08 April 2009

Hari Ini, Jangan Golput!

(Vote Today!)

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 9 April 2009

Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro)

Bad politicians are sent to Washington by good people who don’t vote (William E Simon, Mantan Menteri Keuangan AS)


Hari ini, 9 April 2009, 170-an juta rakyat Indonesia akan datang ke bilik suara (polling station) memilah dan memilih partai dan calonnya yang terpampang di kertas suara (ballot paper). Sebagian sudah mantap menentukan pilihan sejak jauh-jauh hari, tetapi ada pula yang baru akan menentukannya ketika berada di bilik suara.

Apa pun itu, memang sebaiknya jangan golput karena hari ini sebagian masa depan bangsa akan ditentukan oleh mereka yang memilih, bukan yang tidak memilih. Dikatakan sebagian karena masih akan ada pemilihan presiden (pilpres) pada Juli nanti. Pemilu dan pilpres adalah ajang lima tahunan yang akan menentukan masa depan bangsa ini.

Survei bersama oleh LP3ES, LIPI, CSIS, dan Puskapol UI yang dirilis pada pertengahan Maret lalu sebenarnya telah mengabarkan berita gembira. Sebanyak 95% pemilih mantap akan menggunakan hak pilihnya pada hari ini, 4% belum memutuskan, dan hanya 1% yang nyata-nyatanya akan golput. Satu persen tentu bukan angka yang besar, hanya 1,7 juta dari 170- an juta pemilih terdaftar.

Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris yang pemilihnya hanya berkisar 40–70%. Pemilu terakhir di Inggris pada 2005 hanya diikuti 61,3% pemilih setelah pada 2001 hanya diikuti 59,4% pemilih yang merupakan angka terendah dalam sejarah pemilu di Inggris sejak 1945. Di AS, pemilu terakhir pada 2008 nyatanya hanya diikuti 56,8% pemilih meskipun Obamania melanda di mana-mana. Namun, jangan lupa, satu suara hari ini bisa akan sangat berarti.

Satu Suara
Soal pentingnya satu suara tersebut mengingatkan saya dengan film Swing Vote (2008) yang dibintangi Kevin Costner. Di situ diceritakan bahwa Bud Johnson (Kevin Costner) adalah seorang yang apatis terhadap politik sebagai refleksi dari ketidakberuntungan hidupnya.

Sang putri berusaha memberikan semangat hidup kepadanya, termasuk dalam hal ikut memberikan suara dalam pemilihan presiden sebagai suatu kewajiban warga negara.Untuk itu, ia telah mendaftarkan ayahnya sebagai pemilih. Karena tidak ada tanda-tanda sang ayah akan memilih, sang putri yang diperankan oleh Madeline Carrol pergi sendiri ke polling station untuk memberikan suara atas nama ayahnya.

Pada saat memberikan suara, mesin pada polling station tersebut tiba-tiba saja macet. Pemberian suara telah teregistrasi, tetapi tidak bisa ditentukan untuk siapa suara tersebut. Perbedaan perolehan suara antara kandidat Republik dan Demokrat begitu tipis setelah semua hasil negara bagian dihitung.

Satu-satunya negara bagian yang belum bisa ditentukan pemenangnya adalah New Mexico di mana Bud tinggal.Penyebabnya,perolehan suara sama. Pemenang akan ditentukan oleh satu suara yang telah teregistrasi,tetapi belum bisa ditentukan untuk siapa. Suara tersebut adalah suara Bud. Siapa pun yang memenangkan New Mexico akan terpilih sebagai presiden. Bud menjadi penentu!

Dalam dunia nyata, hal ini mengingatkan kita pada Pilpres AS 2000 ketika pemenang antara George W Bush dan Al Gore ditentukan di satu negara bagian, yaitu Florida. Pilpres itu akhirnya dimenangi Bush melalui jalur hukum karena sengketa penghitungan di Florida. Dari jumlah suara pemilih (popular votes) Gore sebenarnya unggul, tetapi dari perolehan suara negara bagian (electoral college) dia kalah.

Karena sudah memberikan suara pada hari pemilihan, Bud berhak untuk mengulangi pemberian suaranya. Kelucuan-kelucuan terjadi karena ketidakjelasan orientasi politik Bud yang berkali-kali diwawancarai media sebelum mengulangi pilihannya.

Republik yang konservatif mengubah haluan politik dan beriklan menjadi prolingkungan dan properkawinan sejenis (gay marriage) karena menyangka orientasi politik Bud demikian. Sebaliknya, Demokrat berubah haluan menjadi antiaborsi (pro-life) dan antiimigran ilegal, posisi yang selama ini diambil Republik, juga karena menyangka Bud berorientasi demikian.

Film pun kemudian ditutup dengan datangnya Bud ke polling station untuk memberikan suara dengan diiringi senyum sang putri. Penonton tidak diberi tahu kandidat dari partai mana yang dipilih Bud. Hiperbola ala Swing Voter itu mungkin tidak akan terjadi baik di AS sendiri maupun di Indonesia, terlebih untuk pemilihan sebesar pilpres.

Namun, dalam hal penentuan caleg terpilih dengan sistem suara terbanyak, hal tersebut tidak mustahil terjadi. Sebagaimana diketahui, pada putusan tanggal 19 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan ketentuan Pasal 214 UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) yang mempersyaratkan perolehan minimal 30% dari BPP (bilangan pembagi pemilihan) bagi setiap caleg untuk duduk dalam kursi parlemen.

Sebagai gantinya, siapa pun caleg yang memperoleh suara terbanyak akan ditetapkan sebagai calon terpilih sepanjang parpol yang menominasikannya memperoleh kursi. Pada pemilu hari ini, ada 18.960 kursi yang diperebutkan, terdiri atas 560 kursi DPR, 132 DPD, 1.998 DPRD provinsi, dan 16.270 DPRD kabupaten/kota. Di antara 18.960 kursi tersebut, bukan tidak mungkin ada yang ditentukan dengan perbedaan satu suara saja.

Golput Tak Mengubah Keadaan
Karena memilih dalam pemilu masih dikonstruksikan sebagai hak, bukan kewajiban seperti di Australia, mereka yang golput tidak bisa dikatakan melanggar undang-undang atau melalaikan kewajiban sebagai warga negara. Terlebih, pemilu sering belum membawa perubahan apa-apa terhadap nasib bangsa, terutama nasib rakyat. Rakyat tetap tertinggal dan termiskinkan, sementara para wakil mereka langsung melesat kesejahteraannya begitu duduk di kursi parlemen, baik nasional maupun lokal. Fakta ini makin membuat rakyat skeptis terhadap pemilu. Golput pun adalah pilihan rasional bagi mereka yang skeptis tetapi sadar politik tersebut.

Masalahnya, berapa pun angka golput, hal tersebut tidak akan menyebabkan pemilu tidak sah. Belasan ribu kursi yang diperebutkan tetap akan dibagikan kepada caleg yang memperoleh suara terbanyak dari parpol yang memperoleh kursi (untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD) serta kandidat yang berada di peringkat empat teratas di setiap provinsi untuk pemilihan anggota DPD, siapa pun mereka.

Bila golput dipersepsikan dilakukan oleh mereka yang melek dan sadar politik, terjadilah apa yang dikutip pada bagian awal tulisan ini, bahwa “bad politicians are sent to Washington by good people who don’t vote”. Untuk konteks Indonesia, Washington tinggal diganti dengan Senayan (untuk DPR dan DPD), DKI Jakarta, Jawa Timur (untuk DPRD provinsi), Palembang, Manokwari, (untuk DPRD kabupaten/kota), dan sebagainya.

Sederhananya, karena orang-orang yang sadar politik tersebut tidak memilih, yang memilih hanyalah para loyalis yang membabi buta terhadap parpol dan caleg, tak peduli apakah parpol dan caleg tersebut berbuat banyak bagi rakyat selama berkuasa atau tidak.

Untuk menutup tulisan ini, sebagai sesama pemilih (dan bukan pejabat negara atau anggota KPU), saya mengimbau semua pemilih untuk menggunakan hak politiknya pada hari ini. Bila Anda kesulitan memilih karena banyak parpol dan caleg yang hanya janji-janji kosong, pilihlah yang terbaik dari yang buruk tersebut, the best person among the worst. Hal ini jauh lebih baik daripada membiarkan parpol dan caleg berwatak buruk terpilih karena orang baik enggan memilih.

Ayo memilih, jangan golput! (*)

No comments: