13 April 2009

Menggugat Sistem Pemilu Kita

(Challenge Our Election System)

Refly Harun
Senior Researcher at Cetro,
Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris


Kemapanan sistem distrik sedang digugat di Inggris. Fakta itu saya dapatkan ketika berkunjung ke Electoral Reform Society (ERS), sebuah LSM yang telah berdiri pada 1884, di London pada 12 Maret lalu. Fakta ini sedikit mengejutkan karena Inggris bersama AS sering dianggap contoh terbaik penerapan sistem distrik, atau lebih tepatnya plurality-majority dengan varian first past the post (FPTP).

Tentu mengejutkan pula bagi siapa saja yang ingin menggeser kemapanan sistem proporsional di negara kita dan menggantikannya dengan sistem distrik. Tulisan ini karenanya berkehendak menguji pergeseran tersebut dan relevansinya dengan sistem pemilu di Indonesia yang saat ini diterapkan.

Dua hal setidaknya selalu diperdebatkan dalam setiap perbincangan mengenai sistem pemilu, yaitu keterwakilan (representativeness) dan akuntabilitas (accountability). Sistem distrik sering dipersepsikan mengandung masalah dalam soal keterwakilan karena banyak suara yang terbuang. Persentase kursi tidak menggambarkan persentase suara. Sementara sistem proporsional dipersepsikan lebih favourable terhadap isu keterwakilan, tetapi lemah dalam menghasilkan wakil-wakil rakyat yang akuntabel.

Untuk mengombinasikan keduanya diintroduksi sistem campuran (mixed system), yang berpretensi menggabungkan keunggunlan baik sistem distrik maupun proporsional. Namun, sistem ini pun tidak kedap dari kelemahan, karena memang tidak ada sistem pemilu yang benar-benar sempurna. Sistem apa pun selalau memiliki dua sisi: kelebihan (advantages) dan kekuarangan (disadvantages). Pilihan karenanya sangat bergantung pada kebutuhan setempat (asas lokalitas).

Sistem distrik dengan varian FPTP yang diterapkan di Inggris dan AS adalah single-member district. Di setiap distrik pemilihan hanya disediakan satu kursi. Setiap parpol hanya menominasikan satu calon. Siapa pun calon yang memperoleh suara terbanyak, dialah yang menjadi pemenang dan mendapatkan kursi. FPTP dipuji terutama karena mudah dan murah dalam penerapannya. Untuk konteks Indonesia, rakyat sebenarnya telah terbiasa menerapkan sistem seperti ini dalam pemilihan kepala desa.

Kelebihan paling substansial adalah link yang jelas antara kandidat terpilih dan konstituennya. Di bawah FPTP, kandidat dipersepsi akan lebih peduli dan responsif dengan kepentingan konstituen karena nasibnya memang tergantung dengan pemilih di distrik yang bersangkutan.

Kelemahan yang paling mencolok dari FPTP adalah potensi hilangnya banyak suara dan disproporsionalitis antara persentase suara dan kursi yang didapat. Seorang kandidat bisa terpilih sebagai anggota DPR meskipun mayoritas rakyat tidak memilihnya. Misalnya diterapkan di Indonesia dengan 38 parpol dan satu kursi di setiap distrik, seorang kandidat bisa terpilih hanya dengan meraup katakanlah 15 persen suara karena kandidat lain tidak ada yang lebih dari angka tersebut. Itu artinya 85 persen rakyat di daerah tersebut tidak memilihnya.

Di Inggris dan AS potensi suara hilang tersebut tidaklah sebesar bila sistem ini diterapkan di Indonesia saat ini. Secara tradisional di Inggris hanya ada tiga parpol yang dominan (Labour, Conservative, dan Liberal-Democrat), sementara di AS hanya dua (Democrat dan Republic).

Kritik lain terhadap FPTP adalah dinilai tidak menguntungkan bagi keterwakilan perempuan, terutama dalam budaya masyarakat yang paternalistik. Namun, secara faktual klaim ini tidak begitu tepat bila merujuk Wales. Dengan penerapan FPTP, dari 60 orang anggota National Assembly of Wales, 28 di antaranya perempuan!

Kritik lain, yang menyebabkan kelompok ERS di Inggris berkampanye untuk mengubah sistem yang ada, adalah kenyataan bahwa FPTP meminggirkan parpol-parpol kecil dan kelompok minoritas dari keterwakilan. Rakyat Inggris hanya diberikan alternatif pemerintahan yang itu-itu saja. Sebelum pemerintahan beralih ke kubu Buruh pada 1997, Inggris diperintah Konservatif selama 18 tahun dengan Margareth Thatcher sebagai ikonnya. Sekarang hal yang sama akan berulang kembali karena Buruh sudah memerintah selama 12 tahun.

Yang diinginkan kelompok ERS adalah penerapan sistem proporsional dengan dengan varian single transferable vote (STV). Dalam sistem ini dan sistem proporsional pada umumnya, satu distrik pemilihan tidak terdiri dari satu kursi. Ada beberapa kursi yang diperebutkan dalam satu distrik. Sebuah parpol bisa menominasikan beberapa pun calon yang diinginkan. Masyarakat diberikan hak untuk mengurutkan pilihan mulai dari satu hingga kandidat terakhir. Bisa juga suara yang diurutkan berdasarkan jumlah kursi yang disediakan.

Cara ini dinilai lebih adil karena rakyat bisa mengekspresikan pereferensinya ketimbang hanya memilih satu orang. Namun, kelemahan yang mencolok adalah sistem ini membutuhkan tingkat melek huruf yang tinggi dan teknis penghitungan agak rumit. Bila diterapkan di Indonesia dengan 38 parpol dan ratusan kandidat dalam satu distrik, kerumitan akan bertambah-tambah.


Inflasi Caleg

Untuk menjawab problem akuntabilitas yang merupakan penyakit bawaan sistem proporsional, Indonesia menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka (open-list proportional representation system). Masyarakat diberi hak untuk memilih caleg yang mereka inginkan. Putusan MK mengenai suara terbanyak 19 Desember 2008 makin menguatkan pilihan tersebut.

Persoalannya, rakyat menyaksikan inflasi caleg saat ini. Terlalu banyak caleg yang dinominasikan dalam suatu dapil. Kalau di AS hanya ada 2-3 kandidat untuk setiap dapil, dan di Inggris 5-6, caleg di Indonesia bisa 380 dalam suatu distrik pemilihan. Penyebabnya, ada 38 parpol yang bertanding. Semua parpol diberi hak untuk menominasikan kandidat hingga 120 persen dari jumlah kursi yang disediakan. Bila rata-rata kursi dalam suatu dapil berjumlah 10, kandidat yang ada berjumlah 380 orang lebih! Jumlah tersebut sangat tidak rasional. Bagaimana mungkin masyarakat suatu distrik bisa mengenal calon yang berjumlah ratusan tersebut.

Inflasi caleg tidak hanya membingungkan rakyat, tetapi juga membuat pemilu seperti pasar pencari kerja. Para caleg mengadu peruntungan sebagai caleg bukan karena telah menyelesaikan problem hidupnya, terutama di bidang ekonomi, melainkan mengadu peruntungan untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka. Bila kebanyakan caleg masih bermasalah dengan kehidupan mereka, alangkah naifnya bila mereka merasa mampu mewakili kepentingan banyak orang sebagai wakil rakyat.

Di masa depan, bila sistem proporsional dengan daftar terbuka tetap diterapkan, harus dilakukan langkah-langkah perbaikan dan penyederhanaan. Sambil berharap jumlah parpol mengkrucut seiring penerapan parliamentary threshold, district magnitude mungkin bisa diperkecil menjadi kurang dari lima untuk setiap dapil.

Banyak langkah-langkah perbaikan yang harus dilakukan. Intinya, sistem sekarang tidak bisa diterapkan 100 persen lagi. Secara teknis rumit dan membutuhkan biaya tinggi –karena untuk cetak surat suara saja membutuhkan lebih dari Rp1 triliun—secara substantif belum tentu juga menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel. Jika problem akuntabilitas belum juga terjawab, tak ada gunanya kita menggeser sistem proporsional dengan daftar tertutup yang mudah dan murah menjadi sistem proporsional dengan daftar terbuka yang mahal dan njlimet.***

Birimingham, Maret 2009

No comments: