17 March 2009

Spekulasi Pemakzulan Presiden

Published by Koran Tempo, 22 March 2005


Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


Dalam sebuah talkshow di ANTV, Jumat (22/10) malam lalu, Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng dengan keyakinan penuh menyatakan tidak mudah saat ini presiden di-impeach (dimakzulkan). Sebab, menurutnya, pemakzulan hanya dimungkinkan dengan empat alasan, yaitu melakukan (1) korupsi (KKN), (3) penyuapan, (3) tindak pidana berat lainnya, dan (4) perbuatan tercela. “Tanpa salah satu dari empat alasan ini, presiden tidak bisa dijatuhkan,” ujar Mallarangeng dalam talkshow yang antara lain dihadiri oleh Presiden PKS Tifatul Sembiring.

Pendapat Mallarangeng itu didasarkan pada ketentuan konstitusi Pasal 7A yang mengatur dalam hal apa saja seorang presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Sayangnya, ia kurang cermat membaca ketentuan Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945 itu. ‘Kesalahan kecil’ Mallarangeng adalah tidak menyinggung alasan pengkhianatan terhadap negara sebagai salah satu pintu pemakzulan. Dengan demikian, alasan pemakzulan itu menjadi lima sebab, bukan empat seperti dinyatakannya. Namun, ‘kesalahan besar’ Mallarangeng adalah menghilangkan anak kalimat yang berbunyi “apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Bila dibaca secara cermat ketentuan Pasal 7A, dapat diketahui bahwa secara garis besar presiden dapat dijatuhkan dengan dua sebab, yaitu (1) melakukan pelanggaran hukum (lima jenis) dan (2) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal 7A itu lengkapnya berbunyi: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Soal pelanggaran hukum, jelas disebutkan lima jenis saja dan karenanya tidak terlalu memunculkan problem. Walaupun frase “perbuatan tercela” misalnya sangat interpretatif, yang dalam UU Pilpres (Nomor 23 Tahun 2003) diterjemahkan sangat lebar, yaitu “tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina.“

Yang menjadi persoalan besar adalah pemakzulan dengan alasan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden. Konstitusi kita hanya menyebut tiga syarat menjadi presiden/wakil presiden, yaitu (1) WNI sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri, (2) tidak pernah mengkhianati negara, dan (3) mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tiga syarat dalam UUD 1945 ini kemudian diperlebar menjadi 20 syarat dalam UU Pilpres (Pasal 6 a hingga j). Antara lain bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melaporkan kekayaan, tidak memiliki tanggungan utang yang merugikan keuangan negara, tidak dinyatakan pailit, tidak dicabut hak pilihnya, terdaftar sebagai pemilih, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Dengan tambahan syarat dalam UU Pilpres tersebut maka semakin lebar pula peluang untuk memakzulkan presiden. Sebagai contoh, syarat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa diterjemahkan sebagai taat menjalankan kewajiban agamanya. Apa itu menjalankan kewajiban agama? Tentu sangat banyak. Seandainya sebagai seorang muslim SBY tidak melaksanakan shalat, apakah bisa diartikan ia tidak melaksanakan kewajiban agama dan karenanya cukup alasan untuk dimakzulkan. Atau, ternyata ia tidak memiliki NPWP, apakah juga bisa dimakzulkan. Secara teoretis, berdasarkan alasan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, ia bisa dijatuhkan. Namun, tentu saja sangat aneh ada seorang presiden yang dipilih secara langsung dan demokratis dijatuhkan karena tidak memiliki NPWP.

Yang lebih serius dan potensial ditarik penafsiran ke sana kemari adalah penjelasan syarat tidak pernah mengkhianati negara yang antara lain diartikan tidak pernah melanggar UUD 1945. Salah satu pasal dalam UUD 1945 menyatakan bahwa anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen. Angka itu tidak mungkin dapat dicapai saat ini karena akan memakan mata anggaran lain yang juga tak kalah pentingnya. Lalu, apakah presiden bisa dijatuhkan karena tidak mengalokasikan dua puluh persen anggaran negara untuk pendidikan? Terlalu banyak alasan yang bisa ditarik-tarik DPR bila bermaksud menjatuhkan presiden.

Dengan aturan yang sangat interpretatif itu, apa yang harus dilakukan seorang SBY untuk bisa lepas dari jebakan pemakzulan, apalagi ia adalah presiden yang hanya didukung minoritas parlemen (minority president). Jawabannya, harus dilihat dari dua aspek, politik dan hukum.

Secara politik, presiden harus terus-menerus memelihara dukungan dari rakyat, antara lain segera merealisasikan janji-janji kampanye. Dengan dukungan rakyat, sulit bagi DPR untuk menggunakan pasal karet impeachment karena akan terus-menerus mendapatkan perlawanan dari rakyat. Rakyat yang loyal dan mendukung bisa menjadi tameng SBY. SBY juga harus terus-menerus memecah kekuatan parlemen agar tidak terkonsentrasi pada kutub yang berlawanan. Untuk hal ini SBY telah melangkah dengan menempatkan menteri-menteri dari partai menengah, PKB, PPP, PKS, dan PBB. Bahkan, tokoh ’mbalelo’ dari Golkar, Fahmi Idris, juga direkrut masuk kabinet. Satu-satunya partai yang ’dikucilkan’ dari kabinet SBY hanyalah PDIP. Terlepas dari suara-suara tidak puas terhadap kabinet, SBY paling tidak telah mereduksi ancaman partai-partai dalam jangkah pendek ini.

Namun, karena ada adagium “tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik“, SBY harus pula melengkapi langkah-langkah politik dengan langkah-langkah yuridis. Menyandarkan kekuatan hanya dengan topangan aliansi politik akan berbahaya bagi SBY. Pengalaman Gus Dur (1999-2001) menjadi pelajaran berharga. Begitu kongsi politik pecah, terlihat jelas begitu rapuhnya kekuasaan Ketua Dewan Syuro PKB itu.

Langkah konkret di bidang hukum yang harus dilakukan adalah amandemen terhadap pasal-pasal impeachment. Pasal-pasal tersebut harus dibuat seterang mungkin sehingga tidak memunculkan penafsiran-penafsiran yang bisa ditarik ke sana kemari. Tidak boleh ada syarat-syarat pemberhentian presiden yang tidak terukur seperti melakukan perbuatan tercela. Langkah amandemen konstitusi ini dapat disinergikan dengan kebutuhan DPD untuk melebarkan kewenangan mereka yang sungguh kerdil di tingkat konstitusi. Juga dapat dipadusatukan dengan komponen-komponen society yang masih melihat masih ada kebutuhan amandemen konstitusi.

Secara riil, konstitusi kita sendiri memang masih membutuhkan penyempurnaan. Dalam tulisan di harian ini saya menyebut beberapa contoh kebutuhan akan amandemen konstitusi, yang terpenting di antaranya melakukan konsolidasi naskah konstitusi hasil empat kali amandemen menjadi satu naskah yang utuh (Refly Harun, “Pemilihan Kepala Daerah dan Amendemen Kelima“, Koran Tempo, 13/10).

Namun, sebelum langkah amandemen konstitusi itu dilakukan, SBY bisa segera memelopori amandemen UU Pilpres sesegera mungkin, antara lain dengan menghapuskan ketentuan tentang syarat presiden/wakil presiden yang berjumlah 20 buah. Syarat-syarat menjadi presiden/wakil presiden harus dikembalikan kepada ketentuan UUD 1945 saja (tiga syarat). Dengan mengembalikan syarat hanya kepada konstitusi maka semakin kecil peluang untuk menjatuhkan presiden.

Secara teoretis, pelebaran syarat menjadi presiden/wakil presiden dari tiga syarat menjadi 20 syarat di tingkat UU Pilpres dapat dinilai sebagai tindakan inkonstitusional. Prof. Harun Alrasid, misalnya, dalam berbagai kesempatan selalu menyatakan bahwa penambahan syarat dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, syarat menjadi presiden dan wakil presiden adalah materi konstitusi. Undang-undang tidak boleh menambah syarat tersebut, melainkan hanya sekadar mengelaborasi syarat-syarat tersebut agar dapat dilaksanakan.

Dalih bertentangan dengan UUD 1945 bisa dijadikan alasan bagi SBY, untuk mengajukan judicial review terhadap syarat-syarat tersebut. Judicial review menjadi langkah hukum lainnya. Intinya, langkah hukum harus segera dilaksanakan. Bila tidak, SBY berpotensi mendapatkan gangguan karena hukum bisa ditarik ke sana kemari.***

Jakarta, 22 Oktober 2004

No comments: