17 March 2009

Pemilihan Kepala Daerah dan Amendemen Kelima

Published by Indonesian Media

Koran Tempo, 13 October 2004


Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas Indonesia


Reformasi konstitusi atau atau amandemen konstitusi telah menghilang dari wacana publik setelah ditetapkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada Sidang MPR Tahun 2002. Sekalipun kemudian MPR membentuk Komisi Konstitusi untuk menunaikan amanat ST MPR 2002 dan ST MPR 2003, publik sepertinya sudah tidak bergairah lagi membicakan isu amandemen. Terlebih ada isu lain yang lebih seksi, yaitu Pemilu 2004. Bisa dibilang, segenap energi publik hanya diarahkan pada pernak-pernik pemilu dan akrobat-akrobat politik yang mengiringinya.


Kini, setelah prosesi pemilu berakhir, ada baiknya memikirkan kembali tentang kelanjutan reformasi konstitusi. Ada problem-problem objektif kenegaraan yang menuntut penyelesaian melalui perubahan konstitusi, tidak cukup dengan perubahan undang-undang, apalagi peraturan di bawahnya lagi. Pemilihan langsung kepala daerah (pilkadal) adalah contoh kasus betapa amandemen menjadi sebuah kemestian.

Pada 29 September lalu, pada saat injury time karena dua hari lagi akan berakhir masa tugasnya, DPR periode 1999-2004 telah menyetujui perubahan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, atau yang lazim disebut dengan UU Otonomi Daerah (UU Otda). Salah satu butir terpenting adalah diadopsinya instrumen pilkadal. Instrumen ini melengkapi instrumen pemilihan presiden secara langsung yang sudah diadopsi bahkan di tingkat konstitusi.


Membaca aturan-aturan pilkadal dalam UU Otda yang baru itu, terasa betul ada problem-problem konstitusional yang memang tidak mungkin terpecahkan hanya dengan pengaturan di tingkat undang-undang. Atau dengan kata lain, pengaturan di tingkat undang-undang berada pada posisi maju kena mundur kena karena konstitusi amandemen telah menciptakan beragam jebakan. Jebakan tersebut terlihat antara lain melalui pengaturan mengenai penyelenggara pemilu, pengajuan sengketa hasil pemilu, dan pemberhentian kepala daerah.

***


Isu utama yang menonjol selama proses perubahan UU Otda adalah, masuk dalam rezim manakah pengaturan tentang pilkadal, apakah rezim pemilu ataukah rezim pemerintahan daerah. Bila rezim pemilu, acuannya jelas Pasal 22E Perubahan Ketiga UUD 1945. Tetapi bila rezim pemerintahan daerah, yang harus dijadikan landasan adalah Pasal 18 Perubahan Kedua UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (5).

Bila pemilu presiden/wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan bahkan para anggota DPRD (baik tingkat provinsi maupun kota/kabupaten) masuk dalam rezim pemilu, sudah selayaknya pilkadal pun masuk dalam ranah yang sama. Bukankah gubernur/walikota/bupati adalah eksekutif atau kepala daerah yang nantinya akan bekerja sama dengan DPRD dalam menjalankan roda pemerintahan daerah.


Konsekuensi masuk pada rezim pemilu adalah penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurut UUD 1945 bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Konsekuensi lain, sengketa hasil pemilu harus disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian pula dalam hal pemberhentian kepala daerah, harus pula melibatkan MK sebagai analogi dari pemberhentian (impeachment) terhadap presiden yang juga sudah diatur di tingkat konstitusi.


Jebakan konstitusi mencuat karena UUD 1945 mengartikan pemilu sebagai instrumen untuk memilih (1) anggota DPR, (2) anggota DPD, (3) presiden dan wakil presiden, dan (4) anggota DPRD, tidak termasuk pemilihan kepala daerah. Ikhwal pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal tentang pemerintahan daerah yang ditetapkan pada amandemen kedua konstitusi (2000). Sedangkan pasal tentang pemilu baru ditetapkan satu tahun kemudian melalui perubahan ketiga (2001).


Karena dipaksa masuk dalam rezim nonpemilu (pemerintahan daerah), pilkadal telah kehilangan basis legal-konstitusional untuk memakai instrumen-instrumen pemilu yang sudah diatur di tingkat konstitusi. Itulah sebabnya sengketa hasil pemilu, misalnya, tidak diajukan ke MK, melainkan ke Mahkamah Agung (MA). Sebab, kewenangan MK di konstitusi bersifat limitatif, tidak bisa ditambah, apalagi dikurangi. Dalam hal kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu, MK harus merujuk pada definisi bahwa pemilu menurut konstitusi adalah memilih presiden/wakil presiden serta anggota DPR, DPD, dan DPRD. Walaupun Ketua MA Bagir Manan pernah berkeberatan diberi beban menyelesaikan sengketa hasil pilkadal mengingat tumpukan perkara di institusinya yang konon mencapai 30 ribu kasus, MA tidak bisa mengelak dari beban tersebut.


Demikian pula dalam hal impechment, kewenangan MK dalam konstitusi adalah impeachment terhadap presiden dan wakil presiden. Dengan kekuasaan yang bersifat limitatif tersebut, MK tidak mungkin ditambahi tugas memutus pemberhentian kepala daerah. Akibatnya, MA yang harus menerima beban itu.


Penyelenggara pilkadal juga seharusnya tidak oleh KPU karena konstitusi menyebutkan bahwa KPU adalah penyelenggara pemilu, yang telah diartikan tidak termasuk pilkadal. Itulah sebabnya, pada draf awal perubahan UU Otda yang diajukan pemerintah (Depdagri), diusulkan penyelenggara pemilu adalah panitia yang khusus dibentuk di tingkat lokal. Usulan ini ditolak mayoritas anggota DPR karena mereka melihat KPU-KPU di daerah tidak banyak kerjanya lagi setelah berakhirnya prosesi pemilu. Mengapa mereka tidak dimanfaatkan saja untuk pilkadal, begitulah alasan praktisnya.


Namun, yang menjadi soal, pilkadal telah mengkorupsi pengertian KPU. Konstitusi menyebutkan bahwa KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional KPU terlihat dari jaringan organisasi yang mereka miliki, mulai di tingkat pusat yang lazim disebut KPU (saja), hingga di tingkat provinsi (KPU provinsi) dan di tingkat kota/kabupten (KPU kota/kabupaten). Dalam konteks pemilu, KPU diberikan kewenangan membuat aturan lanjut dari undang-undang pemilu.


Pilkadal ternyata hanya mengakui kaki-kaki penyelenggara pemilu (KPU di daerah), tetapi membuang kepalanya sama sekali (KPU di pusat). Akibatya, KPU tidak memiliki basis yuridis dalam tingkat undang-undang untuk ambil bagian dalam proses pilkadal, misalnya dengan menetapkan standar-standar umum yang harus berlaku sama di semua daerah. Kewenangan menetapkan standar-standar umum tersebut menjadi prerogatif pemerintah (baca: Depdagri) melalui produk peraturan pemerintah.


Ada kesan Depdgari ingin terlibat lebih dalam (lagi) dalam rekrutmen politik (khusus pilkadal). Dari sisi politis, hal ini bisa dimaknai sebagai gangguan independensi penyelenggaraan suatu rekrutmen politik sebagaimana lazim terjadi di masa lalu. Dari sisi ekonomis, keterlibatan itu berarti proyek, proyek pilkadal. Seperti diketahui, biaya untuk pilkadal diambilkan dari APBN dan APBD. Depdagri dengan demikian memiliki legitimasi untuk menguasai atau mengontrol pos pilkadal dalam APBN. Rebutan pos APBN ini memang jamak terjadi di antara institusi-institusi pemerintahan. Depdagri telah kehilangan pos yang maha dahsyat yang berjumlah hingga triliunan dalam penyelenggaraan pemilu, yang mesti dialihkan ke KPU. Mereka mungkin tidak ingin lagi kehilangan pos tersebut dalam hal pilkadal.

***


Fenomena pilkadal hanyalah salah satu contoh betapa konstitusi hasil amandemen telah meninggalkan lubang-lubang penafsiran di sana-sini. Dalam konteks pilkadal, ada kebutuhan nyata untuk mengamandemen Pasal 22E ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 agar pemilu memasukkan pengertian pilkadal. Dengan demikian, pasal tersebut akan berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, DPRD, dan kepala daerah (gubernur, walikota/bupati)“.


Masih banyak pasal lain yang bisa diajukan sebagai materi perubahan konstitusi. Yang terpenting, mengkonsolidasi empat naskah hasil amandemen ke dalam satu naskah dengan penyesuaian letak, nama, dan jumlah bab, pasal, atau ayat. Setelah konsolidasi itu barulah materi perubahan lain perlu dimasukkan, misalnya memperkuat fungsi DPD agar jangan terkesan sekadar aksesori sistem parlemen, membuka calon independen dalam pemilihan presiden/wakil presiden, meletakkan pengujian semuan peraturan perundang-undangan di bawah otoritas MK, dan masih banyak lagi.


Kesimpulannya, isu amandemen kelima adalah sebuah conditio sine quanon. Saatnya amandemen kembali digaungkan ke publik setelah gonjang-ganjing pemilu berlalu.***


Jakarta, 26 Oktober 2004

No comments: