13 April 2009

Skenario Usai Pesta

(Scenario after Party)

Published by Indonesian media,
Republika, 14 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Pesta demokrasi Pemilu 2009 usai sudah. Pemenang sudah bisa ditentukan meski baru sebatas hasil penghitungan cepat (quick count). Pertanyaan klasik yang segera menyergap saat ini adalah bagaimana medan pertarungan pilpres Juli nanti? Siapa yang akan menantang SBY? Siapa yang paling berpeluang menang? Tulisan ini bermaksud mendiskusikan sebagian soal-soal klasik tersebut, sebagaimana juga diperbincangkan sejumlah pengamat, baik melalui tulisan maupun ulasan di televisi.

Hasil penghitungan cepat dari beberapa lembaga survei mewartakan satu hal: betapa kuatnya posisi the incumbent, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dengan ambang batas (presidential threshold) 20 persen kursi atau 25 persen suara, kini hanya Demokrat yang bisa melenggang ke pencalonan tanpa pusing memikirkan mitra koalisi.

Prediksi 20 persen suara bagi parpol Demokrat akan bertambah bila diterjemahkan ke dalam persentase kursi. Penyebabnya, ada 29 parpol yang tidak mencapai parliamentary threshold (PT). Bila tiap parpol rata-rata mencapai 1 persen suara saja, berarti akan ada 29 persen suara yang akan terbuang. Dengan fakta ini, 20 persen suara akan diterjemahkan sama atau lebih ke dalam persentase kursi.

Kalaupun SBY ditinggalkan semua parpol, ia akan tetap dapat melaju dalam pencalonan presiden. Namun, mengingat performa politik SBY hari ini, rasanya hampir tidak mungkin ia ditinggalkan. PKS, PAN, PKB, dan PPP sangat jelas merapat ke kubu SBY. Sementara PDIP, Gerindra, dan Hanura sudah hampir pasti menolak berkoalisi dengan Demokrat karena persoalan psikologis para pemimpinnya.

Yang menarik ditunggu adalah sikap Golkar dan Jusuf Kalla (JK). JK berada dalam dilema besar. Maju berarti hancur, tidak maju berarti menjilat ludah sendiri. Bagi JK, yang terkenal dengan sikap pragmatismenya, mundur dari pencapresan dan melirik kembali ke SBY bukan persoalan besar. Persoalannya, ia akan terus digedor dari internal Golkar yang ingin 'mendorongnya' ke jurang kekalahan. Dengan demikian, ada kesempatan untuk mengambil kepemimpinan Golkar pada 2010. Bila JK masih menjadi wakil presiden, posisi JK di Golkar akan aman. Tanpa posisi politik yang kuat, akan mudah bagi lawan-lawan politik JK menjungkalkannya dalam perhelatan Munas 2010.

Masalahnya, apakah SBY juga bersedia mengambil JK lagi sebagai wakilnya untuk pilpres mendatang. Dengan tingkat popularitas hingga hari ini, tidak masalah siapa pun wakil SBY. Ia tetap memiliki peluang paling besar untuk memenangi medan Pilpres 2009. Kalau mau jujur, selama ini JK lebih dirasakan sebagai 'kerikil' dalam pemerintahan SBY ketimbang mitra sejati.

Koalisi Pilpres
Menimbang syarat pengajuan capres yang harus memenuhi kuota 20 persen kursi atau 25 persen suara, saya memperkirakan ada tiga skenario untuk pilpres mendatang. Pertama, skenario mutakhir yang banyak dibincangkan, yaitu capres diisi oleh tiga calon: SBY, Mega, dan JK.

Majunya Mega dan JK dalam medan pilpres karena tidak ada pilihan lain. Bagi Mega, menjadi capres adalah harga mati bila ingin tetap beredar dalam peta politik Tanah Air. Bagi JK, bila nanti SBY benar-benar mengajukan talak, sudah tentu ia harus maju sendiri, dan tidak mungkin pula maju sebagai cawapres dari calon lain. Posisinya mirip seperti Hamzah Haz pada Pilpres 2004, yang 'terpaksa' maju meski sadar tidak punya peluang lagi.

Kedua, skenario status quo. Hal ini terjadi bila JK tetap dipertahankan sebagai pasangan SBY. Probabilitas skenario ini tidak tertutup sama sekali walaupun kini mengecil. Golkar makin menyadari bahwa takdir mereka adalah menjadi nomor dua, bukan nomor satu. Selain hanya menduduki posisi kedua atau ketiga dan tidak lagi nomor satu seperti Pemilu 2004, mereka juga tidak memiliki sosok populer yang bisa dijual.

Ketiga, skenario ABS, asal bukan SBY. Semua kelompok yang menolak SBY bergabung menjadi satu dan menjagokan capres yang diperkirakan paling mampu mengalahkan SBY. Skenario ketiga ini sangat menarik untuk ditunggu. Bagi saya, inilah satu-satunya yang bisa menghadang laju SBY untuk medan Pilpres 2009.

Mega punya peluang besar untuk memimpin koalisi ABS. Namun, peluang Mega untuk mengalahkan SBY terbilang kecil karena dia bukan lagi inspirational leader seperti pada Pemilu 1999. Mega cenderung menjadi kartu mati. Popularitasnya dari hari ke hari makin turun. JK juga tidak pada posisi untuk memimpin koalisi ABS karena akan sulit menjelaskan kepada publik posisinya karena ia bagian dari pemerintahan.

Hingga hari ini, kiranya hanya satu sosok yang berpeluang memimpin koalisi ABS: Prabowo. Partai Prabowo, Gerindra, memang hanya memperoleh sekitar 4 persen suara menurut beberapa lembaga survei, tetapi jangan dilupakan bahwa Gerindra adalah parpol baru. Pada Pemilu 2004, Demokrat juga memperoleh suara kurang dari 10 persen, tepatnya 7,5 persen, tetapi SBY mampu memenangi medan Pilpres 2004 setelah head to head dengan incumbent Megawati.

Bagi Prabowo, mudah baginya untuk mengambil posisi yang berbeda dengan SBY. Misalnya dalam hal isu ekonomi, ia bisa menjargonkan ekonomi kerakyatan dengan basis petani dan nelayan, ditandingkan dengan sistem ekonomi kapitalisme atau neoliberalisme seperti dituduhkan sejumlah ekonom kepada pemerintahan SBY. Dalam hal kepemimpinan, Prabowo bisa mencitrakan sebagai pemimpin yang decisive, tidak peragu, dan masih banyak lagi isu yang bisa dimainkan.

Namun, tentu saja, tidak mudah bagi Prabowo menjadi Obama dalam medan Pilpres 2009.
Posisi pemerintahan SBY saat ini sangat baik di mata rakyat. Meminjam kata Rektor Paramadina Anies Baswedan dalam talkshow di televisi, pesan pemilih jelas: continuity (lanjutkan), bukan change (perubahan).

Satu skenario yang mungkin juga terjadi, sebagai varian dari skenario ABS, adalah tidak ada calon presiden selain SBY. Semua lawan SBY menarik diri dari medan pilpres karena kecil peluang mereka untuk menang dari SBY. Diharapkan, pilpres tidak akan berlangsung karena tidak ada calon lain. Secara teoretis, mudah bagi SBY menjawab skenario ini bila memang terjadi, yaitu cukup dengan menciptakan calon boneka dari parpol-parpol pendukungnya sebagaimana terjadi dalam sejumlah pilkada yang calonnya kuat. Namun, medan pilpres akan menjadi dagelan politik. Saya berharap dan yakin, skenario ini tidak terjadi karena politikus kita (mudah-mudahan) masih berjiwa sportif. Kalah dalam pertandingan, jauh lebih baik dan terhormat ketimbang berupaya menggagalkan kompetisi karena tidak melihat peluang menang.

Hingga titik ini, saya masih tetap menyesalkan putusan MK yang menolak penghapusan presidential threshold. Andai semua parpol diberikan hak untuk mengajukan calon, saya tidak yakin akan ada 38 capres. Calon paling kurang dari 10 orang, tidak jauh dari nama-nama SBY, Mega, JK, Prabowo, Wiranto, Sri Sultan, termasuk Rizal Ramli. Merekalah yang sebenarnya paling serius maju dalam medan Pilpres 2009.

Demokrasi tidak hanya soal hasil, melainkan juga proses. Dengan tujuh calon, tidak berarti pilpres akan senantiasa dua putaran sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak yang terlalu memberatkan aspek teknis-administratif dalam penyelenggaraannya. Dengan kuatnya figur SBY, pilpres bisa jadi hanya berlangsung satu putaran. Namun, satu poin pasti didapat, demokrasi kita akan melangkah lebih maju dengan memberikan kesempatan kepada putra terbaik untuk bersaing dalam medan pilpres secara adil. Inilah yang kita tidak punya saat ini gara-gara ulah politisi di Senayan yang kemudian dikuatkan dengan putusan MK, 18 Februari lalu.***

No comments: