11 July 2009

Menggagas E-Voting

To Propose E-Voting

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 11 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Inilah ilustrasi pemilu kita. Pemungutan suara dilakukan pada 9 April 2009. Hasilnya baru diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) satu bulan kemudian pada 9 Mei 2009, waktu maksimal yang disediakan undang-undang. Itu pun masih menyisakan masalah di Nias Selatan, yang hasil pemilunya tak bisa ditetapkan hingga tenggat akhir penetapan hasil pemilu secara nasional oleh KPU terlampaui. KPU menetapkan suara pemilu anggota DPR minus Nias Selatan, yang membuat Badan Pengawas Pemilu meradang, menganggap bahwa penetapan tersebut tidak sah.

Masalah selesai? Tidak. Masih ada hampir 700 sengketa hasil pemilu yang dibagi dalam 69 berkas perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga pertengahan Juni, MK akan menyidangkan ratusan perkara tersebut, yang jumlah persisnya pun tidak diketahui karena saking banyaknya kasus yang masuk. Putusan MK yang mengabulkan permohonan akan mengubah perolehan suara yang telah ditetapkan pada 9 Mei lalu.

Ketidakpastian pemilu berlangsung sangat lama. Yang paling memprihatinkan, apa yang ditetapkan KPU bisa jadi tak semuanya mencerminkan pilihan rakyat. Suara yang ditetapkan KPU bisa jadi merupakan suara yang telah direkayasa. Terlebih penetapan calon anggota legislatif terpilih menggunakan mekanisme suara terbanyak. Satu suara bisa sangat menentukan kursi teraih atau melayang.

Semua karut-marut ini antara lain disebabkan oleh proses pemungutan suara dan penghitungan suara yang rumit, berbelit, dan berjenjang, sehingga berpotensi terjadi kecurangan. Rumit, karena pemilu legislatif 9 April memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sekaligus. Banyak parpol yang bertanding dan terlalu banyak calon legislator yang tercantum dalam surat suara. Mayoritas calon tersebut tidak dikenal oleh pemilih.

Tidak mudah bagi pemilih untuk menentukan pilihannya, terutama pilihan terhadap calon legislator yang mayoritas tidak mereka kenal. Tidak mudah pula bagi petugas KPPS, PPK, dan KPUD untuk menyelesaikan penghitungan suara karena yang dihitung bukan hanya perolehan suara parpol tapi juga masing-masing calon legislator.

Electronic voting
Tulisan ini merekomendasikan perbaikan pemungutan dan penghitungan suara. Untuk pemungutan suara, saya terinspirasi oleh pemilu India, yang telah menerapkan electronic voting (e-voting). Penerapan e-voting dapat dipahami untuk pemilu sebesar India, yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia--Indonesia terbesar ketiga setelah Amerika Serikat. Dengan pemilih (eligible voters) lebih dari 700 juta, memang tidak mudah melakukan penghitungan suara bila e-voting tidak diterapkan.

Untuk konteks Indonesia, kendati pemilih “cuma” 170-an juta, pemilu kita lebih kompleks dibanding India. India menerapkan sistem pluralitas-mayoritas dengan varian first past the post (FPTP), sistem pemilu yang paling sederhana di dunia. Sedangkan Indonesia menerapkan proportional representation system (PR system) dengan varian opened-list PR system yang jauh lebih kompleks dari sisi penghitungan suara. Bukan hanya suara parpol yang dihitung, tapi juga suara calon dari setiap parpol. Ditambah dengan banyaknya parpol yang ikut pemilu--hingga 38 parpol--kesulitan pemungutan dan penghitungan suara tersebut bertambah-tambah. Pada titik ini, e-voting makin urgen.

Yang dimaksudkan sebagai e-voting bukanlah online voting. E-voting hanyalah menggantikan fungsi surat suara. Sebelumnya pemilih diberi surat suara dan harus melakukan pencontrengan, sedangkan dengan e-voting mereka hanya datang ke bilik suara dan melakukan “pemencetan”. Di bilik suara akan ada semacam mesin yang menggantikan surat suara. Mereka tinggal memencet parpol dan calon yang tertera di mesin tersebut. Mesin inilah yang kemudian akan dibawa ke KPUD untuk dilakukan rekapitulasi penghitungan suara.

Dengan e-voting, rantai penghitungan suara bisa dipangkas secara signifikan. Penghitungan suara tidak perlu dilakukan di tiap TPS, begitu pula tidak perlu ada penghitungan di PPK. Untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, penghitungan pertama dan terakhir cukup di KPU kabupaten/kota. Untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi, penghitungan pertama dan terakhir cukup dilakukan di KPU provinsi. KPU hanya mengumumkan perolehan yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi tersebut, tanpa melakukan rekapitulasi lagi.

Penghitungan satu kali itu--yang dipraktekkan di Inggris, misalnya--lebih mudah dilakukan bila menerapkan e-voting. Seluruh mesin pemungutan suara tinggal dikumpulkan di KPUD dan dibuka hasilnya serta direkapitulasi di suatu tempat--di Inggris, mereka menggunakan indoor stadium sebagai counting center.

Bagi peserta pemilu, penghitungan satu kali tidak hanya mereduksi secara signifikan potensi kecurangan, tapi juga memperingan ongkos pengawalan suara karena saksi yang dibutuhkan cukup untuk satu tingkat penghitungan. Terlebih bila individu calon legislator juga berkepentingan mengawal suara bila sistem suara terbanyak tetap dipertahankan.

Posibilitas dan tantangan
Ada empat soal yang menyangkut bisa-tidaknya e-voting diterapkan. Pertama, ketersediaan alat yang dimaksudkan. Kedua, ongkos yang dibutuhkan. Ketiga, kemauan politik pembentuk undang-undang. Keempat, penerimaan masyarakat.

Untuk ketersediaan alat, bila di dalam negeri tidak tersedia alat yang dimaksudkan, mungkin bisa diimpor dari India yang jelas-jelas telah mempraktekkannya. Namun, mengingat ini teknologi sederhana, rasanya dan seharusnya tidak sulit untuk diadakan di dalam negeri. Terlebih, berdasarkan informasi yang ada, beberapa daerah sudah pernah mempraktekkan e-voting untuk pemilihan kepala desa.

Mengenai ongkos yang dibutuhkan, e-voting harus lebih murah dibanding cara tradisional. Harus dihitung secara cermat apakah pengadaan mesin bisa lebih memangkas biaya ketimbang mencetak surat suara plus ongkos rekapitulasi yang berjenjang. Secara teoretis, ongkos tersebut seharusnya lebih murah karena banyak yang bisa dipangkas dengan e-voting. Bukan hanya biaya surat suara, tapi juga tenaga manusia yang dibutuhkan untuk mendistribusikan dan melipat surat suara tersebut.

Yang terberat adalah soal kemauan politik DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Problem utamanya adalah soal trust (kepercayaan) dan kebiasaan melihat pemilu sebagai proyek. Penghematan biaya pemilu sering tidak didukung karena berarti banyak yang tidak kebagian proyek lagi. Selain itu, ada soal trust yang tak pernah selesai, yaitu apakah mesin itu bisa dipercaya seratus persen, tidakkah nantinya malah bisa direkayasa. Soal-soal seperti ini seharusnya tidak menghalangi langkah perbaikan pemilu ke depan bila ada niat untuk memperbaiki karut-marut pemilu.

Terakhir, dari sisi masyarakat, perubahan dari mencoblos, lalu mencontreng, dan kemungkinan memencet atau menekan tombol, bisa jadi persoalan, terlebih di daerah-daerah tertentu yang tingkat pendidikannya sangat minim. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah segera menyelesaikan Undang-Undang Pemilu yang baru agar ada waktu untuk sosialisasi. Skenario terbaik, RUU Pemilu diajukan pada 2010 dan disahkan pada 2011, sehingga ada waktu tiga tahun untuk sosialisasi Pemilu 2014. Sebagai langkah awal, e-voting bisa juga diujicobakan dalam pilkada.

E-voting adalah alternatif perbaikan yang perlu didiskusikan lebih lanjut untung-ruginya. Semua pihak yang terlibat dan berkepentingan terhadap pemilu seyogianya secara serius memikirkan langkah perbaikan ke depan. Bila tidak, pemilu di Indonesia akan terus-menerus diwarnai kecurangan, yang pada gilirannya akan menyebabkan pemilu kehilangan makna dan kepercayaan sebagai sarana paling demokratis untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin.***

No comments: