17 March 2009

Siapa Perlu Komisi Kebenaran?

Published by Koran Tempo, 12 December 2006

Refly Harun

· Mahasiswa Program Human Rights University of Notre Dame

Dari tanah dingin Notre Dame, AS, yang mulai diselimuti salju, saya mengikuti secara agak real time putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Seorang teman berbaik hati "melaporkan" proses persidangan yang berlangsung mulai pukul 10.00 WIB atau 22.00 waktu Notre Dame itu. Hal ini lantaran Profesor Douglas Cassel, Direktur Center for Civil and Human Rights University of Notre Dame, pernah menjadi ahli dalam persidangan kasus tersebut. Ia sungguh ingin tahu secepatnya putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusannya cukup mengejutkan. Mahkamah Konstitusi membatalkan bukan hanya tiga pasal seperti yang diminta, melainkan keseluruhan undang-undang. Hal ini persis seperti yang terjadi pada UU Ketenagalistrikan yang diputuskan juga pada Desember dua tahun silam. Alasan Mahkamah Konstitusi memberikan "bonus", hakikat pengujian undang-undang adalah erga omnes (mengikat semua), tidak sekadar menyangkut kepentingan mereka yang meminta pengujian.

Apa komentar Profesor Cassel mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut? "Great news on the result," katanya. Saya mencoba berargumentasi, "Bukankah itu artinya tidak akan ada komisi kebenaran di Indonesia?" "Good point. But frankly, from what I saw of this law, Indonesia is better off with no truth commission than with this one." Diilhami pernyataan Profesor Cassel tersebut, tulisan ini mencoba mengajukan dua persoalan. Pertama, siapa yang sesungguhnya membutuhkan komisi kebenaran. Kedua, apakah Indonesia membutuhkan komisi semacam ini.

Tidak bisa dimungkiri, hiruk-pikuk mengenai komisi kebenaran sedikit-banyak diilhami pengalaman negara lain, terutama Afrika Selatan. Terlepas dari beberapa kelemahan yang ada, komisi kebenaran di Afrika Selatan dinilai berhasil memutus rantai politik apartheid dan membawa negara itu ke dalam kehidupan yang lebih demokratis dan egaliter. Setiap negara yang mengalami fase transisional dari rezim otoriter ke era demokratis lantas berupaya meniru "jalan Afrika Selatan" dengan membentuk komisi kebenaran. Komisi semacam ini pun kemudian bertebaran di mana-mana, dari Argentina ke Cile, dari Cile ke Sierra Leone, dari Sierra Leone ke Timor Leste, dan seterusnya. Terlebih, seperti dikatakan Lyons (2004), ada kecenderungan negara kaya atau lembaga donor internasional mau menggelontorkan isi koceknya bila sebuah negara memilih membentuk komisi kebenaran.

Diprovokasi oleh sejumlah LSM yang bergerak di bidang hak asasi manusia, demam komisi kebenaran juga melanda Indonesia. Namun, pemerintah sendiri terkesan ogah. Seperti disinyalir Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsam), militer paling berkeberatan terhadap terbentuknya lembaga ini. Hal ini dapat dimaklumi karena lembaga ini bisa jadi akan menjadi media yang "mempermalukan" tentara yang diduga banyak terlibat pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu.

Alhasil, dua pemilu berlalu, masa transisi dianggap sudah lewat, komisi kebenaran belum juga terbentuk. Bahkan salah seorang anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan Indonesia tidak butuh lagi komisi kebenaran. Komisi ini, katanya, diperuntukkan pada masa transisi. Dalam hal ini, Indonesia tidak lagi berada pada masa transisi karena telah berhasil menyelenggarakan dua kali pemilu demokratis.

Kita bisa berdebat apakah Indonesia masih dalam fase transisi demokrasi atau tidak. Namun, satu hal yang jelas, dua kali pemilu demokratis menunjukkan bahwa Indonesia mampu melewati masa transisional tanpa kehadiran sebuah komisi kebenaran. Hal ini yang agaknya membedakan Indonesia dengan Afrika Selatan. Di negeri itu, sebuah komisi kebenaran seperti conditio sine qua non. Tanpa komisi kebenaran, tanpa pengakuan kesalahan, tanpa reparasi bagi korban, demokrasi tidak akan berjalan. Terlalu banyak korban apartheid di tanah hitam itu, demikian pula para pelakunya. Antara korban (si hitam) dan pelaku (si putih) perlu dipersatukan lagi (reconcile) untuk menjadikan Afrika Selatan maju dan demokratis.

Kondisi di Indonesia sangat berbeda. Korban dan pelaku bukan tidak banyak, tapi mereka seperti bisa "diabaikan" dalam proses demokrasi. Korupsi, kemiskinan, dan pengangguran dalam derajat tertentu dinilai lebih bisa membunuh proses demokrasi ketimbang terbengkalainya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Karena itu, dalam konteks Indonesia, siapa sesungguhnya yang butuh komisi kebenaran, jawabannya jelas: korban. Pemerintah tidak butuh, apalagi tentara. Rakyat kebanyakan di luar korban juga tidak membutuhkannya, kecuali karena alasan kemanusiaan bahwa mereka bersimpati terhadap korban. Indonesia secara umum, bisa jadi, juga tidak membutuhkan komisi ini.

Karena itu, bila kemudian diputuskan untuk membentuk sebuah komisi kebenaran, sudah seharusnya hal itu lebih didedikasikan kepada korban. Komisi kebenaran made in Indonesia harus bisa menjadi sarana pemulihan bagi para korban. Ia harus bisa menjadi media untuk menuntut hak yang telah dirampas ketika pelanggaran HAM berat terjadi. Tapi UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mengarah ke sana. Alih-alih menjadi sarana bagi korban dalam memperjuangkan keadilan, undang-undang ini malah membatasi hak korban untuk mendapatkan pemulihan di satu sisi, dan di sisi lain justru menawarkan iming-iming amnesti bagi pelaku kejahatan HAM berat, yang sangat ditentang oleh komunitas internasional. Sangat beralasan bila kemudian ada pihak yang meminta pembatalan sejumlah pasal, yang kemudian dijawab Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan keseluruhan undang-undang. Pembatalan undang-undang ini segera menutup pintu bagi pembentukan komisi kebenaran. Energi pemerintah, DPR, demikian pula publik, tampaknya, tidak akan kuat lagi untuk mendorong pembentukan lembaga ini.

Lalu bagaimana dengan nasib para korban? Bagaimana dengan pelaku yang masih berselimut impunitas? Bagi para korban pelanggaran HAM, pemerintah sudah seharusnya menyediakan sebuah program pemulihan massal. Korban yang menderita sudah selayaknya disantuni. Keluarga yang ditinggalkan harus diperhatikan. Bila hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin satu demi satu korban atau keluarganya akan berbondong-bondong menuntut ganti rugi ke pengadilan. Bila pengadilan tidak mampu memberikan keadilan, jalan lain akan mereka tempuh. Chaos bukan tidak mungkin terjadi.

Bagi mereka yang masih berselimut impunitas, pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk dan diperkuat. Sejauh ini, track record pengadilan HAM ad hoc yang ada terbilang buruk. Dalam pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur, contohnya, dari 18 terdakwa yang diadili, hanya Eurico Guterres yang dipenjara. Sisanya melenggang bebas menikmati impunitasnya. Bila hal ini tetap berjalan, jangan salahkan bila makin banyak pihak yang menuntut sebuah pengadilan internasional.

No comments: