17 March 2009

Syarat Capres dan Dilema Fatwa MK

Published by Suara Pembaruan, 29 April 2004

Oleh Refly Harun

Asisten Hakim Konstitusi; Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI.

SEPERTI telah diberitakan banyak media massa, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan sikapnya terhadap dua permohonan dari pihak Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyangkut pemberian fatwa dan putusan judicial review UU Pilpres (UU Nomor 23 Tahun 2003). Materinya menolak mengeluarkan fatwa dan menolak permohonan judicial review terhadap Pasal 6 Huruf d UU Pilpres mengenai syarat mampu secara jasmani dan rohani sebagai capres. Secara khusus dalam tulisan ini saya akan membahas mengapa MK menolak memberikan fatwa.

Perihal permohonan fatwa PKB, dalam surat bertanggal 21 April yang ditujukan kepada Pimpinan Dewan Tanfidz PKB, MK pada pokoknya menyatakan dua hal. Pertama, kewenangan MK dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 sudah ditentukan secara limitatif dan pemberian fatwa tidak termasuk sebagai wewenang MK. Kedua, kalaupun MK berwenang memberikan fatwa, materi fatwa yang dimintakan PKB menyangkut pelaksanaan ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk menilainya.

Dalam permohonan fatwa yang ditandatangani Ketua Umum PKB Alwi Shihab dan Wakil Sekjen PKB Amin Said Husni serta diantar langsung oleh Ketua PKB Mahfud MD, dipersoalkan dua hal. Pertama, apakah KPU berwenang memperluas persyaratan yang ditetapkan secara limitatif di dalam UUD 1945 dan UU Pilpres. Kedua, apakah dimungkinkan KPU memperluas persyaratan yang telah ditetapkan secara limitatif dalam undang-undang tanpa ada pendelegasian kewenangan yang diberikan undang-undang untuk mengatur lebih lanjut.

Bagi PKB, seperti yang dapat dibaca dalam permohonan fatwa mereka, tidak ada satu pasal pun dalam UU Pilpres yang mendelegasikan kewenangan kepada KPU untuk mengatur lebih luas persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan undang-undang, terutama terkait dengan kesehatan jasmani dan rohani.

Permohonan fatwa MK PKB terkait dengan Keputusan KPU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pencalonan Pemilihan Ukmum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004. Pasal 7 ayat (1) Keputusan itu antara lain menyatakan bahwa pemeriksaan kemampuan secara rohani dan jasmani bagi capres dilakukan oleh Tim Pemeriksa Khusus di rumah sakit yang ditetapkan KPU.

Atas dasar itu KPU kemudian mengeluarkan Keputusan KPU Nomor 37/SK/KPU/ Tahun 2004 tentang Tim Penilai Kemampuan Rohani dan Jasmani Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004, atau yang disingkat dengan Tim Penilai saja. Tim Penilai inilah yang akan melakukan penilaian/pemeriksaan kesehatan yang berkaitan dengan kemampuan rohani dan jasmani pasangan capres/cawapres.

Hari itu juga ketika fatwa diajukan hakim-hakim konstitusi langsung mengadakan rapat permusyawaratan hakim. Namun, sinyal penolakan pemberian fatwa itu sudah terlihat ketika salah seorang hakim konstitusi, Prof Abdul Mukthie Fadjar, menyatakan MK tidak obral fatwa (Kompas, 19/4).

Berkepentingan

PKB jelas berkepentingan mengajukan fatwa mengenai kesehatan capres mengingat jauh-jauh hari partai kaum Nahdliyin ini menjagokan Gus Dur sebagai capres. Dengan problem penglihatan yang dialaminya, bukan tidak mungkin Gus Dur bakal terganjal dalam proses di KPU sebagai capres seandainya nanti jadi diajukan. Tidak heran Ketua Lembaga Pengembangan Demokrasi DPP PKB Khatibul Umam menilai KPU telah melakukan diskriminasi terhadap orang-orang dengan disabilitas (disable people).

Sebelum PKB mengajukan fatwa, Ketua Umum Partai Indonesia Baru (PIB) Sjahrir telah pula mengajukan hal serupa mengenai waktu pengajuan capres/cawapres. Saat itu Sjahrir menyoal ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pe- milu. Yang disoal adalah pemilu yang mana yang dimaksudkan ketentuan UUD 1945 itu.

UU Pilpres menyebut secara eksplisit bahwa yang bisa mengajukan pasangan capres/cawapres adalah partai yang memperoleh 5 persen suara pemilu anggota DPR atau 3 persen kursi anggota DPR. Artinya, pemilu yang dimaksud adalah pemilu presiden dan wakil presiden. Lengkapnya bunyi Pasal 6 ayat (2) akan berbunyi, pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau ga- bungan parpol peserta pe-milu sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden.

Bagi Sjahrir dan PIB yang betul adalah sebelum pemilu legislatif. Berdasarkan hal itu Sjahrir mendaftarkan dirinya sebagai capres ke KPU, tetapi tanpa disertai wapres kendati konstitusi dan UU Pilpres mengeksplisitkan hal itu. Partai lain tidak mengikuti langkah Sjahrir karena 'patuh' dengan ketentuan UU Pilpres, bahwa pengajuan harus menunggu hasil pemilu legislatif. Sjahrir lantas meminta fatwa MK. Fatwa dimintakan lantaran mekanisme judicial review UU Pilpres dinilai akan memakan waktu. Saat itu pelaksanaan pemungutan suara yang jatuh pada 5 April tinggal terbilang hanya satu bulan lagi. Proses pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 hampir muskil selesai hanya dalam jangka waktu satu bulan.

Ternyata, saat fatwa tersebut dibawa ke rapat permusyawaratan sembilan hakim, mayoritas hakim menolak memberikan fatwa. Salah satu alasan yang bisa saya tangkap adalah, di satu sisi fatwa tidak otomatis mengikat, namun yang jelas ia bakal mengikat hakim. Seandainya setelah fatwa diberikan ada pihak yang mengajukan judicial review terhadap pasal yang dimintakan fatwa, hakim konstitusi 'diwajibkan' memutus sesuai dengan fatwa yang diberikan. Bila tidak, putusan MK dapat dinilai tidak konsisten. Hal ini tentu akan mengurangi kewibawaan MK. Kewibawaan itu bakal makin tergerus seandainya, karena sifat tidak mengikatnya, fatwa tersebut tidak digubris oleh pihak-pihak yang dituju dalam fatwa itu. Belum ada alas yuridis untuk bisa menjerat pihak-pihak yang mengabaikan fatwa MK seandainya diberikan.

Fatwa yang bakal di-mintakan PKB memang sedikit berbeda dengan fatwa sebelumnya. Bila permohonan fatwa sebelumnya meminta interpretasi sebuah pasal dalam konstitusi, fatwa kali ini berhubungan dengan tindakan atau kebijakan KPU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Sedikit perbedaan ini, menurut hemat saya, dapat 'melonggarkan' ruang MK untuk mengeluarkan fatwa. Tetapi tetap saja ada persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan.

Bersifat Limitatif

Dalam putusan pertama MK akhir tahun lalu terhadap permohonan pengujian UU Nomor 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah Agung (MA), MK menyatakan bahwa kewenangan MK yang diberikan konstitusi bersifat limitatif. Tidak bisa ditambah-tambah, apalagi dikurangi. Kewenangan tersebut adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (1) menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Selain itu, MK juga diberikan sebuah kewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut undang-undang dasar. Karenanya ketentuan Pasal 50 UU MK (UU Nomor 24 Tahun 2004) yang menyatakan undang-undang yang dapat diuji hanya yang ditetapkan setelah Perubahan Pertama UUD 1945 (19 Oktober 1999) dinilai melanggar konstitusi karena telah mengurangi kekuasaan MK untuk melakukan judicial review.

Fatwa, seandainya diberikan, akan menjadi preseden pelabaran kewenangan MK yang tidak diberikan konstitusi. Dihubungkan dengan putusan MK terdahulu, jelas langkah pemberian fatwa itu menjadi cermin inkonsistensi sikap MK yang menyatakan kewenangan mereka sudah bersifat limitatif. Tetapi di sisi lain ada bolong-bolong hukum (legal vacuum) yang membuat warga negara tidak dapat memperjuangkan keadilan. Apalagi dalam hal kasus kesehatan capres, keadilan yang diperjuangkan itu harus mendapatkan jawaban secepatnya. Dari titik ini MK seperti didesak untuk memberikan jawaban akan permohonan keadilan tersebut.

Dari titik ini, melihat kompleksitas persoalan ketatanegaraan di era reformasi ini, menimbang potensi pelanggaran hak-hak konstitutional warga negara, memang terasa urgen untuk melengkapi kewenangan MK dengan sebuah mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint) seperti dipraktekkan negara-negara lain. Dengan kewenangan ini setiap perkara yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran konstitusi dapat diajukan ke MK, termasuk dalam hal ini soal syarat kesehatan capres yang dinilai PKB mengarah pada diskriminasi terhadap orang-orang dengan disabilitas (disable people).

No comments: