasarkan naskah akademis itu. Tetapi nyatanya kedua pekerjaan itu dilakukan sekaligus dan hasil dari kedua subkomisi diharapkan selesai pada akhir Januari ini. Yang dilakukan komisi hanyalah sinkronisasi antara subkomisi A dan subkomisi B.

Draf akademis itu memang ideal, tetapi dengan waktu yang semakin terbatas dan untuk kebutuhan praktis, draf ini kiranya tidak terlalu tepat lagi dibahas. Yang harus dibuat komisi adalah secepat-cepatnya menyiapkan draf perubahan (secara teoretis yang dilakukan komisi itu adalah menyiapkan konstitusi baru, tetapi rupanya komisi malu-malu untuk mengakuinya, mungkin untuk menghindari resistensi dari anggota MPR dan beberapa anggota komisi yang saya ketahui berhaluan konservatif dalam isu amandemen).

Ketika berbincang-bincang dengan anggota komisi Oktober tahun lalu, saya pernah mengemukakan usul kerja komisi, yaitu dari awal langsung menyiapkan draf perubahan. Draf perubahan itulah yang dibawa ke publik untuk disosialisasikan dan mendapatkan masukan, baik melalui media massa maupun tatap muka langsung. Yang diharapkan dari kegiatan itu adalah adanya dukungan publik terhadap kerja komisi, sekaligus masukan publik terhadap hal-hal yang mungkin luput dari perhatian komisi (Ketika terjadi perubahan konstitusi di Thailand misalnya, seorang petani yang buta huruf meminta dibacakan draf konstitusi baru kepada putranya untuk memastikan draf yang ada tidak merugikan dirinya sebagai petani di satu sisi dan melindungi kepentingannya di sisi lain).

Bahan untuk menyiapkan draf perubahan sudah terlalu banyak. Dalam proses amandemen sepanjang 1999-2002 saja masukan publik (baik perseorangan maupun lembaga) sudah terbilang ribuan, belum lagi kajian-kajian yang dilakukan lembaga-lembaga kajian yang concern terhadap masalah amandemen, juga tulisan-tulisan dari para ahli/mereka yang concern terhadap konstitusi di media massa. Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi komisi untuk, misalnya, “jalan-jalan” ke daerah-daerah dengan tameng menyerap aspirasi publik seperti yang dilakukan anggota komisi pada pertengahan Desember tahun lalu. (Konon yang ngotot dari awal mengadakan kegiatan sosialisasi ke luar kota adalah anggota KK yang kebetulan menjadi calon legislatif).

Sebelum sampai pada draf perubahan pasal per pasal, komisi harus menyepakati terlebih dulu grand design ketatanegaraan Indonesia. Misalnya, meyangkut tiga kesepakatan yang pernah dibuat MPR, yaitu (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, (2) tetap negara kesatuan, (3) tetap sistem pemerintahan presidensial, bagaimana sikap komisi, apakah mau mempertahankannya atau mengubahnya. Bila hal-hal ini disepakati, ada hal-hal lain yang perlu disepakati, misalnya, bila pilihanya sistem presidensial, bagaimana pengisian jabatan presiden, apakah tetap pemilihan langsung ataukah seperti dulu melalui MPR; Bila langsung, apakah satu putaran ataukah dua putaran.

Dalam aras kekuasaan legislatif, apakah akan dipertahankan pola tiga kamar (MPR, DPR, dan DPD), apakah cukup dua kamar (DPR dan DPD), atau bahkan satu kamar saja (DPR). Lalu, dalam aras kekuasaan yudikatif, apakah tetap dengan pola Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi seperti di kebanyakan negara-negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental (Jerman, Austria) dan negara-negara demokrasi baru (Afrika Selatan, negara-negara pecahan Uni Soviet seperti Latvia), ataukah cukup MA saja seperti di Amerika Serikat.

Di luar ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tentu harus ada pula desain tentang kedudukan badan-badan yang kerap disebut state auxiliary bodies, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan masih banyak lagi. Tentu harus ada pula desain tentang kedudukan tentara dan pemerintahan daerah.

Dengan disepakatinya grand design ketatanegaraan, lebih mudah bagi komisi untuk membuat draf perunbahan UUD 1945 (draf konstitusi baru). Tentu saja ketika menyepakti suatu grand design dan kemudian membuat draf perubahan, terjadi debat di antara para anggota komisi. Di situlah sesungguhnya pemikiran-pemikiran akademis harus keluar (yang nanti bakal tampak dalam risalah rapat, jadi tidak perlu dengan membentuk subkomisi yang khusus membahas draf akademis).

Sekarang waktu kerja komisi tinggal empat bulan lagi. Saya khawatir waktu yang sesingkat itu tidak cukup bagi komisi untuk menghasilkan draf perubahan (yang bermutu). Kalaupun draf dihasilkan, waktu untuk sosialisasi ke publik dan mendapatkan dukungan publik sangat terbatas. Apalagi momen pemilu diperkirakan lebih menyedot perhatian publik ketimbang isu amandemen. Padahal, draf bermutu dan dukungan publik dibutuhkan untuk mendesak MPR hasil Pemilu 2004 menyepakati perubahan yang dihasilkan komisi.

Semoga tidak terjadi sesuatu yang kita tidak inginkan: Habis (uang) komisi, tiada terbit konstitusi.***

No comments: