17 March 2009

Biarkan Rakyat yang Menilai Gus Dur

Published by Kompas, 22 May 2004

Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI

JUDUL itu saya salin dari berita Kompas (17/5). Setelah tiga upaya hukum kandas-meminta fatwa dan pengujian UU Pilpres ke MK serta pengujian Keputusan KPU No 26 Tahun 2004 ke MA-soal Abdurrahman Wahid (Gus Dur) belum juga tuntas. Masih terjadi tarik-menarik antara KPU dan Gus Dur mengenai eligibilitas Ketua Dewan Syuro PKB itu menjadi capres.

Saya setuju dengan "semangat" artikel Kompas, sebaiknya rakyat sendiri yang menjadi hakim soal layak-tidaknya Gus Dur sebagai presiden. KPU seharusnya hanya menjadi fasilitator pencalonan, bukan "penjegal" calon. Mudah-mudahan dalam pengumuman calon presiden (capres) hari ini pasangan Gus Dur-Marwah Daud Ibrahim tetap dinyatakan layak bertanding dalam pemilu presiden 5 Juli nanti.

DALAM pemberitaan soal pro-kontra pencalonan Gus Dur, ada beberapa hal yang menurut saya luput diperhatikan. Misalnya, orang meributkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), terutama Pasal 6d tentang syarat "mampu secara rohani dan jasmani". Padahal, pangkal masalah bukan di wilayah UU Pilpres, tetapi di aras konstitusi. Syarat "mampu secara rohani dan jasmani" yang diributkan adalah kesepakatan tingkat konstitusi. UU Pilpres hanya menyalin persyaratan itu. Menyoal syarat "mampu secara rohani dan jasmani" adalah memasalahkan konstitusi, bukan UU. Pihak Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara keliru meminta pembatalan pasal itu ke MK dengan dalih bertentangan dengan UUD 1945.

Hal yang perlu digarisbawahi di tingkat UU adalah UU Pilpres tidak mengelaborasi pesan konstitusi. Syarat "mampu secara rohani dan jasmani" seharusnya diperjelas sehingga ada parameternya. Alih-alih membuat parameter, yang dilakukan legislator di DPR, menambah syarat menjadi capres dan cawapres. Syarat yang semula hanya tiga buah di tingkat konstitusi menjadi 20 di tingkat UU Pilpres. Syarat "mampu secara rohani dan jasmani" tetap dicantumkan dengan penjelasan "cukup jelas".

Ketiadaan elaborasi memadai soal syarat "mampu secara rohani dan jasmani" tidak lain karena adanya semacam praktik dagang sapi dalam pembahasan UU Pilpres. Masing-masing fraksi (parpol) berupaya membentengi bakal capresnya sambil berusaha memukul posisi bakal capres partai lain. Ada tiga isu utama yang mencuat saat pembahasan syarat capres: (1) syarat presiden harus berpendidikan S1; (2) syarat kesehatan capres; dan (3) syarat tidak pernah dipidana. Ketiga syarat ini, bila dicantumkan, akan memukul bakal capres dari partai-partai besar. Megawati terganjal syarat S1, Gus Dur terganjal syarat kesehatan, dan Akbar Tandjung-saat itu masih berupaya lolos dari jerat hukum karena korupsi-akan terganjal syarat tidak pernah dipidana.

Yang terjadi kemudian, muncul solusi menang-menang (win-win solution) di antara fraksi besar di DPR. Syarat S1 urung dicantumkan (cukup syarat pendidikan SLTA atau sederajat), syarat pernah dipidana ditambah embel-embel "berkekuatan hukum tetap", dan syarat "mampu secara rohani dan jasmani" yang sudah tercantum dalam UUD 1945 dianggap "cukup jelas". Akibatnya, bola panas ada di KPU yang ’terjebak’ untuk menginterpretasikan pesan konstitusi ke dalam keputusan KPU. Celakanya KPU mau menerima bola panas itu.

Dari 20 syarat yang tercantum dalam konstitusi maupun UU Pilpres, soal parameter menjadi persoalan tersendiri. Ada syarat yang langsung dapat diukur, seperti bertempat tinggal di wilayah RI, berusia minimal 35 tahun, berpendidikan serendah-rendahnya SLTA, tetapi ada pula syarat yang sulit dibuat parameternya. Misalnya, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana mengukurnya. Bukankah tingkat ketakwaan seseorang hanya Sang Pencipta yang dapat mengukurnya. Terlalu berlebihan bila hal itu diserahkan kepada KPU, misalnya.

Syarat "mampu secara rohani dan jasmani" ada pada posisi in between. Mereka yang menganggap bisa diukur akan menyamakan kata "mampu" dengan "sehat" seperti dianut KPU. Mereka yang berpendapat lain akan menyatakan "mampu" tidak ekuivalen dengan "sehat". Posisi in between ini bisa dimanfaatkan siapa saja, dan KPU rupaya sedikit "berambisi" mengenai hal itu.

PERDEBATAN tentang Gus Dur-KPU juga kurang mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara resmi telah menginterpretasikan Pasal 6 UUD 1945 dan Pasal 6d UU Pilpres. Dasar alasan MK menolak uji materi Pasal 6d UU Pilpres, pertama, materi yang dimohonkan yaitu Pasal 6d ("mampu secara rohani dan jasmani") hanya pengulangan redaksional syarat capres-cawapres yang tercantum dalam Pasal 6 UUD 1945. Kedua, syarat mampu secara rohani dan jasmani harus dipahami, capres dan cawapres harus dalam kondisi sehat secara rohani dan jasmani dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kenegaraan. Bagi MK, ketentuan tentang persyaratan ini bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat internasional.

Dalam permohonannya, pihak Gus Dur menyatakan, aturan tentang syarat capres itu diskriminatif terhadap orang dengan disabilitas (disable people). Pihak Gus Dur merujuk Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) angka 4 yang berbunyi, "Disabled persons have the same civil and political rights as other human beings". Pembatasan hanya terhadap mereka yang memiliki keterbelakangan mental seperti termuat dalam Paragraf 7 Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons yang berbunyi, "Whenever mentally retarded persons are unable, because of the severity of their handicap, to exercise all their rights in a meaningful way or it should become necessary to restrict or deny some or all of these rights, the procedure used for that restriction or denial of rights must contain proper legal safeguard against every form of abuse…" (Ketika mereka yang memiliki keterbelakangan mental tidak dapat menggunakan seluruh hak mereka dengan cara yang benar, atau bila dipandang perlu membatasi atau mengabaikan beberapa atau semua hak mereka, prosedur yang digunakan bagi pembatasan atau pengabaian hak-hak itu haruslah berisi sebuah perlindungan hukum terhadap setiap bentuk penyimpangan…).

Berdasar pengecualian yang dibolehkan ini, MK berpandangan pembatasan terhadap mereka yang memiliki disabilitas, sepanjang dipandang perlu karena alasan yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan haknya, dapat dibenarkan dan tidak dapat dipandang diskriminatif. Konsisten dengan putusan tentang eks-PKI (pengujian terhadap Pasal 60g UU Pemilu), MK berpendapat, diskriminasi yang tidak dibolehkan adalah yang berhubungan dengan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.

Banyak yang keliru menilai putusan MK, seolah-olah MK membenarkan tindakan KPU dan "mengalahkan" Gus Dur. Perlu diluruskan di sini, penilaian MK didasarkan konteks uji materi syarat "mampu secara rohani dan jasmani" dalam UU Pilpres yang sudah tercantum dalam UUD 1945. MK tidak menyetarakan "mampu" dengan "sehat".

Bila merujuk putusan MK, justru diperoleh gambaran, pembatasan terhadap mereka yang memiliki keterbatasan (disabilitas) dilakukan sepanjang dipandang perlu dengan alasan mereka tidak dapat melaksanakan hak-haknya secara benar (in a meaningful way). Apakah dengan keterbatasan penglihatannya, Gus Dur masuk kategori itu?

Secara jasmani, Gus Dur memiliki problem penglihatan, tetapi tidak berarti hal itu bisa diterjemahkan tidak mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden. Terlepas dari hasil akhir berupa pemakzulan terhadap dirinya-yang sebenarnya lebih banyak didorong motif-motif politik ketimbang dinilai tidak mampu mengelola pemerintahan-Gus Dur telah membuktikan pernah menjadi presiden, dengan disabilitas yang sama.

Rasanya tidak fair bila Gus Dur terganjal prosedur-prosedur yang ada di KPU, kendati dalam perspektif KPU hal itu sekadar menjalankan perintah undang-undang, yang sebenarnya bisa diinterpretasikan lain bagi pihak-pihak di luar KPU. Biarlah pemilih yang akan menentukan apakah Gus Dur layak jual atau tidak. Sistem pemilihan presiden langsung yang untuk pertama kali pada Pemilu 2004 dimaksudkan agar pemilih mendapatkan kesempatan menentukan pilihan secara langsung. Biarkan rakyat yang menilai Abdurrahman Wahid.

No comments: