17 March 2009

Menanti Putusan MA atas Kasus Depok

Seputar Indonesia, August 2005


Refly Harun

Tenaga Ahli Mahkamah Konstitusi;

Dosen Fak. Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul


There are not enough jails, not enough policemen, not enough courts to enforce a law not supported by the people (Hubert H. Humphrey, May 1965).


Sudah lama hukum di negeri ini terpuruk dan tidak dipercaya publik. Jalan hukum yang pada awalnya dimaksudkan sebagai jalan keadilan telah berubah menjadi jalan gelap penuh onak. Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat (PT Jabar) dalam sengketa hasil Pilkada Kota Depok menambah panjang public distrust itu Bila terjadi pembangkangan publik (civil disobidience) terhadap putusan tersebut, peringatan Hubert Humphrey menjadi relevan. Tidak akan cukup penjara, tidak akan cukup polisi, demikian pula pengadilan, untuk menegakkan hukum yang tidak didukung rakyat.

Membaca putusan PT Jabar sungguh logika dan akal sehat terasa direndahkan. Bagaimana tidak, hakim memutuskan suatu hal berdasarkan asumsi belaka, bukan fakta. Bila dianalogikan dengan karya ilmiah, hakim baru pada tahap mengajukan proposal penelitian yang antara lain berisi hipotesis. Hakim belum mengadakan penelitian, baik studi pustaka maupun studi lapangan, untuk sampai pada kesimpulan.

Di luar masalah prosedur formal yang tampaknya juga bermasalah –seperti lampaunya tenggat waktu pengajuan kasus dan pembacaan putusan—secara materiil putusan tersebut cacat yuridis. Dalam permohonannya, pasangan Badrul Kamal-KH Syihabuddin Ahmad (BK-SA) menyatakan telah kehilangan (penggembosan) sebanyak 62.750 suara. Sebaliknya, pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra (NI-YW) dituduh telah mendapatkan tambahan (penggelembungan) 37.257 suara.

Dengan penambahan klaim suara tersebut, pasangan BK-SA seharusnya mendapatkan 269.531 suara, sedangkan NI-YW hanya mendapatkan 195.357. Dengan jumlah tersebut BK-SA pun akan melenggang sebagai pemenang pemilihan walikota Depok. Sebelumnya, KPUD Depok telah menetapkan NI-YW sebagai pemenang dengan perolehan 232.610 suara, sedangkan BK-SA hanya di peringkat kedua dengan 206.781 suara.

Sah-sah saja pemohon mengklaim kehilangan suara yang signifikan dan mengajukan angka perolehan suara yang tampaknya ’masuk akal’. Namun, yang betul-betul menganggu akal sehat adalah ketika hakim membenarkan klaim penggembosan dengan dilandasi bukti-bukti absurd sebagai berikut:

Pertama, surat pernyataan 183 warga pendukung pasangan BK-SA yang tidak dapat memilih karena tidak mendapat kartu pemilih dan surat undangan. Kedua, temuan tim pencari fakta BK-SA bahwa ada 60.919 warga pendukung BK-SA di Kecamatan Pancoran Mas yang tidak menggunakan hak pilihnya. Ketiga, keluhan dari Ernawati, warga Depok, yang menyatakan empat orang warga tidak mendapat surat undangan sehingga tidak jadi memilih, padahal mereka pendukung BK-SA. Keempat, 579 warga pendukung BK-SA di Kelurahan Sukatani, Kecamatan Cimanggis, tidak dapat memilih dan tidak mendapat surat pemberitahuan.

Kelima, 755 warga Keluruhan Jatijajar tidak diberi kartu pemilih dan surat pemberitahuan karena diketahui sebagai pendukung BK-SA. Keenam, 221 warga Kelurahan Sukamaju Baru, Cimanggis, tidak diizinkan memilih karena diketahui sebagai pendukung BK-SA. Ketujuh, 84 warga pendukung BK-SA di Kelurahan Abadi Jaya, Kecamatan Sukma Jaya, tidak mendapat kartu pemilih dan tidak mendapat surat undangan. Kedelapan, 25 warga Kelurahan Batujajar, Kecamatan Cimanggis, tidak mendapat surat undangan karena diketahui pendukung BK-SA.

Selain kedelapan bukti tersebut, majelis hakim PT Jabar juga membenarkan bukti ikut mencoblosnya 27.782 orang yang dituduh menggunakan kartu fiktif, tidak terdaftar di DPT, tidak memiliki kartu pemilih, atau berasal dari luar Depok. Berdasarkan keterangan saksi dari pihak BK-SA, kesemuanya pendukung NI-YW dan telah mencoblos untuk pasangan tersebut.

Menyimak bukti penggembosan suara yang diajukan pemohon dapat disimpulkan satu hal: tidak satu pun dari 62.770 orang yang diklaim sebagai pendukung BK-SA memberikan hak suaranya dalam pemilihan walikota Depok pada 26 Juni 2005. Lalu, rasionalitas apakah yang mendorong hakim dengan sewenang-wenang menambahkan suara mereka yang tidak memilih kepada BK-SA. Metode apakah yang dipakai hakim sehingga yakin mereka yang tidak memilih tersebut pendukung BK-SA dan pasti akan memilih pasangan tersebut bila diizinkan memilih.

Tidak bisa dimungkiri, banyak problem dalam pelaksanaan pilkada yang dimulai di Kutai Kertanegara, 1 Juni lalu. Salah satu yang menonjol, banyak pemilih yang tidak terdaftar sehingga tidak bisa memberikan suaranya. Hal ini mungkin terjadi pula di Depok.

Mereka yang tidak dapat memilih tentu telah dirugikan hak-hak konstitusional mereka. Hak untuk memilih (right to vote), demikian pula hak untuk dipilih (right to be candidate), adalah hak yang dijamin konstitusi. Mereka bisa menggugat pelaksana pilkada bila merasa dirugikan. Hal ini telah dibuktikan sejumlah warga negara yang mengajukan gugatan class action terhadap KPU pascaprosesi Pemilu 2004 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). PN Jakpus telah menerima dan memenangkan gugatan tersebut dengan menghukum KPU membayar ganti rugi sebesar triliunan rupiah. Kasus ini kini dalam tingkat banding.

Terlepas bagaimana hasil akhir gugatan, termasuk bisa tidaknya vonis denda dieksekusi, kemenangan warga negara dalam class action adalah simbol betapa penting hak pilih bagi warga negara. Ini peringatan bagi penyelenggara pemilihan agar tidak dengan mudah menghilangkan hak tersebut.

Tetapi, sekali lagi, andai benar banyak pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya di Depok, hakim tidak bisa dengan semena-mena menghitung suara mereka dan memberikannya kepada salah satu pasangan calon. Bagaimana mungkin suara mereka dihitung, padahal mereka tidak memilih. Putusan ini jelas merendahkan logika dan akal sehat publik. Wajar bila ada penolakan KPUD Depok untuk melaksanakan putusan.

Tidak ada jalan lain, MA harus mengoreksi kesalahan fatal ini dengan menggelar sidang peninjauan kembali (PK) secara adil, jujur, dan transparan. Bila prasyarat jujur, adil, dan transparan tersebut diikuti, tidak ada alasan untuk membangkang lagi terhadap putusan pengadilan. Jika tidak, civil disobidience menjadi sesuatu yang niscaya dan hukum bakal makin terpuruk.***

Jakarta, 25 Agustus 2005

No comments: