13 April 2009

Mengawal Suara Rakyat

(Protecting People's Votes)


Published by Indonesian media,
Jurnal Nasional, 14 April 2009

Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro)

Pemungutan suara Pemilu 2009 telah dilakukan pada 9 April 2009. Pemenang pun hampir pasti telah bisa ditentukan berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count). Partai Demokrat dinyatakan sebagai pemenang oleh semua lembaga yang melakukan penghitungan cepat, dengan perolehan suara sekitar 20 persen.

Bisa dikatakan, tidak ada perselisihan (dispute) di antara lembaga penyelenggara penghitungan cepat menyangkut kampiun pemilu kali ini. Kesepakatan juga terjadi mengenai jumlah parpol yang akan lolos parliamentary threshold (PT) 2,5 persen, ambang minimal yang dibutuhkan untuk mengirimkan wakilnya di DPR. Sembilan parpol tersebut adalah Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Dua wajah baru, Gerindra dan Hanura, menembus PT. Satu-satunya parpol yang pada Pemilu 2004 menembus angka 2,5 persen namun kali ini gagal pada pencapaian yang sama adalah Partai Bulan Bintang (PBB).

Wajah parlemen ke depan karenanya akan lebih sedikit warnanya ketimbang parlemen 2004-2009, yang diisi wakil dari 16 dari 24 parpol yang berpartisipasi dalam Pemilu 2004. Akibat lanjutnya, pengambilan keputusan jauh akan lebih efektif dengan kemungkinan jumlah fraksi lebih sedikit ketimbang 10 fraksi saat ini.

Perbedaan di antara lembaga survei, kalau boleh dikatakan demikian, hanya soal peringkat di bawah jawara, terutama penentuan nomor urut dua dan tiga antara PDIP dan Golkar. Perbedaan juga mengemuka soal peta posisi di antara parpol menengah, di antara PKS, PAN, PKB, dan PPP. Apakah dengan demikian perhelatan pemilu telah berakhir? Jelas tidak.

Penghitungan suara (vote counting) sesungguhnya baru dimulai. Hasil formal (official result) baru akan diketahui dalam beberapa hari ke depan. Tidak saja menyangkut perolehan suara masing-masing parpol, melainkan juga individu caleg yang diajukan masing-masing parpol. Pada titik inilah potensi kecurangan bisa terjadi.

Caleg versus Caleg

Sejak awal saya mengatakan bahwa tidak ada gunanya melakukan money politics (politik uang) terhadap pemilih. Selain dana yang dibutuhkan sangat besar, soal lain yang juga membuat tindakan itu tidak efektif adalah kepastian pemilih benar-benar memilih sang pemberi uang. Jauh lebih efektif bila money politics diarahkan kepada para panitia penghitungan suara di berbagai tingkatan. Di sinilah perlunya mengamati dan mencermati pergerakan surat suara.

Setelah dihitung di masing-masing TPS, surat suara bergerak ke PPK (panitia pemilihan kecamatan), lalu ke KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan terakhir di KPU. Semua titik ini berpotensi untuk adanya kongkalikong antara peserta dan panitia penyelenggara pemilu. Bila diletakkan pada konteks pemilihan anggota DPR, ada dua soal yang perlu dicermati, yaitu (1) suara dari parpol-parpol yang tidak mencapai PT, dan (2) distribusi suara di antara caleg satu parpol.

Seperti sudah disinggung terdahulu, diperkirakan hanya sembilan parpol yang dapat memenuhi PT 2,5 persen. Artinya, 29 parpol tidak akan menempatkan wakilnya di DPR, berapa pun suara yang diperoleh individu caleg, hingga 100 persen BPP (bilangan pembagi pemilihan) sekali pun. Mereka yang sudah tidak berpeluang ini rentan untuk dipengaruhi oleh parpol atau caleg yang masih berpotensi merebut kursi.

Ketika menjadi staf ahli Mahkamah Konstitusi dan anggota tim penyelesaian sengketa hasil Pemilu 2004, saya pernah mengalami hal ini. Satu caleg dari satu parpol -yang tidak etis untuk disebutkan di sini-telah merekayasa sedemikian rupa perolehan suara di tingkat KPU kabupaten. Ia yang tadinya tidak mendapatkan kursi menjadi salah satu caleg yang bakal melenggang ke Senayan karena mendapat "limpahan" dari parpol-parpol yang sudah tidak berpeluang lagi.

Modusnya adalah dengan melakukan money politics terhadap empat dari lima anggota KPU kabupaten di daerahnya, plus sekretaris KPUD. Ketika melaporkan hasil pemilu ke Jakarta, empat dari lima anggota KPUD tersebut melaporkan data yang telah direkayasa sedimikian rupa ke KPU. Pada pengumuman hasil pemilu secara nasional pada 5 Mei 2004, partai sang calon termasuk kelompok parpol yang bakal memperoleh kursi di DPR. Calon yang berpeluang menduduki adalah sang caleg sendiri, yang dinominasikan di urutan pertama.

Untunglah modus ini bisa digagalkan setelah parpol yang sebenarnya mendapat kursi mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK. MK mengembalikan suara kepada parpol yang berhak dan keempat anggota KPUD telah dipecat.

Suara 29 parpol yang tidak menggapai PT 2,5 persen sangat potensial untuk dimainkan oleh caleg yang berpotensi mendapatkan kursi. Contoh soal, satu parpol mendapatkan dua kursi. Dengan sendirinya caleg dengan suara terbanyak nomor satu dan dua di parpol tersebut berhak atas kursi. Katakanlah caleg dengan suara terbanyak ketiga menginginkan kursi tersebut. Ia lantas bermain mata dengan penitia penghitungan suara dengan cara mengalihkan beberapa suara dari parpol yang diperkirakan tidak bakal lolos PT sehingga perolehan suaranya melampaui perolehan suara caleg terbanyak kedua. Jumlah total suara tidak berubah, yang diubah hanyalah distribusi di antara parpol-parpol kecil yang tidak lolos PT untuk menguntungkan salah seorang calon.

Yang juga bisa dilakukan adalah mengubah distribusi suara di dalam parpol sendiri. Dalam kasus tadi, caleg dengan perolehan suara terbanyak ketiga meminta "pelimpahan" suara dari caleg dengan suara terbanyak keempat, kelima, dan seterusnya yang notabene tidak berpeluang lagi mendapatkan kursi. Atau bisa juga dilakukan dengan secara langsung mengurangi caleg dengan perolehan suara nomor dua dan menambahkannya ke suara caleg tadi.

Bila modus operandi tersebut lolos hingga pengumuman hasil pemilu secara nasional, sudah tidak ada lagi mekanisme untuk mengoreksi keputusan KPU. Berdasarkan hukum formal pengajuan perselisihan hasil pemilu di MK, hanya parpol, melalui pimpinan parpol tingkat nasional, yang dapat mengajukan sengketa hasil pemilu, tidak boleh perseorangan caleg. Dalam kasus ini parpol tidak dirugikan karena perolehan kursi tidak berubah. Sengketa terjadi antarcaleg satu partai. Pimpinan parpol tidak merasa berkepentingan untuk mengajukan sengketa tersebut, terlebih bila tidak menyangkut hajat hidup sang pimpinan. Berdasarkan hukum formal yang ada, caleg tidak bisa mengajukan sengketa tersebut secara langsung karena tidak memenuhi kriteria pemohon yang diperbolehkan mengajukan sengketa.

Melalui tulisan ini, saya merekomendasikan dua hal. Pertama, pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung, pemantau pemilu, dan masyarakat hendaknya memantau betul pergerakan surat suara. Penghitungan di PPK, KPU kabupaten/kota, dan KPU provinsi harus benar-benar diawasi. Salinan rekapitulasi penghitungan suara di tingkatan itu harus benar-benar disimpan oleh saksi sebagai bahan dalam memperoleh kebenaran bila masalah terjadi. Yang diawasi tidak sekadar perolehan suara masing-masing parpol, melainkan juga perolehan masing-masing caleg. Pemantauan sekilas saya terhadap jalannya penghitungan suara di TPS, umumnya saksi hanya memerhatikan perolehan suara parpol, dan kurang terhadap perolehan masing-masing caleg.

Kedua, bila kecurangan terjadi dan terlanjur diumumkan KPU, MK harus mau membuka diri untuk menembus sekat-sekat hukum formal demi memberikan keadilan. Kalau tidak, sama artinya membiarkan pilihan rakyat dikhianati. Caleg melenggang ke kursi parlemen karena kecurangan dan hukum tidak mampu mengoreksinya. Dengan cara ini, mudah-mudahan kita bisa menyelamatkan suara rakyat yang telah diberikan dalam pesta demokrasi 9 April lalu.***

No comments: