14 April 2009

Menggugat Hilangnya Hak Pemilih

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 15 April 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Perhelatan pemungutan suara Pemilu 2009 usai sudah. Pemenang telah dikabarkan oleh banyak lembaga survei. Hasil resmi oleh Komisi Pemilihan Umum bisa jadi sekadar mengkonfirmasi apa yang telah diberitakan lembaga survei, yang tidak bersengketa menyangkut partai politik apa yang menjadi pemenang. Dengan perolehan sekitar 20 persen, Partai Demokrat dipastikan menjadi mayoritas di parlemen 2009-2014.

Soalnya adalah, bisa jadi pemenang sesungguhnya bukan Partai Demokrat, melainkan golongan putih (golput). Golputlah yang memenangi medan Pemilu 2009. Data dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya, menyebutkan ada sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini benar, tidak salah bila golput ditahbiskan sebagai pemenang pemilu.

Soalnya lagi, kenapa banyak yang golput? Golput terdiri atas dua genre: golput politis dan golput teknis. Terhadap mereka yang golput karena pilihan politik--karena menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekadar sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji-janji kosong yang langsung dilupakan ketika telah melenggang ke kursi parlemen--kita tidak bisa berbuat apa-apa. Di negeri ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih dikonstruksikan sebagai sekadar hak, belum menjadi kewajiban sebagaimana halnya di Australia. Namun, bagi yang golput karena soal teknis-administratif, yaitu tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah dan solusinya. Tulisan ini karenanya berkehendak menjawab dua masalah tersebut.

Empat pihak

Ada empat pihak yang patut disalahkan atas banyaknya warga negara yang tidak dapat menggunakan hak pilih karena soal teknis-administratif. Pertama-tama dan yang utama adalah KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Undang-Undang Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih.

Untuk menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar.

Bila ada warga negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang berhak memilih. Pihak yang ingin “menyerang” KPU tinggal menggunakan ketentuan Pasal 260 dan Pasal 311 UU Pemilu. Pasal 260 mengancam dengan ancaman hukuman penjara 12-24 bulan terhadap setiap orang (termasuk anggota KPU) yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Pasal 311 menegaskan tambahan sepertiga hukuman bila tindak pidana pemilu tersebut dilakukan penyelenggara pemilu.

Namun, siapa pun tahu, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer di mana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.

Pihak ketiga yang harus disalahkan adalah partai politik. Undang-Undang Pemilu telah mengamanatkan bahwa parpol bisa meminta salinan daftar pemilih sementara (DPS) kepada panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya, parpol bisa mengecek apakah konstituen atau calon pemilih potensial mereka terdaftar. Nyatanya, banyak parpol tidak bekerja untuk itu. Bila menjelang hari pemilihan masih ada parpol yang berteriak bahwa banyak pemilihnya tidak terdaftar, teriakan itu tidak perlu didengarkan lagi. UU Pemilu telah memberikan kesempatan, tetapi parpol tidak menggunakannya. Jangan karena awak tak pandai menari, lalu lantai pula yang disalahkan.

Terakhir, kesalahan patut pula ditimpakan kepada pemilih yang bersangkutan. Undang-undang telah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menengok dan melongok daftar pemilih sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi DPT. Bahkan penetapan DPT bisa direvisi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2009. Maksudnya, lagi-lagi agar mereka yang tidak terdaftar dapat mendaftarkan diri. Bila pemilih tidak juga terdaftar lantaran alpa mengecek DPT, mereka harus sadar bahwa konsekuensinya adalah tidak bisa memilih.

Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.

Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin dijadikan nasi lagi. Pemilu 2009 telah berakhir dan, berapa pun yang golput, entah karena motivasi politik atau terhalang kendala teknis-administratif, tidak dapat menggagalkan keabsahan pemilu. Bila ada kecurangan, ada saluran hukum yang bisa digunakan, dari pengadilan negeri untuk tindak pidana pemilu hingga MK untuk sengketa hasil pemilu.

Sebagai kata akhir, untuk pemilihan presiden Juli nanti, ada dua hal yang harus dilakukan untuk melindungi hak pilih warga negara sebagai suplemen langkah-langkah normal seperti memutakhirkan data pemilih. Pertama, KPU dan jajarannya harus segera membuat posko pengaduan warga negara yang tidak dapat menggunakan hak memilihnya pada Pemilu 2009. Mereka yang datang ke posko pengaduan harus segera dicatat sebagai tambahan pemilih.

Kedua, KPU menerbitkan peraturan KPU yang mengakomodasi pemilih yang tidak terdaftar, kendati semua pihak telah bekerja keras untuk itu. Mereka cukup menunjukkan KTP atau tanda kependudukan yang sah kepada petugas TPS bila hendak memilih. Terhadap rekomendasi kedua ini, KPU bisa berdalih surat suara terbatas dan undang-undang telah memagari KPU bahwa hanya pemilih terdaftar yang bisa memilih. Terhadap problem jumlah surat suara, bisa saja diatur bahwa mereka yang tidak terdaftar baru diizinkan memilih bila proses pemungutan suara bagi pemilih terdaftar telah ditutup pada pukul 12.00 dan masih ada sisa surat suara yang belum terpakai.

Terhadap belenggu undang-undang, penting dicatat bahwa peraturan KPU tersebut diharapkan menjadi pemantik (trigger) bagi perubahan terbatas Undang-Undang Pemilihan Presiden atau terbitnya perpu. Bila dua instrumen hukum tersebut tidak juga terbit, sebagaimana terjadi untuk pemungutan suara 9 April, KPU harus berani melangkah lebih jauh untuk menyelamatkan hak memilih warga negara.

Bila ada pihak yang menggugat--dan rasanya tidak akan, mengingat kejadian 9 April lalu--KPU dapat berargumentasi bahwa yang mereka lakukan adalah menyelamatkan hak warga negara, sesuatu yang jauh lebih besar dan dilindungi UUD 1945 ketimbang sekadar taklid kepada ketentuan undang-undang yang faktanya menempatkan KPU pada posisi melanggar undang-undang pula, yaitu menyebabkan pemilih kehilangan haknya.***

No comments: