16 March 2009

Sengketa Konstitusi Pemilihan Presiden (The Constitutional Dispute in the Presidential Election)

This article was published by the Indonesian media
Media Indonesia, 18 February 2003

Refly Harun
Wartawan
Media Indonesia

BELUM lagi RUU Pemilu beres, para anggota DPR bakal dihadang dengan isu-isu krusial dalam RUU tentang Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden. RUU itu saat ini sudah di tangan para anggota Dewan, yang walau belum dibahas secara formal, beberapa bagiannya sudah bocor ke publik. Salah satu isu yang ramai diperdebatkan adalah pembatasan calon presiden/wakil presiden.

Draf RUU Pemilihan Langsung mensyaratkan perolehan 20% suara pemilu anggota legislatif pusat (DPR) bagi suatu partai/gabungan partai untuk meloloskan calonnya dalam pemilihan langsung. Amien Rais, Nurcholish Madjid --pemimpin-pemimpin yang memiliki peluang menjadi orang nomor satu di negeri ini, namun berbasis partai kecil bahkan nonpartai--menolak 'diskriminasi' itu. Dalam suatu seminar di Padang, awal Februari lalu, dosen hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra menyatakan pembatasan itu inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 6A UUD 45 yang merupakan dasar bagi pemilihan presiden langsung. ''Kita tak perlu belajar hukum selama empat-lima tahun untuk menyatakan persyaratan 20% itu bertentangan dengan Pasal 6A UUD 45. Itu sudah jelas inkonstitusional,'' tegas Saldi.

Pasal 6A UUD 1945 setidaknya mengandung empat kaidah pemilihan. Pertama, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung (direct election/popular votes), bukan dipilih secara tidak langsung (indirect election). Kedua, pemilihan itu dengan sistem paket seperti pemilihan presiden di Amerika Serikat, bukan pemilihan secara terpisah antara calon presiden dan wakil presiden seperti dipraktikkan selama ini melalui wadah MPR. Ketiga, yang berhak mengajukan calon presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum, yaitu pemilihan umum untuk memilih para anggota DPR.

Dengan demikian, perseorangan/kelompok orang/organisasi nonpartai politik tidak diperkenankan mengajukan calon presiden/wakil presiden. Ketentuan ini mengunci apa yang dikenal dengan calon independen. Keempat, calon presiden/wakil presiden baru akan terpilih bila memenuhi persyaratan tertentu, yaitu jumlah suara (total votes) dan distribusi suara (votes distribution). Total votes yang dipersyaratkan adalah minimal 50% + 1 suara dari seluruh suara yang masuk ke TPS (tempat pemungutan suara). Sementara distribusi suara minimal adalah 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih setengah jumlah provinsi. Lebih mudahnya, seandainya jumlah provinsi sebanyak 30, maka di minimal 16 provinsi calon presiden/wakil presiden harus mendapatkan minimal 20% suara agar bisa memenuhi persyaratan distribusi suara.

Bagaimana kalau persyaratan perolehan suara itu tidak terpenuhi? Jawabnya, akan diadakan pemilihan ulang di antara calon presiden/wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak pada pemilu putaran kedua ini (second round), dialah yang terpilih sebagai presiden/wakil presiden.

Dalam khazanah ilmu politik, model pemilihan langsung yang dianut oleh Pasal 6A, terutama dalam ayat (3) dan (4), disebut simple majority. Calon dinyatakan sebagai pemenang bila memperoleh minimal 50% + 1 suara. Kalau tidak ada yang mendapatkan suara itu diadakan pemilihan ulang (run-off election) di antara dua calon yang memperoleh suara terbanyak. Di Indonesia, seperti termuat dalam Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUD 45, persyaratan 50% + 1 itu masih dikombinasikan dengan persebaran suara sehingga lebih mendekati pemilihan langsung seperti yang diterapkan di Nigeria, yang mensyaratkan persebaran suara di 2/3 negara bagian selain jumlah suara minimal 50% + 1.

Bolong dengan dua soal

Rumit? Ya, begitulah pasal-pasal tentang pemilihan presiden secara langsung yang telah disepakati. Tidak heran bila Presiden Megawati mengkritik sistem pemilihan yang diadopsi melalui perubahan UUD 45 itu njlimet dan tidak simpel. Akan tetapi, yang perlu dicatat, bukan tidak ada lubang-lubang yang tercipta dari kesepakatan tentang pemilihan langsung itu. Itulah sebabnya Pasal 6A ditutup dengan pernyataan ''tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.'' Inilah yang menjadi area bagi partai-partai politik untuk mendesakkan kepentingannya masing-masing pada hari-hari terakhir ini.

Ada dua hal yang tidak tegas diatur dalam perubahan UUD 45, yaitu (1) soal waktu pemilihan presiden/wakil presiden dan (2) apakah semua partai/gabungan partai peserta pemilihan umum berhak mengajukan calon presiden/wakil presiden. Soal waktu, ada kecenderungan partai-partai menghendaki pemilihan presiden/wakil presiden diselenggarakan terpisah dari pemilihan para anggota DPR/DPD/DPRD. Hal ini tercermin dari Pasal 4 RUU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang kurang lebih berbunyi, ''Pemungutan suara untuk (pemilihan presiden/wakil presiden) dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilu bagi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten.''

Kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi, ''Pemungutan suara untuk pemilihan (presiden/wakil presiden) diselenggarakan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil Pemilu DPR oleh KPU'' (tanpa menyebut DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten).

Pemisahan jadwal pemilihan itu bisa mengandung segi positif dan negatif. Segi positifnya, (1) para pemilih betul-betul akan berkonsentrasi pada satu isu saja, yaitu siapa calon presiden/wakil presiden yang akan mereka pilih; (2) calon anggota DPR/DPD/DPRD tidak bisa mendompleng popularitas calon-calon presiden/wakil presiden partainya untuk mengeruk sejumlah suara.

Diakui atau tidak, itulah yang terjadi pada Pemilu 1999. Massa pemilih sesunguhnya memilih suatu partai tidak karena para anggota DPR/DPD yang dijagokan, melainkan karena adanya sosok populer yang dicalonkan sebagai presiden, seperti Megawati di PDIP dan Amien Rais di PAN. Dengan pemilihan terpisah, para anggota DPR/DPRD harus berjuang sendiri, apalagi bila sistem yang dipakai adalah proporsional dengan daftar terbuka (open list).

Segi negatifnya, (1) biaya pemilihan sudah pasti lebih besar dan (2) kemungkinan pemilihan itu dijadikan prasyarat bagi pemilihan pendahuluan bagi calon presiden/wakil presiden (preliminary election).

Seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, RUU tentang Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden menjadikan hasil pemilihan DPR sebagai dasar untuk mengurangi jumlah calon presiden/wakil presiden. Partai atau gabungan partai yang dapat meneruskan proses pencalonan adalah yang mengantongi jumlah suara untuk pemilu DPR sekurang-kurangnya 20%. Dengan demikian, jumlah calon presiden/wakil presiden nantinya paling banyak lima paket saja seandainya distribusi suara memang masing-masing 20%. Namun, yang akan terjadi pasti kurang dari jumlah itu.

Hal ini sudah pasti menguntungkan partai-partai besar (PDIP dan Golkar). Dengan persyaratan penguasaan minimal 20% suara pemilihan anggota DPR, partai-partai besar jelas berpeluang untuk memajukan paket calonnya. Dan, kalaupun harus berkoalisi dengan partai lain karena kuota 20% tidak terpenuhi, partai-partai besar tetap akan memiliki posisi penting sehingga bisa tetap bisa mengincar jabatan presiden. Secara teoretis, PDIP dan Golkar, yang berada di urutan pertama dan kedua dalam Pemilu 1999, masih akan memperoleh jumlah suara signifikan sehingga tetap berpeluang memajukan calonnya.

Persoalannya, apakah kita rela bila calon-calon pemimpin bangsa ini lahir dari rahim partai-partai yang terbukti tidak amanat terhadap agenda reformasi? Sebuah undang-undang pemilu memang tidak boleh dimaksudkan untuk membuat kalah suatu partai. Namun, jelas juga tidak boleh menjadi pisau guillotine untuk menyingkirkan pesaing sebelum sempat bertanding. Undang-undang harus netral dari semua parpol meski dibuat dalam proses yang dipenuhi interest politik.

Dari semua itu, satu soal yang jelas, masalah ini tidak akan timbul seandainya aturan konstitusi dibuat lengkap dan tidak menciptakan lubang-lubang di sana-sini sehingga bisa ditafsirkan sesuai keinginan si penafsir. Konstitusi kita memang berpotensi mengundang beragam sengketa.***

No comments: