17 March 2009

Ancaman Pelanggaran UU Pemilihan Presiden

Koran Tempo, 1 July 2004



Refly Harun

· Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

Tulisan ini dibangun dengan asumsi akan terjadi pemilihan presiden dua putaran: putaran pertama pada 5 Juli dan putaran kedua pada 20 September. Alasannya, antara lain, hasil-hasil jajak pendapat yang ditebarkan lembaga-lembaga survei dan media-media massa, mulai yang serius dan bermetodologi ilmiah hingga yang hanya berupa pengiriman via SMS, menunjukkan tidak ada pasangan calon presiden-wakil presiden yang mendominasi suara publik hingga minimal 50 persen plus satu suara, suara minimal yang dibutuhkan pasangan kandidat untuk menang dalam sekali putaran.

Tracking survey terakhir oleh International Foundation for Election System (IFES) pada 23 Juni lalu, misalnya, juga menunjukkan tidak ada kandidat presiden yang mampu meraup minimal 50 persen suara dalam putaran pertama. Banyak pengamat juga yakin pemilihan presiden-wakil presiden akan berlangsung dalam dua putaran.

Asumsi itu diperkuat juga dengan kenyataan tidak ada koalisi partai yang dominan. Pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid yang didukung Golkar, PKB, Partai PDK, dan PKPB hanya menguasai 35,67 persen suara dalam pemilu legislatif lalu. Koalisi Partai Demokrat, PBB, dan PKPI yang menyokong pasangan SBY-Jusuf Kalla hanya menguasai 11,41 persen suara.

Pasangan Amien-Siswono yang ditopang PAN, PBSD, dan PNI Marhaenisme malah hanya menguasai 6,86 persen suara. Sementara itu, pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, dengan asumsi suara NU 30 juta (20 persen), hanya akan menguasai suara sekitar 40 persen, itu pun dengan mengabaikan suara NU yang akan lari ke Wiranto melalui kendaraan PKB.

Konstitusi mengamanatkan bahwa pasangan presiden-wakil presiden terpilih apabila (1) memperoleh suara minimal 50 persen plus satu suara dan (2) suara yang didapat setidaknya tersebar di 20 persen kabupaten/kota dari setengah jumlah provinsi yang ada (16 provinsi). Inilah angka minimum yang harus dicapai bila hendak langsung terpilih dalam putaran pertama. Bila tidak ada calon yang memperolehnya, akan diadakan putaran kedua di antara dua calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua. Pada putaran kedua dipraktekkan run-off system. Siapa pun yang memperoleh suara terbanyak merekalah yang terpilih.

Memperhatikan jadwal yang telah disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kemungkinan pengajuan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka kuat indikasi bakal terjadinya pelanggaran undang-undang. Potensi pelanggaran yang paling utama terjadi pada jadwal pemilihan putaran kedua.

Pasal 3 ayat (4) UU No. 23/2004 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menyatakan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden harus sudah menghasilkan presiden dan wakil presiden terpilih selambat-lambatnya 14 hari sebelum masa jabatan presiden yang berkuasa (incumbent) berakhir.

Masa jabatan kepresidenan Megawati berakhir pada 20 Oktober 2004 karena pada tanggal itulah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilantik dan diambil sumpahnya setelah terpilih dalam forum Sidang Umum MPR 1999. Megawati hanyalah melanjutkan masa kepresidenan Gus Dur setelah dimakzulkan dalam forum Sidang Istimewa MPR pada 20 Juli 2001. Dengan demikian, presiden dan wakil presiden sudah harus terpilih pada 6 Oktober 2004, 14 hari sebelum berakhirnya masa kepresidenan Megawati.

Persoalan pelik yang muncul adalah MK diberi hak untuk memutus sengketa pemilihan presiden selama 14 hari kerja (sekitar 18 hari). Padahal, waktu yang tersisa antara hari pemungutan suara untuk putaran kedua hingga batas akhir terpilihnya calon presiden dan wakil presiden hanya 16 hari.

Waktu 16 hari ini harus dikurangi pula dengan waktu yang diperlukan untuk menghitung dan mengumumkan hasil pemilu yang jelas-jelas dapat lebih dari satu minggu. Tidak mustahil waktu 16 hari itu hanyalah untuk menghitung dan mengumumkan hasil pemilihan presiden pada putaran kedua. Apalagi UU Pilpres membolehkan pengumuman hasil pemilu paling lambat 30 hari setelah hari pencoblosan. Dengan kata lain, MK tidak memiliki waktu lagi untuk menyidangkan sengketa hasil pemilu bila berpatokan pada ketentuan Pasal 3 ayat (4) UU Pilpres.

Menyimak Keputusan KPU No. 33/2004 tentang Perubahan terhadap Keputusan KPU No. 27/2004 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004, terlihat bahwa KPU telah menetapkan 5 Oktober 2004 sebagai waktu untuk menetapkan dan mengumumkan pemilu putaran kedua. Artinya, KPU sama sekali tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya sengketa hasil pemilu mengingat tenggat terpilihnya presiden-wakil presiden adalah keesokan harinya (6 Oktober 2004). Bila terjadi pengajuan sengketa pemilu, pelanggaran undang-undang membayang di depan mata.

Maka, cara terbaik untuk menghindari potensi pelanggaran undang-undang ini adalah proses pemilu harus dijalankan secara transparan sehingga hasil pemilu dapat diterima begitu diumumkan KPU. Seandainya kebijakan baru KPU untuk mengumumkan hasil pemilu di papan-papan pengumuman publik betul-betul dilakukan oleh penyelenggara pemilu di tingkat bawah, maka hasil pemilu dapat terjaga. Pasangan presiden-wakil presiden yang kalah tidak perlu menggugat atau mengajukan permohonan ke MK.

Persoalannya, apakah memang ada jaminan tidak akan terjadi sengketa penghitungan suara di garis akhir pemilihan? Menjelang pemilihan legislatif 5 April lalu, 24 partai politik peserta pemilu telah bersepakat untuk menghormati hasil pemilu yang ditetapkan KPU. Yang terjadi kemudian, begitu hasil pemilu diumumkan pada 5 Mei 2004, 23 dari 24 partai itu mengajukan sengketa penghitungan suara oleh KPU. Satu-satunya partai yang tidak mengajukan sengketa hanyalah Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI). Semuanya ada 273 sengketa pemilu di MK, baik yang diajukan oleh partai politik maupun oleh calon anggota DPD.

Dalam konteks ini penting kiranya dipersiapkan payung hukum Peraturan Pemerintah Pengganti UU untuk menggeser ketentuan Pasal 3 ayat (4) UU Pilpres. Peraturan itu, misalnya, mengatur bahwa presiden dan wakil presiden sudah harus terpilih paling lambat satu hari menjelang masa kepresidenan berakhir. Dengan demikian, meski kurang dari waktu yang dipersayaratkan UU, yaitu 14 hari kerja (18 hari), MK tetap memiliki waktu untuk menyidangkan sengketa hasil pemilu presiden di garis akhir.

Sidang di MK sendiri jangan dibayangkan bakal berlangsung mudah. Bukan tidak mungkin sidang akan berlangsung berhari-hari karena wilayah pemilihan tersebar luas dari Sabang hingga Merauke, termasuk wilayah bagi pemilih yang tinggal di luar negeri.

Bukti-bukti yang diajukan calon presiden penggugat sengketa bisa sangat banyak, apalagi bila yang dipersoalkan adalah data TPS yang berjumlah lebih dari setengah juta buah. Seperlima saja data TPS itu bermasalah, maka MK akan ketiban 100 ribu kotak suara yang harus diperiksa ulang, entah itu berupa berita acara dan rekapitulasi penghitungannya saja, atau juga MK memerintahkan untuk membuka kotak suara seperti yang terjadi dengan wilayah Sampang, Madura, dalam persidangan sengketa pemilu legislatif pada awal Juni lalu.

Antisipasi terhadap kemungkinan pelanggaran UU memang perlu dipikirkan sejak dini. Jangan sampai karena hal tersebut legitimasi dan keabsahan pemilu dipertanyakan. Jangan sampai ada jalan bagi yang kalah mempersoalkan celah-celah yuridis pascakekalahannya. Jangan sampai pula pemilihan presiden ini justru mengundang krisis nasional karena sempitnya ruang penanganan sengketa melalui jalur konstitusional

No comments: