21 March 2009

Memberi Makna Sistem Proporsional Terbuka

(Give Meaning to the Open-List PR System)

This article was published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 11 March 2009

By Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro),
Chevening Fellow University of Birmingham, UK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, 26 Februari lalu. Perppu tersebut berisi dua materi, yaitu mengenai rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) dan pengesahan pemberian lebih dari satu tanda. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana menyatakan bahwa perppu tersebut perlu dikeluarkan untuk menyelamatkan suara rakyat. Pernyataan itu tidak berlebihan. Hasil simulasi International Foundation for Electoral System (IFES) di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, misalnya, memperlihatkan tingginya persentase suara tidak sah, yaitu di atas 20 persen. Padahal, tingkat toleransi ketidakabsahan surat suara menurut standar internasional adalah 2,5-3 persen (IFES, 2009).

Kemungkinan banyaknya suara tidak sah itu sebenarnya sudah pernah penulis kemukakan ketika rapat mengenai desain surat suara dan tata cara pemberian suara dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam kapasitas sebagai konsultan Partnership for Governance Reform (PGR) sekitar Agustus 2008. Demikian pula ketika menjadi pembicara dalam diskusi terbatas di IFES, yang antara lain dihadiri anggota KPU (Andi Nurpati) dan beberapa anggota DPR.

Dalam hal desain surat suara, KPU dibatasi ketentuan Pasal 143 UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) yang menyatakan bahwa surat suara terdiri atas empat komponen, yaitu (1) tanda gambar parpol, (2) nomor urut parpol, (3) nomor urut calon, dan (4) nama calon. Adapun dalam hal tata cara pemberian suara, KPU dibatasi ketentuan Pasal 153 dan Pasal 176 UU Pemilu. Pasal 153 berisi antara lain mengenai keharusan pemberian satu tanda. Sementara Pasal 176 berisi ketentuan mengenai suara sah, yaitu memberikan tanda (satu kali) pada kolom nama parpol atau kolom nomor calon atau kolom nama calon (alternatif).

Bila dicermati, antara Pasal 143 dan Pasal 176 tidak sinkron. Bila diterapkan secara konsisten desain surat suara yang diperintahkan Pasal 143, ada satu kolom yang tidak tersedia, yaitu kolom nama parpol. Pasal 143 menyebutkan tanda gambar parpol, bukan nama parpol. Tanda gambar parpol dan nama parpol adalah dua hal yang berbeda. Terbukti, dalam membuat desain surat suara, KPU akhirnya menambahkan nama parpol secara lengkap di luar tanda gambar masing-masing parpol. Dengan cara pandang normatif, bisa dikatakan desain seperti ini melanggar Pasal 143 karena memuat suatu hal yang tidak diperintahkan, yaitu nama parpol.

Menyadari pasal-pasal dalam UU Pemilu sering tidak sinkron, demi menyelamatkan suara rakyat dan membuat sistem proporsional terbuka bermakna, saya mengusulkan sebuah terobosan hukum, yaitu dengan menyediakan kolom penandaan bagi pemilih. Dengan demikian, pemilih tidak memilih di kolom-kolom alternatif seperti disebut Pasal 176, yang berpotensi menyebabkan suara tidak sah, melainkan langsung pada kolom penandaan yang dapat diletakkan di sisi kiri setiap nama calon, yang menggambarkan pilihan terhadap parpol dan calon sekaligus. Kampanye kepada pemilih akan lebih mudah, misalnya dengan tema “tandailah pilihanmu pada kolom penandaan”.

Cara lain yang tidak menyimpang dari undang-undang adalah dengan menyediakan kolom nama parpol sejajar dengan kolom nomor urut dan nama calon. Nantinya, calon boleh memilih nama parpol atau nomor urut calon atau nama calon sebagaimana diperintahkan Pasal 176. Pilihan tetap dengan satu tanda, namun suara jatuh kepada parpol dan calon sekaligus. Tidak ada suara yang jatuh kepada parpol saja. Hal ini akan membuat sistem proporsional terbuka lebih berarti.

Dua Skenario
Sayangnya, usulan menyelamatkan suara rakyat dan memperkuat sistem proporsional terbuka itu ditolak. Selain alasan teknis betapa susahnya mengadopsi usulan dalam desain surat suara yang memuat banyak partai dan kandidat, alasan yang lebih substantif adalah dalam sistem proporsional, pilihan terhadap parpol adalah primer (wajib), sedangkan pilihan terhadap calon adalah sekunder (tidak wajib). Tidak logis bila pemilih dilarang memilih parpol dan diarahkan kepada calon saja. Dalam keadaan normal pendapat ini tidak keliru, tetapi jadi bermasalah bila diterapkan pada ketentuan satu tanda.

Saya sudah membayangkan betapa banyaknya suara tidak sah bila pemilih dibolehkan memilih parpol atau kandidat dengan kebijakan satu tanda tetap dipertahankan. Pimpinan parpol akan mengampanyekan parpol, misalnya dengan menyebut nomor urut parpol. Sedangkan kandidat akan mengampanyekan dirinya sendiri dengan menyebutkan nomor urut mereka. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU akan mengampanyekan dua-duanya, yaitu pilihlah parpol atau calon, bukan pilihlah parpol dan calon.

Komunikasi yang baik adalah single message, hanya berisi satu pesan, sehingga mudah dicerna. Dalam kasus di atas, ada tiga pesan yang akan diterima: dari pimpinan parpol yang berisi pesan pilihlah parpol; dari kandidat yang berisi pesan pilihlah mereka; dan dari KPU yang berisi pesan pilihlah parpol atau kandidat. Bila pesan ini sampai ke pemilih awam, yang merupakan mayoritas pemilih kita, ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, mereka akan berpikir bahwa memilih parpol dan kandidat secara bersamaan adalah sah sebagaimana Pemilu 2004. Kedua, karena bingung, mereka memilih parpol saja, karena demikianlah kebiasaan pemilu selama ini. Bila skenario pertama yang terjadi, akan banyak suara tidak sah. Sebaliknya, bila skenario kedua yang mengemuka, tak ada gunanya sistem proporsional terbuka yang membengkakkan biaya pemilu, terutama dari sisi pengadaan kertas dan surat suara. Fenomena Pemilu 2004 akan terulang kembali. Dari 550 anggota DPR yang terpilih, hanya dua orang yang memenuhi bilangan pembagi pemilihan (BPP), yaitu Hidayat Nurwahid dan Saleh Djasit.

Untunglah ada putusan MK yang membatalkan Pasal 214, 19 Desember 2008. Di tengah kontroversi yang mengiringinya, bagi saya, putusan tersebut merupakan berita baik dikaitkan dengan pilihan sistem proporsional terbuka. Mereka yang tetap mengarahkan pilihan terhadap parpol (saja) tidak berkutik lagi dengan adanya putusan tersebut. Munculnya Perppu Nomor 1 Tahun 2009 makin menguatkan putusan MK. Perppu tersebut tidak hanya menyelamatkan suara rakyat, melainkan membuat lebih bermakna sistem proporsional terbuka. Kompetisi di antara calon untuk merebut kursi legislatif akan lebih adil dan demokratis dengan sistem suara terbanyak dan berkurangnya potensi suara tidak sah.***

Birmingham, Inggris, 6 Maret 2009

No comments: