30 April 2009

Kurang dan Curang Pemilu 2009

Weakness and Fraud in 2009 Election

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 1 May 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)


Kurang dan curang adalah dua kata dalam bahasa Indonesia. Bila ditambah dengan awalan ke- dan akhiran –an menjadi kekurangan dan kecurangan. Dari segi susunan huruf yang membentuk, perbedaan keduanya sangat tipis, hanya menyangkut huruf c dan huruf k. Untunglah, di keyboard komputer letak c dan k berjauhan sehingga potensi untuk saling tertukar terbilang kecil.

Ini membedakan dengan huruf b dan n yang letaknya berdampingan. Sebuah koran pernah diamuk massa beberapa tahun lalu karena perkara b dan n tersebut. Kata yang seharusnya ‘nabi’ terketik ‘babi’. Sudah tentu maknanya jauh sekali. Satu mulia dan diagung-agungkan, sementara satunya diasoasiakan dengan sesuatu yang diharamkan, bahkan menjadi kata favorit untuk mengeluarkan makian. Terlebih, kata ‘babi’ diikuti dengan nama seseorang yang dimuliakan bagi pemeluk agama mayoritas di negeri ini.

Dari segi pengertian, curang dan kurang sudah tentu berbeda, walaupun punya napas yang sama: negatif. Kurang adalah sesuatu yang by accident. Curang, tentu saja, disengaja, by design.

Diletakkan dalam konteks Pemilu 2009 yang pemungutan suaranya sudah dilakukan pada 9 April lalu, mana yang terjadi: kurang atau curang, kekurangan atau kecurangan? Setelah hasil (hitung cepat) quick count beberapa lembaga survei diumumkan pada hari H pemilu (polling day), parpol-parpol yang kalah kontan berteriak: kecurangan telah terjadi, bahkan sistematis! Salah satu contoh yang nyata adalah banyaknya warga yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Parpol-parpol yang kalah menyatakan bahwa Pemilu 2009 terburuk sepanjang era Reformasi, bahkan ada yang ’terseleo’ menyatakan sepanjang sejarah pemilu di negeri ini.

Tentu saja berlebihan bila dikatakan terburuk sepanjang sejarah karena pemilu-pemilu era Orde Baru tidak bisa dikategorikan sebagai pemilu yang luber dan jurdil. Pemenang pemilu telah bisa diperkirakan jauh-jauh hari, dengan tingkat kemenangan yang mencengangkan.

Partai yang ditahbiskan sebagai pemenang (baca: Partai Demokrat) langsung membantah. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menantang siapa saja untuk membuktikan bila kecurangan itu memang ada dalam pidato di Cikeas, 19 April lalu.

Semua Bica Curang

Bagi saya, terlalu naif menyatakan bahwa Pemilu 2009 berlangsung mulus tanpa kecurangan. Banyak cacat yang perlu dicatat. Banyak kesalahan yang perlu diperbaiki di masa datang. Namun, terlalu naif pula mengatakan bahwa kecurangan tersebut dilakukan agen tunggal dan tersistematis, terlebih pada era demokrasi dan keterbukaan seperti sekarang.

Soal kecurangan, dengan pemilih terdaftar (registered voters) lebih dari 170 juta, penerapan sistem proporsional terbuka (proportional representation system), dan penentuan pemilih dengan suara terbanyak, tidak berlebihan bila menyebut pemilu Indonesia sebagai the most complicated election in the world. Pemilu India dan AS, negara demokrasi terbesar pertama dan kedua –Indonesia terbesar ketiga—bisa jadi diikuti jumlah pemilih potensial yang lebih banyak, tetapi sistem yang diterapkan sangat sederhana, yaitu pluralitas-mayoritas dengan varian first past the post.

Pemilu yang kompleks tidak hanya menstimulasi banyaknya kekurangan, melainkan juga berpotensi bagi terjadinya kecurangan. Pemilu yang kompleks adalah lahan subur bagi kekurangan dan kecurangan. Potensi kecurangan tidak hanya antarpartai yang bertanding, melainkan juga antarcaleg, termasuk persaingan caleg dalam satu parpol. Satu suara saja berbeda dengan caleg satu parpol, kursi bisa melayang. Bagi mayoritas caleg saat ini, kursi jauh lebih penting ketimbang kemenangan parpol.

Semua parpol dan semua caleg berpotensi melakukan kecurangan karena tidak ada lagi penguasa tunggal seperti era Orde Baru. Di lapis elite nasional, presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri berasal dari parpol yang berbeda. Ini saja sudah menyulitkan untuk membuat orkestra kecurangan sistematis. Belum lagi bila melihat penguasa lokal yang juga berasal dari parpol berbeda, bahkan ada yang dari unsur independen setelah calon perseorangan dibolehkan ikut dalam kontes pilkada sejak pertengahan 2008.

Yang perlu dicatat, kecurangan tersebut tidak khas untuk Pemilu 2009 saja. Kecurangan juga terjadi pada dua pemilu sebelumnya di era Reformasi, Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Salah satu buktinya, ada 273 perselisihan hasil pemilu yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari 273 perkara tersebut, 39 di antaranya dikabulkan permohonannya. Artinya, kecurangan itu nyata dan ada. Di negara-negara lain, terutama di negara-negara maju, jarang sekali ada ratusan sengketa hasil pemilu yang harus dibawa ke pengadilan.

Netralitas Aparat

Bagaimana dengan TNI? Selain parpol, hanya TNI yang memiliki jaringan hingga tingkat desa. Di era Orde Baru, ketika parpol diganjal dengan kebijakan politik massa mengambang (floating mass), hanya TNI (dulu ABRI) yang dengan leluasa mempengaruhi pemilih untuk mencoblos parpol tertentu. Mantan KSAD Jenderal Hartono, misalnya, pernah terseleo menyatakan bahwa ABRI adalah kader Golkar. Tabiat itu kini telah berubah karena zaman telah berganti.

Bagi TNI saat ini, politik sudah kurang menarik (less interesting) karena kesempatan sudah semakin sedikit. Tidak ada lagi kursi gratis di MPR dan DPR sebagaimana diberikan pada era Orde Baru dan di awal era Reformasi. Kesempatan menjadi menteri dan duta besar sudah makin berkurang karena orang-orang parpol antre untuk jabatan tersebut. Jabatan gubernur, bupati, walikota tidak mudah lagi didapat karena sudah ada pemilihan langsung yang membutuhkan modal besar plus nasib baik dalam merebut kepercayaan publik.

Khusus untuk Pemilu 2009, tiga mantan jenderal bertarung keras: SBY, Wiranto, dan Prabowo. Tiga jenderal ini adalah tokoh-tokoh yang masih memiliki pengaruh besar di TNI. Orkestra ala tentara di era Orde Baru tentu tidak mudah lagi dilaksanakan, meski panglima TNI tetap berada di bawah presiden. Loyalitas tentara, bisa jadi, terbagi-bagi di antara ‘bos’ dan ‘mantan bos’ mereka, di antara para jenderal yang bertarung. Akibat lanjutnya, sulit menerapkan skenario tunggal untuk memenangkan kekuatan tertentu karena akan terjadi check and balances sendiri di antara kekuatan tentara, yang menyebabkan mereka akhirnya berperilaku lebih netral dalam prosesi pemilu.

Saya tidak berada pada posisi untuk membenarkan atau menyalahkan, mendukung atau menyerang pihak-pihak yang bersengketa pasca-pemungutan suara 9 April lalu. Biarlah mereka menyelesaikan sendiri silang sengketa di antara mereka, sepanjang dalam jalur yang disediakan dan dibolehkan. Yang tidak boleh, protes yang berujung pada tindakan anarkistis.

Bagi kita, pemilih, yang terpenting demokrasi tidak dikorbankan. Tiga kali pemilu dalam era Reformasi telah berlangsung sukses, meski dengan segala kekurangan dan kecurangan yang ada. Ini kemenangan rakyat. Kemenangan itu tidak boleh dirampok oleh elite yang berseteru, yang tidak pernah mengajarkan untuk bersikap sportif dalam kontes politik bernama pemilu.***


No comments: