13 April 2009

Seribu Sengketa di Mahkamah

(Thousands of Electoral Disputes in the Constitutional Court)

Published by Indonesian media,
Kompas, 14 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform

Usai sudah pesta demokratis pada 9 April lalu. Publik kini menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum dalam beberapa hari ke depan. Bagi Mahkamah Konstitusi, ”pesta” justru baru dimulai ketika KPU mengumumkan hasil pemilu secara nasional.

Saat itu hingga 3 x 24 jam ke depan, ribuan sengketa diperkirakan mengalir ke lembaga pengawal konstitusi tersebut. Ketua MK Mahfud MD memperkirakan tidak kurang dari 1.000 kasus bakal masuk. Semuanya harus diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari kerja.

Mengapa seribuan kasus karena karakter pemilu saat ini berbeda dari Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009 makin banyak pihak yang berkepentingan langsung terhadap hasil pemilu. Tidak hanya partai politik, tetapi juga ratusan ribu calon anggota legislatif yang bertebaran di seantero Nusantara. Mereka memperebutkan 18.960 kursi, yang terdiri dari 560 kursi DPR, 132 DPD, 1.998 DPRD provinsi, dan 16.270 DPRD kabupaten/kota. Dengan ketentuan suara terbanyak, satu perbedaan suara saja sudah sangat berarti dalam merebut kursi.

Kompetisi tidak sekadar antarparpol peserta pemilu atau antarcaleg dari parpol yang berbeda, tetapi juga di antara caleg dalam satu parpol. Mereka bisa saja saling menikam dalam rangka memperebutkan kursi. Bagi caleg saat ini, kursi adalah yang utama, penguatan parpol adalah soal kesekian.

Dalam beberapa kesempatan memberikan pelatihan bagi para caleg di daerah, saya sering melontarkan pertanyaan: mana yang mereka pilih, apakah parpol memperoleh lima kursi tetapi kursi tersebut tidak untuk mereka ataukah satu kursi saja dan mereka yang mendapatkannya? Selalu jawaban mereka: satu kursi! Artinya, mereka tidak terlalu peduli dengan parpol. Yang mereka pedulikan adalah diri mereka sendiri.

Pada Pemilu 2004, MK menerima 500-an perkara hasil pemilu dan yang memenuhi syarat untuk diperiksa lebih lanjut sebanyak 273 perkara. Waktu penyelesaian sengketa sekitar 40 hari (termasuk hari libur). Artinya, MK harus menyelesaikan 6-7 perkara per hari. Padahal, jumlah panel hakim yang memeriksa perkara hanya tiga karena undang-undang mensyaratkan panel hakim paling sedikit terdiri atas tiga hakim. Tak heran saat itu satu-dua hakim jatuh sakit.

Sekat formal

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang MK (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003), hanya parpol dan perseorangan calon anggota DPD yang bisa mengajukan perkara, perseorangan caleg tidak boleh. Perkara yang diajukan pun haruslah signifikan untuk memengaruhi perolehan kursi. Jika tidak, perkara tidak akan diperiksa lebih lanjut. Itulah sebabnya kasus yang masuk ”tidak banyak”, setidaknya tidak sampai ribuan.

Ketentuan formal seperti itu tetap berlaku untuk Pemilu 2009 karena UU MK belum berubah dan Peraturan MK Nomor 14 Tahun 2008 yang mengatur lebih lanjut hukum acara sengketa hasil pemilu masih mengadopsinya. Namun, ditetapkannya suara terbanyak berpotensi menyebabkan para caleg menyeberang dari garis formal tersebut.

Pada Pemilu 2004, tak banyak individu caleg yang mau menyeberang dari garis formal karena tidak mudah memperoleh 100 persen bilangan pembagi pemilihan (BPP). Untuk pemilihan anggota DPR, dari 550 orang yang terpilih, hanya Hidayat Nur Wahid (DKI) dan Saleh Djasit (Riau) yang mencapai 100 persen BPP. Selebihnya terpilih karena berkah nomor urut. Tak heran bila pada waktu itu yang komplain hanya caleg nomor 1-2 yang berpotensi mendapatkan kursi. Tentu komplain tersebut melalui pimpinan nasional parpol masing-masing karena undang-undang menentukan hanya ketua umum dan sekjen yang bisa mengajukan sengketa hasil pemilu atas nama parpol.

Dengan ditetapkannya suara terbanyak, tidak bisa tidak, komplain akan datang dari caleg nomor berapa pun. Bila yang dikomplain adalah parpol lain, hal itu tidak masalah. Pimpinan parpol mungkin akan dengan senang hati membubuhkan tanda tangannya dalam pengajuan sengketa hasil pemilu. Bagaimana bila yang dikomplain adalah rekan sendiri yang dianggap curang, yang telah menyebabkan calon lain dalam satu parpol kehilangan kursi? Tentu tidak mudah bagi pimpinan parpol untuk bersikap.

Banjir perkara

Dengan dalil hukum formal bahwa hanya parpol yang berhak mengajukan sengketa hasil pemilu, akankah MK berdiam diri bila yang bersangkutan langsung mengajukan sengketa hasil pemilu atas nama pribadi? Bila berdiam diri, sudah jelas MK tidak konsisten dengan putusannya sendiri. Dalam perkara Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, MK menerobos sekat-sekat formal untuk mencari kebenaran material. MK membuat ijtihad hukum dengan memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang, dua jenis putusan yang sebenarnya tidak dikenal dalam hukum formal sengketa hasil pilkada sebagaimana diatur dalam Peraturan MK Nomor 15 Tahun 2008.

Pada titik ini, MK akan menghadapi dilema. Bila sekat formal tersebut dibuka, akan terjadi banjir perkara. Skenario ribuan perkara bukan sesuatu yang mustahil. Namun, bila tetap kukuh pada aturan formal, keadilan tidak akan tercipta. Kursi akan jatuh pada caleg yang tidak berhak. Lebih jauh lagi, hal ini telah mencederai kedaulatan rakyat.

MK harus menciptakan sistem penanganan perkara pemilu yang tangguh. Skenario banjir perkara harus disiapkan. Kendati tidak secara jelas-jelas membuka sekat tersebut dalam peraturan MK, paling tidak, lembaga pengawal konstitusi itu telah siap bila ribuan caleg yang terzalimi berbondong-bondong datang ke MK untuk meminta kursi mereka kembali. MK tidak boleh berdiam diri atas nama hukum formal bila hal ini terjadi.

Namun, MK pun harus memilih dan memilah. Hanya perkara yang betul-betul serius yang diperiksa. MK tidak boleh menjadi kotak sampah keisengan para caleg yang memang khas Indonesia: siap menang, tetapi tidak pernah siap untuk kalah!***


No comments: