16 March 2009

Perlu Konsensus untuk Pemilu 2004 (Need a Consensus for the 2004 Election)

This article published by the Indonesian media

Sinar Harapan, 29 April 2004


Refly Harun

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Hukum Tatanegara UI


Politik kerap diartikan sebagai the art of possibilities (seni tentang kemungkinan-kemungkinan). Sekecil apapun peluang yang ada akan terus digunakan untuk memperjuangkan suatu kepentingan tertentu. Inilah rupanya yang sedang dipraktekkan kelompok-kelompok “antiamandemen” di MPR yang dipelopori Amin Aryoso dengan Gerakan Nurani Parlemen (GNP)-nya dan Hartati Murdaya dengan petisi penolakan masuknya sistem bikameral. Meski keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah diakui dan disahkan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 di Sidang Tahunan MPR 2001, kedua kelompok itu terus berupaya mementahkannya. Sebaliknya, mereka tetap ingin mempertahankan sosok atau sistem lembaga perwakilan yang lama di MPR, yaitu MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah utusan daerah dan utusan golongan.

Challenge dari dari kelompok “antiamandemen” itu tidak bisa dipandang sebelah mata ---apalagi di luar MPR mereka juga didukung oleh sekumpulan pakar-pakar tua yang dimotori Prof. Usep Ranawijaya yang tergabung dalam Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK). Sejauh ini mereka telah mengumpulkan sekitar 200 tanda tangan anggota-anggota MPR untuk mendukung misi mereka. Jumlah ini bukan tidak mungkin akan terus bertambah sampai pelaksanaan Sidang Tahunan MPR 2002, Agustus nanti. Kalau memang demikian, perubahan UUD 1945 yang telah dimulai pada Sidang Umum MPR 1999 (Perubahan Pertama UUD 1945) menghadapi bahaya besar. UUD 1945 terancam menjadi konstitusi yang tidak lengkap, atau bahkan mengandung materi yang saling bertentangan antara rumusan satu dengan rumusan lainnya.

Kuorum 2/3

Seperti yang tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945, untuk mengubah UUD 1945, 2/3 anggota MPR harus hadir, dan putusan diambil berdasarkan persetujuan 2/3 dari anggota MPR yang hadir. Dengan jumlah anggota MPR sebanyak 695orang, kuorum sah sidang perubahan UUD 1945 adalah 2/3 x 695 orang = 464 orang (dibulatkan) ----berdasarkan UU Nomor 4/1999, jumlah anggota MPR adalah 700 orang. Namun, karena Timor Timur lepas dari Indonesia, jatah lima orang utusan daerah dari bekas provinsi itu ditiadakan. Maka suara sah bagi suatu perubahan adalah 2/3 x 464 orang = 310 orang (dibulatkan). Artinya, perubahan UUD 1945 bisa disepakati dengan suara setuju kurang dari setengah jumlah seluruh anggota MPR.. Dengan prosedur perubahan seperti ini, UUD 1945 sebenarnya tidak tergolong konstitusi yang sulit diubah (rigid) seperti halnya Konstitusi Amerika Serikat.

Kendati begitu, jika ada 233 anggota MPR yang tidak sepakat dengan perubahan UUD 1945, perubahan tidak bisa dilakukan ---angka 233 adalah 1/3 jumlah anggota MPR plus 1. Kuorum sidang tidak akan tercapai jika mereka mangkir dari sidang. Atau, jika mereka hadir dalam sidang perubahan namun tidak memberikan suara setuju, perubahan juga tidak bisa dilakukan.

Dengan sudah menggalang sekitar 200 tanda tangan dan diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah, maka kelompok “antiamandemen” berpotensi besar menggagalkan perubahan keempat UUD 1945 dalam ST MPR Agustus nanti. Padahal, perubahan keempat itu sudah menjadi sebuah conditio sine quanon, suatu kondisi yang tak terelakkan. Mengapa? Karena Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam ST MPR 2001 telah menyisakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam ST MPR 2002. Dua PR yang terpenting adalah komposisi keanggotaan MPR dan soal pemilihan presiden pada putaran kedua (second round).

Menyangkut komposisi MPR, ST MPR 2001 menyajikan dua alternatif, yaitu MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD saja; atau MPR terdiri atas anggota DPR, DPD, plus utusan golongan. Dalam perkembangannya, Fraksi Utusan Golongan (F-UG) di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, yang saat ini sedang menyusun rancangan perubahan keempat UUD 1945, mengusulkan agar rumusan keanggotaan MPR itu dikembalikan pada rumusan lama, yaitu MPR terdiri atas anggota-anggota MPR, ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Sikap F-UG ini jelas menegasikan keberadaan DPD yang sudah disepakati dalam ST MPR 2001.

Mengenai pemilihan presiden langsung, yang sudah disepakati baru untuk putaran pertama (Pasal 6A ayat [1] dan ayat [3]). ST MPR 2002 harus menyelesaikan rumusan putaran keduanya, apakah dikembalikan lagi ke rakyat atau cukup dilakukan oleh MPR. Sejauh ini belum diketahui bagaimana sikap faksi-faksi “antiamandemen” di MPR terhadap isu pemilihan langsung presiden. Seandainya mereka juga menolaknya, maka pasal tentang pemilihan presiden langsung itu terancam tidak lengkap karena tidak mengatur tentang pemilihan putaran kedua.

Pertanyaannya, bagaimana eksistensi DPD dan kesepakatan tentang pemilihan presiden langsung seandainya ST MPR 2002 nanti gagal menetapkan perubahan tentang komposisi anggota MPR dan pemilihan presiden putaran kedua? Jawabnya, sepanjang tidak dilakukan perubahan atau amandemen, ketentuan-ketentuan tentang DPD tetap sah dan pemilihan presiden secara langsung sudah bisa dilaksanakan pada Pemilu 2004. Hanya memang akan terasa janggal karena DPD tidak akan terwakili di MPR ---MPR tetap terdiri atas anggota DPR, ditambah utusan daerah dan utusan golongan. DPD akan menjadi sebuah lembaga yang berdiri di luar sistem MPR dengan tugas dan kewenangan sendiri.

UUD 1945 juga nantinya tidak mengatur bagaimana bila pada pemilu putaran pertama tidak ada calon yang meperoleh minimal jumlah suara untuk menjadi presiden, yaitu (1) mendapat lebih dari 50% suara dalam pemilihan umum dan (2) mendapatkan minimal 20% suara di sekurang-kurangnya separuh dari jumlah provinsi di Indonesia. Itu artinya UUD 1945 akan mengabaikan salah satu syarat penting bagi sebuah konstitusi yang baik, yaitu syarat semua masalah dalam konstitusi harus mendapat tempat dan tidak boleh ada yang tersisa (het dekken van de rechtsstof) (Arifin P Soeria Atmadja, 2002).

Tidak disepakatinya pemilihan presiden langsung putaran kedua ini pun bukan tidak mungkin akan berimbas pada pembatalan pemilihan presiden pada putaran pertama. Sebab, pada dasarnya, aturan tentang pemilihan presiden itu satu paket. Logikanya, bila satu ayat ditolak, ayat lainnya pun harus digugurkan.

Konsensus MPR

Pada titik ini, tidak bisa tidak, sebuah Komisi Konstitusi yang indenpenden perlu dibentuk. Komisi Konstitusi inilah yang akan mencari dan merumuskan pendapat rakyat yang genuine terhadap masalah yang kini dipertentangkan para politisi di MPR dalam sebuah rancangan konstitusi yang utuh. Untuk itu, ST MPR 2002 nanti harus melakukan tiga hal. Pertama, mengakhiri proses perubahan UUD 1945 yang sudah berlanjung sejak 1999, apapun hasil yang didapat. Kedua, mengagendakan pembentukan Komisi Konstitusi untuk menyiapkan rancangan konstitusi yang utuh, salah satu acuannya adalah perubahan-perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan selama ini. Ketiga, mencari konsensus sehubungan dengan pelaksanaan Pemilu 2004.

Penulis tidak sepakat Komisi Konstitusi ----andai jadi dibentuk----harus menyelesaikan tugasnya sebelum Pemilu 2004. Komisi Konstitusi harus diberi waktu yang longgar untuk menyiapkan suatu rancangan perubahan konstitusi sebelum akhirnya ditetapkan oleh MPR. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai Komisi Konstitusi bekerja secara elitis sebagaimana halnya Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Untuk menghadapi Pemilu 2004, agenda yang kerap dihubungkan dengan terbatasnya waktu untuk melakukan perubahan konstitusi, harus dicapai konsensus di antara fraksi-fraksi yang ada di MPR. Misalnya, apakah Pemilu 2004 itu hanya memilih anggota DPR dan DPRD saja, ataukah termasuk juga memilih anggota DPD. Penulis sendiri berpendapat pemilihan anggota DPD ditunda saja sampai konstitusi baru ditetapkan.

Namun, untuk pemilihan presiden secara langsung, penulis berpendapat tetap harus dilaksanakan pada Pemilu 2004. Sebab, inilah agenda yang ditunggu-tunggu rakyat. Karena itu, fraksi-fraksi di MPR harus menyepakati sebuah formula yang memungkinkan presiden terpilih. Formula itu bersifat einmalig, sekali saja dipraktekkan. Penulis mengusulkan pemilu satu putaran saja (first-past the post). Siapa pun yang mendapat suara terbanyak, dialah yang menjadi presiden. Tidak perlu dipersyaratkan jumlah minimal suara atau persebaran suara. Mekanisme pemilihan presiden secara langsung untuk pemilu-pemilu berikutnya harus diatur dalam konstitusi yang dihasilkan Komisi Konstitusi. ***

No comments: