Published by Koran Tempo, 12 December 2006
Refly Harun
·
Dari tanah dingin Notre Dame, AS, yang mulai diselimuti salju, saya mengikuti secara agak real time putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Seorang teman berbaik hati "melaporkan" proses persidangan yang berlangsung mulai pukul 10.00 WIB atau 22.00 waktu Notre Dame itu. Hal ini lantaran Profesor Douglas Cassel, Direktur Center for Civil and Human Rights University of Notre Dame, pernah menjadi ahli dalam persidangan kasus tersebut. Ia sungguh ingin tahu secepatnya putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusannya cukup mengejutkan. Mahkamah Konstitusi membatalkan bukan hanya tiga pasal seperti yang diminta, melainkan keseluruhan undang-undang. Hal ini persis seperti yang terjadi pada UU Ketenagalistrikan yang diputuskan juga pada Desember dua tahun silam. Alasan Mahkamah Konstitusi memberikan "bonus", hakikat pengujian undang-undang adalah erga omnes (mengikat semua), tidak sekadar menyangkut kepentingan mereka yang meminta pengujian.
Apa komentar Profesor
Tidak bisa dimungkiri, hiruk-pikuk mengenai komisi kebenaran sedikit-banyak diilhami pengalaman negara lain, terutama Afrika Selatan. Terlepas dari beberapa kelemahan yang ada, komisi kebenaran di Afrika Selatan dinilai berhasil memutus rantai politik apartheid dan membawa negara itu ke dalam kehidupan yang lebih demokratis dan egaliter. Setiap negara yang mengalami fase transisional dari rezim otoriter ke era demokratis lantas berupaya meniru "jalan Afrika Selatan" dengan membentuk komisi kebenaran. Komisi semacam ini pun kemudian bertebaran di mana-mana, dari Argentina ke Cile, dari Cile ke Sierra Leone, dari Sierra Leone ke Timor Leste, dan seterusnya. Terlebih, seperti dikatakan
Diprovokasi oleh sejumlah LSM yang bergerak di bidang hak asasi manusia, demam komisi kebenaran juga melanda
Alhasil, dua pemilu berlalu, masa transisi dianggap sudah lewat, komisi kebenaran belum juga terbentuk. Bahkan salah seorang anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan
Kita bisa berdebat apakah
Kondisi di Indonesia sangat berbeda. Korban dan pelaku bukan tidak banyak, tapi mereka seperti bisa "diabaikan" dalam proses demokrasi. Korupsi, kemiskinan, dan pengangguran dalam derajat tertentu dinilai lebih bisa membunuh proses demokrasi ketimbang terbengkalainya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Karena itu, dalam konteks
Karena itu, bila kemudian diputuskan untuk membentuk sebuah komisi kebenaran, sudah seharusnya hal itu lebih didedikasikan kepada korban. Komisi kebenaran made in
Lalu bagaimana dengan nasib para korban? Bagaimana dengan pelaku yang masih berselimut impunitas? Bagi para korban pelanggaran HAM, pemerintah sudah seharusnya menyediakan sebuah program pemulihan massal. Korban yang menderita sudah selayaknya disantuni. Keluarga yang ditinggalkan harus diperhatikan. Bila hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin satu demi satu korban atau keluarganya akan berbondong-bondong menuntut ganti rugi ke pengadilan. Bila pengadilan tidak mampu memberikan keadilan, jalan lain akan mereka tempuh. Chaos bukan tidak mungkin terjadi.
Bagi mereka yang masih berselimut impunitas, pengadilan HAM ad hoc harus dibentuk dan diperkuat. Sejauh ini, track record pengadilan HAM ad hoc yang ada terbilang buruk. Dalam pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur, contohnya, dari 18 terdakwa yang diadili, hanya Eurico Guterres yang dipenjara. Sisanya melenggang bebas menikmati impunitasnya. Bila hal ini tetap berjalan, jangan salahkan bila makin banyak pihak yang menuntut sebuah pengadilan internasional.
No comments:
Post a Comment