16 March 2009

Menghadang Politikus Tercela (Oppose to Bad Politicians)

This article was published by the Indonesian media
Kompas, 10 September 2003
Refliy Harun
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI dan Yayasan Harkat Bangsa
  

Pemilihan Umum 2004 dengan beberapa alasan akan menjadi pemilu
yang sangat menentukan bagi proses demokrasi di Indonesia. Ada
beberapa alasan yang dapat memperkuat pernyataan itu.
Pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 adalah pemilu yang
diselenggarakan untuk pertama kalinya di era pascaperubahan UUD 1945.
Perubahan UUD 1945, betapa pun banyak mengundang kritik karena
kelemahan yang dihasilkan, telah meletakkan struktur baru
ketatanegaraan Indonesia. Selain memerintahkan pembentukan lembaga
baru kenegaraan (Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Dewan
Perwakilan Daerah), UUD 1945 hasil amandemen juga memperkenalkan
instrumen pemilihan umum yang baru, yaitu pemilihan presiden secara
langsung dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kedua, Pemilu 2004 akan menjadi kunci jawaban akan keberhasilan
transisi politik di Indonesia. Guillermo O’Donnel dan Philippe C
Schmitter (1986) menyimpulkan bahwa transisi dari suatu pemerintahan
yang otoriter dapat berujung dengan terciptanya demokrasi politik
atau lahirnya lagi sistem pemerintahan otoriter, bahkan tidak
tertutup kemungkinan dalam bentuk yang lebih buruk.
Dikaitkan dengan konteks Indonesia, tak pelak Pemilu 2004 akan
menjadi medan pertarungan antara "kekuatan baru" yang menginginkan
sistem baru (rezim demokratis) dan "kekuatan lama" yang menginginkan
kembalinya sistem lama (rezim otoritarian). Sudah tentu yang kita
impikan adalah terwujudnya negara demokratis dan bebas dari korupsi.
Karena itu, Pemilu 2004 harus dijamin mampu menghasilkan pemimpin
(presiden dan wakil presiden) dan wakil rakyat (anggota DPR, DPD, dan
DPRD) yang berkeinginan membawa Indonesia selamat dari transisi
demokrasi sekaligus bernyali memberantas korupsi. Sebab, seperti
dikatakan Herbert Hoover, when there is a lack of honor in
government, the morals of the whole people are poisoned.
Masalahnya, bagaimana menghadang pemimpin-pemimpin dan wakil-
wakil rakyat yang buruk (bad politician) terpilih dalam Pemilu 2004?
Saya ingin menggarisbawahi apa yang telah dilakukan Indonesian
Corruption Watch (ICW) selama dua bulan terakhir ini. Bekerja sama
dengan UNDP, ICW menggelar suatu workshop di tiga kota, yaitu
Bandung, Padang, dan Kupang, bertajuk "Ikrar Pemilu Jujur dan
Demokratis", dan kebetulan saya diundang menjadi salah seorang
pembicara dalam kegiatan di Kupang.
Yang ingin dituju ICW dalam kegiatannya adalah munculnya ikrar
dari partai politik bahwa mereka akan berlaku jujur dalam Pemilu
2004, salah satunya menghindari praktik pembelian suara (buying
votes) seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Partai yang bersedia
berikrar jujur akan dikampanyekan sebagai partai baik dan layak
dipilih, sedangkan yang menolak berikrar akan juga akan
dikampanyekan, tetapi sebagai partai yang buruk dan tidak layak
dipilih.
Namun, ikrar saja tidak cukup, karena watak partai politik dan
politikus yang kerap mengidap penyakit amnesia terhadap janji-janji
politik mereka. Karena itu, bersama koalisi anggota pemantau pemilu,
seperti Transparency International dan Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP), ICW juga berupaya menggalang koalisi masyarakat
sipil untuk suatu pemantauan dana kampanye dan apa yang disebut
dengan political tracking.

DENGAN memantau dana kampanye, dapat diketahui partai-partai mana
saja yang memiliki catatan keuangan yang baik, sehingga bisa menjadi
credit point bagi mereka; demikian pula sebaliknya terhadap partai
yang memiliki catatan keuangan yang buruk akan dikampanyekan sebagai
partai yang tidak layak dipilih. Lebih dari itu, pemantauan dana
kampanye dimaksudkan untuk menguak sumber-sumber dana-dana kampanye
yang tidak jarang berasal dari uang haram (hasil korupsi, judi, dan
lain-lain).
Yang relatif baru di Indonesia adalah political tracking, yaitu
suatu kegiatan untuk menelusuri latar belakang baik kandidat maupun
partai politik sehingga dapat ditentukan apakah kandidat atau partai
politik itu baik atau buruk. Hal ini perlu dilakukan karena selama
ini pemilih tidak mendapat cukup informasi terhadap para kandidat dan
partai yang akan dipilih.
Contoh gemilang dari kegiatan political tracking adalah yang
terjadi di Korea Selatan (Korsel). PSPD, sebuah LSM ternama di
Korsel, melakukan kegiatan political tracking yang kemudian berujung
pada pembuatan daftar hitam (blacklisting) politikus-politikus di
sana. Hasilnya, dari 87 politikus yang masuk daftar hitam, 57 di
antaranya tidak terpilih. Dalam suatu presentasi di kantor ICW,
seorang ahli bahasa dari Korsel menerjemahkan dengan "politikus
tercela" untuk istilah bahasa Korea yang bahasa Inggrisnya kurang
lebih 'bad politician'. Istilah inilah yang lalu diperkenalkan ICW
dalam kegiatan-kegiatan mereka.
Kegiatan political tracking terutama yang berujung pada
blacklisting kandidat tercela menurut saya perlu didukung. Namun,
sekadar berbagi informasi, perlu dipertimbangkan pula kelemahan-
kelemahan yang bakal muncul. Diterapkan pada pemilihan anggota DPR
dan DPRD, kelemahan itu terletak pada sistem pemilu yang diadopsi
untuk Pemilu 2004 melalui UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, yaitu
sistem proporsional dengan daftar terbuka yang ’seperempat hati ’.

DALAM Pemilu 2004 nanti, pemilih dapat memilih partai saja atau
orang dan partai sekaligus. Kandidat yang mendapat jumlah suara yang
sama atau melebihi kuota kursi dari suatu daerah pemilihan otomatis
melenggang ke parlemen. Sedangkan yang tidak memenuhi kuota akan
tergantung dari kursi yang diperoleh partainya. Misalnya, suatu
partai mendapatkan tiga kursi di suatu daerah pemilihan dan hanya
satu kandidat yang memenuhi kuota suara yang dibutuhkan, maka dua
kursi lain diperuntukkan kepada kandidat-kandidat yang didaftar di
urutan teratas pertama dan kedua. Dengan cara ini, elite-elite partai-
yang biasanya didaftar di urutan atas-tetap dapat melenggang ke
parlemen kendati secara ekstrem tidak memperoleh suara. Itulah
sebabnya sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2004 kerap diolok-
olok dengan sistem ’setengah hati’ bahkan ’seperempat hati’.
Terkait dengan kegiatan blacklisting, bisa saja aktivitas ini
sangat berhasil sehingga politikus yang dimasukkan ke daftar hitam
tidak memperoleh suara. Tetapi, karena ditempatkan di urutan atas,
mereka tetap bisa melenggang ke parlemen. Kandidat yang baik pun
secara tidak sengaja bisa menyumbang kursi bagi kandidat tercela.
Misalkan, seorang kandidat setelah ditelusuri betul-betul dinilai
layak pilih dan rakyat berbondong-bondong memilihnya sehingga
menghasilkan dua-tiga kursi bagi partainya, maka kelebihan suara itu
tetap diperuntukkan kandidat yang didaftar di urutan atas, yang bukan
tidak mungkin kandidat tercela.
Bila yang didaftar hitam itu adalah partai-partai politik dan
pemilih kemudian tidak memilih partai-partai politik yang buruk
tersebut, kerugian akan dialami kandidat baik yang kebetulan
dicalonkan partai buruk. Sebab, dalam Pemilu 2004, pemilih tidak
boleh sekadar memilih kandidat tanpa memilih parpol. Bila yang
dimasukkan dalam daftar hitam itu parpol, semua parpol yang saat ini
memiliki wakil di DPR berpotensi masuk daftar hitam karena
memperlihatkan kinerja buruk terutama dalam pemberantasan korupsi.
Yang paling ideal adalah partai yang baik mencalonkan kandidat
yang juga baik sehingga tidak terjadi kebingungan seperti yang telah
digambarkan. Namun, terlepas dari kelemahan itu, saya pribadi
mendukung, mendambakan, dan ingin ikut mengampanyekan suatu koalisi
masyarakat sipil yang bermaksud menghadang politikus-politikus
tercela agar tidak melenggang ke parlemen dan memimpin bangsa ini.



No comments: