17 March 2009

Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi

Published by Koran Tempo, 26 July 2004


Oleh Refly Harun

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul


“Refly, keputusan MK membatalkan UU Antiterosme, apakah akan menyebabkan kekosongan hukum? Kalau ada tindak terorisme sekarang, pakai hukum apa?“ Sebuah pesan singkat (short message service) dari seorang rekan meluncur ke telepon seluler saya setelah pembacaan putusan MK atas uji materi UU Nomor 16 Tahun 2003, Jumat (23/7/04).

Beberapa rekan wartawan yang meliput sidang di MK saat pembacaan putusan juga bertanya mengenai nasib para tersangka, terdakwa, atau terpidana Bom Bali dengan dibatalkannya UU Nomor 16/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002 Menjadi Undang-Undang.

Pertanyaan-pertanyaan di atas kiranya penting dijawab agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat atas putusan MK. Seperti sudah diberitakan, MK telah mengabulkan permohonan pengujian UU Bom Bali yang diajukan Masykur Abdul Kadir, salah seorang terpidana kasus Bom Bali. MK menilai undang-undang yang memberlakukan secara surut (retroaktif) ketentuan tindak pidana terorisme itu bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Pasal tersebut berbunyi, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Menengok sedikit ke belakang, peristiwa peledakan bom di Bali terjadi pada 12 Oktober 2002 di tengah setting masyarakat internasional yang sangat bergairah memerangi terorisme pasca-Tragedi 11 September di Amerika Serikat. Menunjukkan komitmen memberantas terorisme, Pemerintah Indonesia menggodok RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pro dan kontra terjadi di masyarakat terhadap RUU tersebut. Ada yang pro, tetapi banyak pula yang menentang rencana pembuatan undang-undang terorisme yang semangatnya kurang lebih sama dengan Patriot Act di AS.

Di tengah kontroversi tersebut lalu terjadi peledakan bom di Bali yang memakan korban setidaknya 202 orang, sebagian besar di antaranya adalah warga negara asing, pada 12 Oktober 2002. Atas kejadian itu pemerintah kemudian berinisiatif mengeluarkan perpu antiterorisme yang bahan dasarnya diambil dari RUU yang telah dipersiapkan pada 18 Oktober 2002, atau enam hari setelah Peristiwa Bom Bali. Kemudian terbitlah Perpu Nomor 1/2002 tentang Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1/2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.

Kedua perpu tersebut disetujui DPR menjadi undang-undang dan diundangkan pada 4 April 2003. Perpu Nomor 1/2002 berubah menjadi UU Nomor 15/2003 dan Perpu Nomor 2/2003 berubah menjadi UU Nomor 16/2003. UU Nomor 16/2003 inilah yang kemudian dimintakan pengujian (judicial review) oleh Masykur Abdul Kadir, salah seorang terpidana kasus Bom Bali, dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. MK mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan UU Nomor 16/2003 batal (tidak memiliki kekuatan mengikat). Adapun UU Nomor 15/2003 hingga saat tulisan ini dibuat belum pernah dimohonkan pengujian ke MK.

Jelaslah bahwa yang dibatalkan hanya satu undang-undang, yaitu UU Nomor 16/2003 yang dimaksudkan untuk menjerat para tersangka kasus Bom Bali. Seandainya sekarang terjadi tindak pidana terorisme –tetapi mudah-mudahan tidak terjadi lagi—seperti yang ditanyakan rekan tadi maka pelaku akan dijerat dengan UU Nomor 15/2003. Dengan demikian, tidak akan terjadi kekosongan hukum. Bahkan, seandainya pun UU Nomor 15/2003 itu dicabut, hukum pidana yang ada tetap dapat menjerat pelakunya.

***

Pertanyaan krusial berikutnya, bagaimana dengan nasib para tersangka, terdakwa, atau terpidana kasus Bom Bali, termasuk Amrozi yang sudah divonis hukuman mati dan kini menunggu eksekusi. Pertama-tema, perlu dijelaskan terlebih dulu sifat putusan MK terhadap perkara judicial review. Pertama, putusan MK mengikat secara umum. Artinya, putusan tersebut tidak hanya mengikat pemohon (Masykur Abdul Kadir) dan pihak-pihak terkait seperti polisi, jaksa, dan para hakim, melainkan mengikat seluruh warga negara, bahkan termasuk warga asing yang ada di Indonesia.

Kedua, putusan MK berlaku ke depan sejak dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan tidak berlaku surut. Dalam konteks putusan pengujian UU Nomor 16/2003 maka undang-undang dimaksud dinyatakan tidak berlaku sejak putusan dibacakan pada Jumat (23/7/2004).

Segala perbuatan hukum yang didasarkan UU Nomor 16/2003 sebelum putusan MK dibacakan tetap sah adanya. Pasal 58 UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang yang diuji oleh MK berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Setelah ada putusan MK yang membatalkan UU Nomor 16/2003 maka segala tindakan hukum, terutama oleh para polisi, jaksa dan hakim, tidak boleh lagi mendasarkan pada undang-undang tersebut. Seorang rekan yang dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir menelepon saya sesaat setelah putusan. ”Kalau demikian Ustadz Abu tidak bisa didakwa dengan UU Terorisme,” katanya. Sepanjang Ba’asyir didakwa karena dugaan keterkaitannya dengan kasus Bom Bali maka UU Nomor 16/2003 memang tidak bisa lagi diterapkan terhadapnya.

Bagi mereka yang sudah diputus kasusnya, seperti Amrozi dan Masykur Abdul Kadir, putusan MK tersebut ‘mungkin’ bisa digunakan untuk mengupayakan ikhtiar hukum lanjutan. Yang sudah divonis di tingkat pengadilan negeri bisa mengupayakan banding. Yang sudah diputus di tingkat banding dapat mengajukan kasasi. Bahkan, yang sudah diputus di tingkat kasasi seperti Amrozi pun dapat mengajukan upaya peninjauan kembali (PK).

Saya katakan ‘mungkin’ karena semua itu terpulang pada terpidana sendiri dan kuasa hukum mereka, apakah akan mengajukan upaya hukum lanjut atau tidak. Bila mengupayakan upaya hukum lanjut, putusan MK dapat menjadi landasan. Bila tidak, maka segala putusan hakim di berbagai tingkat pengadilan sah adanya dan akan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Khusus untuk pengajuan PK, mungkin akan muncul pro dan kontra, apakah putusan MK tersebut dapat dikategorikan sebagai novum (bukti baru) atau tidak. Novum adalah sebuah fakta yang tidak terungkap selama proses persidangan, mulai dari tingkat pengadilan negeri hingga tingkat kasasi. Sedemikian pentingnya novum ini maka bila tidak diungkapkan akan menyebabkan keadilan makin menjauh. Sebagai contoh, dalam kasus pembunuhan, yang dihukum hingga tingkat kasasi bukanlah pembunuh yang sesungguhnya. Setelah vonis dijatuhkan hingga tingkat kasasi, ternyata pembunuh sesungguhnya dapat diketahui. Fakta inilah yang dapat dijadikan novum untuk mengajukan PK.

Saya tidak pada posisi untuk menjawab apakah putusan MK dapat menjadi novum bagi, misalnya, kasus Amrozi. Biarlah para hakim agung di Mahkamah Agung (MA) yang akan menjawabnya.

Menutup tulisan ini, sebenarnya ada satu soal lain yang perlu perenungan mendalam. Seandainya tetap masih ada terpidana kasus Bom Bali yang dipidana dengan menggunakan UU Nomor 16/2003, akan muncul sebuah ironi: mereka dihukum atas dasar sebuah undang-undang yang kemudian dinyatakan bertentangan dengan konstitusi! Maka itu artinya keadilan ditegakkan dengan cara melanggar hukum (konstitusi).

Tanpa bermaksud melupakan mereka yang telah sangat menderita karena kasus Bom Bali, para hakim yang menerima upaya lanjut dari para terpidana kasus Bom Bali perlu merenungkan hal ini. Keputusan, bagaimanapun, tetap di tangan Anda, para penegak hukum dan keadilan.***

Jakarta, 23 Juli 2003

No comments: