17 March 2009

Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah

Published by Koran Tempo, 18 May 2004


Oleh Refly Harun

Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI


PROSESI pemilu legislatif belum lagi berakhir paripurna karena masih ada lebih dari 250 perkara pemilu yang kini diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Masih ada kemungkinan perubahan peta suara dari yang diumumkan KPU pada 5 Mei lalu, yang tentu saja bakal berimplikasi kepada jumlah kursi yang didapat. Namun, perhelatan pemilu legislatif sepertinya sudah tidak menarik lagi bagi publik. Konsentrasi publik kini sudah kepada prosesi pemilihan presiden yang bekal digelar pada 5 Juli nanti. Padahal, banyak hal bisa disoal, antara lain bagaimana memperkuat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lembaga tempat berkumpulnya para senator dari daerah yang terpilih dalam pemilu legislatif.

Mengapa DPD? Raison d’etre munculnya DPD sebagai kamar kedua di MPR memang untuk lebih menyeimbangkan struktur perwakilan di Indonesia yang selama ini lebih didominasi elite-elite Jakarta. Hasil Pemilu 5 April lalu memperlihatkan bahwa tujuan itu sedikit banyak tercapai karena mayoritas yang terpilih memang elite-elite lokal, terlepas apakah memiliki track record yang baik atau sama sekali kelam ---bahkan ada tersangka korupsi yang terpilih dengan suara terbanyak di salah satu provinsi dengan jumlah pemilih terbesar.

Namun, sejak awal kehadiran DPD memang dengan semangat setengah hati. Meskipun secara kelembagaan DPD sudah diadopsi melalui Perubahan Ketiga UUD 1945 (2001), pengakuan keberadaannya dalam MPR baru bisa disepakati saat injury time amendemen konstitusi, yaitu Perubahan Keempat (2002). Karena eksistensinya baru diakui belakangan, DPD akhirnya hanya memperoleh ’kekuasaan sisa’ sebagai salah satu kamar perwakilan. Kekuasaan legislatif sudah diberikan kepada DPR melalui Perubahan Pertama (1999). DPD akhirnya hanya diberikan kekuasaan terbatas yang pelaksanaan fungsinya amat sangat tergantung pada good will DPR.

Dalam aras kekuasaan legislatif, konstitusi memaklumkan fungsi DPD untuk mengusulkan, ikut membahas, dan memberikan pertimbangan hanya terhadap beberapa RUU, serta mengawasi pelaksanaan UU tertentu saja. Utamanya RUU/UU yang terkait dengan otonomi daerah dan hubungan pusat dan daerah, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Fungsi yang sudah terbatas dalam tingkat konstitusi itu makin dikerdilkan di tingkat undang-undang. Dalam hal ikut membahas RUU misalnya, UU Susduk (UU Nomor 22 Tahun 2003) menyatakan bahwa DPD hanya diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan RUU di awal saja, yaitu pada saat pemandangan umum. Nasib RUU usul DPD setelah itu sepenuhnya bergantung kepada DPR dan pemerintah, termasuk ketika forum terakhir untuk pengesahan RUU menjadi UU digelar dalam rapat paripurna DPR. Dalam aras kekuasaan legislatif bahkan bisa dikatakan kekuasaan DPD ’lebih rendah’ dibandingkan eksekutif, karena pemerintah bisa mengajukan RUU apa saja dan konstitusi juga menentukan setiap UU menghendaki persetujuan bersama pemerintah dan DPR.

Dalam aras kekuasaan yang lebih strategis karena dapat menyebabkan perubahan politik radikal seperti impeachment (pemakzulan) terhadap presiden/wakil presiden dan perubahan konstitusi, peran DPD (sebagai bagian dari MPR) bahkan bisa diabaikan. UUD 1945 mensyaratkan kehadiran ¾ anggota MPR bila hendak melakukan pemakzulan terhadap presiden/wakil presiden dan keputusan dimakzulkan harus dengan persetujuan 2/3 dari anggota MPR yang hadir. Saat ini jumlah anggota DPR 550 orang dan anggota DPD 128 orang. Berarti anggota MPR berjumlah 678 orang. Pemakzulan bisa dilakukan tanpa melibatkan DPD karena jumlah anggota DPR yang 550 orang sudah lebih dari ¾ jumlah anggota MPR yang hanya berjumlah 508, 5 orang.

Hal yang sama berlaku pula untuk perubahan undang-undang dasar yang mensyaratkan tiga hal, yaitu (1) usul inisiatif harus dengan 1/3 jumlah anggota MPR (226 orang), (2) sidang untuk mengubah undang-undang dasar harus dengan kehadiran 2/3 anggota MPR (452 orang), dan (3) persetujuan perubahan konstitusi harus dengan kata sepakat dari minimal 50% plus satu anggota MPR (340 orang).

Celakanya, konstitusi menyatakan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Artinya, kehadiran DPD dalam MPR tidak bersifat kelembagaan, melainkan perseorangan. Seandainya interpretasi konstitusi dipaksakan bahwa MPR ada bila ada anggota DPR dan DPD yang hadir sekaligus –tanpa kehadiran anggota DPD maka forum MPR jadi tidak absah—maka cukup bagi DPR ’menculik’ seorang saja anggota DPR agar forum MPR menjadi sah.

Tidak signifikannya kekuasaan DPD di tingkat konstitusi dan undang-undang terasa ironis dengan rekrutmen anggotanya yang relatif lebih berat ketimbang anggota DPR. Ketika menjadi pembicara bersama saya dalam diskusi tentang DPD yang diselenggarakan Lembaga Survei Indonesia (LSI), 23 April lalu, calon terpilih anggota DPD dari daerah pemilihan DKI, Sarwono Kusumaatmadja, mengungkapkan paling tidak ia harus mengumpulkan 3.000 fotokopi KTP sekadar untuk menjadi calon (faktanya yang diajukan kemudian adalah 11.000 fotokopi KTP).

Bila caleg DPR dan DPRD bisa ’berlindung’ di balik nama besar partai atau pemuka partai untuk dapat terpilih –karena mayoritas yang terpilih memang bukan dengan mekanisme BPP, melainkan karena ditempatkan di urutan atas dari daftar caleg—maka calon anggota DPD harus bekerja sendiri dan mengandalkan popularitas sendiri pula. Dalam contoh kasus Sarwono, yang bersangkutan akhirnya memperoleh lebih dari 400 ribu suara pemilih. Tidak ada calon anggota DPR yang memperoleh suara sebesar itu.

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan DPD dengan ketimpangan kekuasaan yang ada? Dalam diskusi dengan Sarwono, saya menyarankan agar DPD berkolaborasi dengan Komisi Konstitusi (KK) yang sedang melakukan kajian terhadap perubahan UUD 1945 agar KK mengusulkan keseimbangan kekuasaan antara DPR dan DPD. Bila usul ini lolos di KK tinggal giliran DPD memperjuangkannya di forum MPR nantinya. Sayangnya, masa kerja DPD sudah berakhir pada 7 Mei lalu sedangkan calon terpilih anggota DPD belum dilantik. Menurut saya, bisa saja mereka yang sudah jelas bakal terpilih seperti Sarwono menemui KK dan mengajukan usul perubahan pasal-pasal tentang DPD. Apalagi salah seorang calon terpilih, Laode Ida, adalah anggota KK. Dari informasi yang saya dapatkan, meski masa kerja KK telah berakhir dan secara formal hasil kerja KK sudah diserahkan ke MPR pada 5 Mei lalu, masih dilakukan beberapa perbaikan terhadap draf yang dihasilkan.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk memperkuat DPD adalah capacity building anggota melalui serangkaian kegiatan workshop sebelum dilantik. Dan yang tak kalah pentingnya nanti adalah melengkapi setiap anggota DPD dengan staf-staf ahli sehingga mereka cepat tanggap terhadap perkembangan yang ada.

Menurut hemat saya, aturan formal konstitusi dan undang-undang tidak segala-galanya dalam menentukan performance sebuah lembaga. Di tengah setting ketidakpercayaan masyarakat atas kinerja DPR selama ini –antara lain dipicu isu korupsi—DPD dapat mencuri perhatian dan mengambil hati publik. Caranya tentu saja dengan memperlihatkan kinerja yang baik. Salah satu yang bisa diperlihatkan adalah menandatangani fakta anti-KKN seperti yang pernah diusung ICW. Saya yakin, di tengah kerdilnya kekuasaan yang diberikan, DPD dapat menjadi lembaga yang diperhitungkan bila memiliki komitmen dan mau bekerja keras.***

Jakarta, 17 Mei 2004

No comments: