22 March 2009

Incumbent Jadi Presiden!

Incumbent Becomes President!


Published by Indonesian media

Koran Jakarta, 20 March 2009


Oleh Refly Harun

Peneliti Senior Cetro,

Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris


Rasanya tidak susah menebak siapa yang bakal jadi presiden pada Pilpres 2009. Kalau tidak A, pasti B, atau juga C. Semuanya adalah incumbent. Mengapa incumbent?


Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan ‘incumbent’, kata yang sudah sangat populer dalam kamus politik Tanah Air. Menurut Kamus Oxford, incumbet bermakna person holding an official position. Dalam konteks politik, Wikipedia mengartikan incumbet sebagai ‘the holder of a political office’. Istilah ini, menurut kamus online tersebut, digunakan dalam pemilu untuk membedakan pertarungan antara pemegang jabatan dan bukan pemegang jabatan.


Dalam tulisan ini saya ingin menggunakan istilah incumbent dengan lebih longgar, yaitu menyangkut orang baik yang sudah pernah menjabat maupun lagi menjabat untuk posisi yang diperebutkan. Definisi longgar inilah yang menyebabkan saya menyimpulkan sejak awal bahwa presiden mendatang adalah incumbent.


Berdasarkan hasil survei yang dilakukan berulang-ulang dalam satu tahun terakhir, sudah hampir pasti race Pilpres 2009 akan mempertemukan kembali Presiden SBY dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Terakhir, survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari dan survei bersama LP3ES, LIPI, CSIS, dan Puskapol UI pada Maret kembali menempat SBY dan Mega sebagai dua besar kandidat presiden.


Peluang head to head bagi SBY-Mega makin besar karena UU Pilpres 2008 mensyaratkan perolehan 20 persen kursi atau 25 persen suara bagi nominasi presiden. Ketentuan yang tidak demokratis ini makin menemukan pembenarannya karena MK menolak pengujian pasal tersebut dengan menyatakan bahwa hal tersebut hanya perkara legal policy pembuat undang-undang pada putusan 18 Februari 2009.


Saat ini, praktis publik hanya menunggu calon ketiga. Rizal Ramli menyebut dua calon utama dengan Blok S (SBY) dan Blok M (Megawati). Ia lalu menyebut calon ketiga dengan Blok Perubahan alias dirinya sendiri. Sah-sah saja Rizal Ramli memiliki optimisme demikian. Namun, fakta menunjukkan ia belum cukup populer untuk menjadi kandidat presiden. Jangankan dibandingkan SBY-Mega, dibandingkan dengan calon seperti Hamengkubuwono, Prabowo, dan Wiranto saja Rizal Ramli tercecer jauh.


Dalam waktu yang tinggal empat bulan lagi hingga pemilihan Juli mendatang, tentu tidak mudah mendongkrak popularitas, kecuali ada momentum luar biasa, dan hal tersebut pastilah kejadian yang luar biasa, yang bisa menjungkirbalikkan segala prediksi. Namun, ini pun dengan satu kondisi: kendaraan apa yang mau dipakai. Bila parpol pengusung tidak mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara, tidak ada gunanya kandidat paling populer sekalipun.


Calon ketiga yang paling masuk akal karenanya adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Terlebih setelah yang bersangktuan menyatakan siap dan bersedia dijagokan sebagai capres dari Partai Golkar, partai pemenang Pemilu 2004. Dalam survey, JK bukanlah calon kuat, tetapi masalahnya ia mengontrol mesin besar bernama Golkar.


Bila JK menjadi calon ketiga, sempurnalah tesis incumbent jadi presiden. Dengan definisi longgar tentang incumbent tadi, JK bisa dikategorikan sebagai incumbent juga karena memegang posisi Wakil Presiden. Siapa pun tahu, JK tidaklah seperti wakil-wakil presiden terdahulu yang hanya menjadi ban serep, terutama di era Orde Baru. JK adalah sosok yang decisive. Kemampuan bertindaknya bahkan lebih cepat dari SBY sekalipun, walaupun lantaran sosoknya yang kalah mentereng dibandingkan SBY tidak cukup populer di mata masyarakat untuk dijadikan presiden.


Presiden Luar Biasa

Bila memakai kerangka politik normal, hanya SBY yang memiliki justifikasi untuk menjadi capres lagi karena ia adalah incumbent yang sesungguhnya. Pemilu kedua adalah ujian bagi incumbent. Bila rakyat puas atas kinerjanya, ada kemungkinan ia terpilih lagi. Bila sebaliknya, penantang yang akan menyodok. Incumbent yang kalah dari penantang tidak seharusnya mencalonkan diri lagi.


Sayangnya, politik Indonesia berjalan abnormal. Megawati yang sudah kalah dua kali dalam medan pertarungan presiden masih juga dijagokan. Pada Sidang Umum MPR 1999, Mega dikalahkan Abdurrahman Wahid, dan pada Pilpres 2004 kalah dari SBY. Kekalahan pada SU MPR 1999 dapat dimaklumi karena bukan pemilihan langsung. Namun, kekalahan pada Pilpres 2004 seharusnya sudah membuat Mega tidak layak lagi menjadi calon presiden. Dalam posisi sebagai incumbent, ia kalah. Artinya, rakyat tidak puas dengan kinerja pemerintahannya. Bisa dikatakan ia presiden gagal.


Pada Pilpres Amerika tahun 2000, Al Gore kalah dari Geroge Bush hanya karena suara electoral college-nya, tetapi dari segi popular vote ia yang menang. Fakta ini tidak menyebabkan Al Gore dijagokan lagi untuk maju sebagai capres. Tradisi politik AS menabukan orang yang sudah kalah maju kembali, walaupun belum tentu Al Gore kalah bila maju kembali pada Pilpres 2004.


Adapun soal JK, dalam tradisi yang politik yang normal pula, tidak seharusnya wapres maju dan menantang presidennya sendiri. Wapres biasanya dipersiapkan untuk menggantikan presiden bila masa jabatannya selesai karena batasan dua periode. Dalam tradisi politik AS, kita menyaksikan George Bush (senior) maju sebagai capres setelah menjadi wapresnya Presiden Ronald Reagen, dan Al Gore maju sebagai capres setelah menjadi wapresnya Presiden Bill Clinton.


Majunya wapres sebagai capres dimaksudkan untuk menjaga kontinuitas pemerintahan, menjaga prestasi presiden terdahulu. Bila rakyat merasa puas dengan kinerja presiden sebelumnya, ada kemungkinan wapres yang ‘nyapres’ terpilih. Hal itu terjadi dengan George Bush (senior) dan seharusnya terjadi pula dengan Al Gore bila patokannya popular vote.


Sulit bagi wapres yang ‘nyapres’ untuk memberikan alasan mengapa harus maju. Bila menyatakan tidak puas dengan pemerintahan, bukankah ia juga bagian dari pemerintahan yang ikut bertanggung jawab. Bila mengatakan ingin berbuat lebih sebagai presiden, hal itu terlalu mengada-ada. Saat ini pun banyak yang bisa dilakukan Kalla dalam posisi sebagai wapres. Bahkan, banyak yang menilai ia sesungguhnya the real leader.


Namun, sekali lagi politik Indonesia memang abnormal. Abnormalitas itu makin menemukan pembenarannya karena presiden dan wapres berasal dari parpol yang berbeda. Sejak awal, potensi perpecahan itu sudah tercium. Parpol pendukung wapres pasti tidak puas bila terus menjadi nomor dua, terlebih posisinya sebagai parpol pemenang.


Kalau boleh memilih, sebenarnya lebih menarik melihat SBY ditantang sosok-sosok baru yang bukan incumbent, yang kita sendiri belum tahu bagaimana rasa kepemimpinannya. SBY, Mega, dan Kalla adalah orang-orang yang sudah kita ketahui rasa kepemimpinannya. Terlepas dari kemajuan (atau kemunduran?) yang telah dicapai, rasanya mereka baru masuk kategori pemimpin biasa-biasa saja. Kita butuh pemimpin yang luar biasa, yang mampu membangkitkan bangsa ini dari banyak keterpurukan.


Sayangnya, atau sialnya, UU Pilpres 2008 yang kemudian diperkuat oleh putusan MK tidak membuka pintu selebar-lebarnya bagi pemimpin alternatif, sosok yang mungkin luar biasa. Maka, tidak ada yang bisa diucapkan selain menyatakan selamat kepada incumbent. Race Pilpres 2009 sudah berakhir dan incumbent memimpin Indonesia lagi.***


Birmingham, 13 Maret 2009

1 comment:

Anonymous said...

mantabs sekali tulisannya, hebaat I love it

potongan yang ini saya sangat suka

"Sulit bagi wapres yang ‘nyapres’ untuk memberikan alasan mengapa harus maju. Bila menyatakan tidak puas dengan pemerintahan, bukankah ia juga bagian dari pemerintahan yang ikut bertanggung jawab. Bila mengatakan ingin berbuat lebih sebagai presiden, hal itu terlalu mengada-ada. Saat ini pun banyak yang bisa dilakukan Kalla dalam posisi sebagai wapres. Bahkan, banyak yang menilai ia sesungguhnya the real leader"

berarti semua ini menurut penulis, bukan siapa yang menjadi presiden tapi siapa yang mengendalikan pemerintahan?
dengan mencalonkan SBY atau JK sebagai presiden kembali aalah upaya kontinuitas.
nah yang di pertanyakan pemerintahan sebelumnya dengan program-programnya itu berprestasi atau tidak? nyatanya tidak, hutang semakin membegkak 8 triliun pertahun, angka kemiskinan bertahan, lalu apa yang musti di lanjutkan?

banyak kasus yang membuat saya tidak pernah simpatik terhadap pemerintahan saat ini, kalau sekiranya mereka memang bagus dalam memimpinan mengapa banyak penurunan dalam hal bidang ekonomi yang dampaknya kedepan bisa di prediksi kalau krisis menghantam lagi pasti akan sangat mencekik leher rakyat?

saya takut dalam hal ekonomi yang sengaja di merosotkan ini oleh pemerintahan saat ini membuat kejadian perang antar saudara,

katakan!!! "bukan saudara kita yang berbuat, musnahkan Amerika dari bumi pertiwi, MERDEKA!!!"