20 July 2009

Menimbang Sistem Campuran

Considering A Mixed System

Published by Indonesian media
Media Indonesia, 24 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform

Tiga kali pemilu pada era Reformasi –Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009—terbilang sukses, terlepas dari segala kekurangan dan kecurangan yang terjadi. Lembaga semacam the Carter Center, misalnya, turut memuji pelaksanaan pemilu-pemilu di era Reformasi. Untuk Pemilu 2009, lembaga yang dibangun oleh mantan Presiden AS Jimmy Carter tersebut menulis dalam situs mereka, “The Carter Center congratulates the people, political parties, and National Election Commission (KPU) of Indonesia on the generally peaceful April 9, 2009, legislative elections, the third since the country's democratic transition from the New Order of former President Soeharto.”

(The Carter Center mengucapkan selamat kepada rakyat Indonesia, partai politik, dan KPU atas terselenggaranya pemilu legislatif 9 April 2009 yang relatif damai, pemilu ketiga sejak transisi demokrasi dari Orde Barunya mantan Presiden Soeharto).

Pujian seperti itu tentu tidak bisa menghilangkan fakta begitu bermasalahnya pemilu-pemilu di era Refomasi. Banyaknya parpol yang bertanding, penerapan sistem pemilu proporsional terbuka yang membingungkan pemilih, penghitungan suara yang lambat dan penuh kecurangan hingga menghadirkan raturan kasus di Mahkamah Konstitusi (MK), terlalu tersentralisasinya pelaksanaan pemilu di tangan KPU hingga membuat lembaga itu kalang-kabut sendiri, kualitas calon terpilih yang meragukan, adalah sebagian soal yang segera membutuhkan jawaban.

Pelaksanaan pemilu seperti ini tidak bisa dipertahankan, harus dilakukan langkah-langkah perbaikan. Salah satunya dengan meninjau ulang sistem pemilu yang ada. Sebagai wacana awal mengubah sistem pemilu, tulisan ini mengajukan sistem pemilu campuran (mixed system) seperti banyak diterapkan negara-negara demokrasi baru di Afrika dan bekas Uni Soviet (www.aceproject.org) untuk menggantikan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak Pemilu 1955. Sistem ini pernah ditawarkan Centre for Electoral Reform (Cetro) menjelang Pemilu 2004, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang memadai saat itu.

Kompromi Dua Ekstrem
Perdebatan tentang sistem pemilu sering bergerak dalam kutub ekstrem. Mereka yang menilai sistem proporsional bermasalah segera tertarik dengan sistem mayoritarian (pluralitas-mayoritas), atau yang secara salah kaprah disebut dengan sistem distrik. Demikian pula sebaliknya. Padahal, baik sistem proporsional maupun sistem distrik tidak sepenuhnya baik dan memang tidak ada sistem pemilu yang sempurna. Setiap sistem pemilu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan bergantung pada kebutuhan di mana sistem itu diterapkan.

Di Indonesia, kebutuhan paling nyata adalah menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel di satu sisi dan penguatan sistem kepartaian di sisi lain, yang pada gilirannya berujung pada penguatan sistem pemerintahan presidensial. Sistem distrik kerap dianggap lebih berdaya untuk menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel, tetapi lemah dalam penguatan sistem kepartaian karena peranan partai menjadi lebih minim. Sistem proporsional dinilai sebaliknya, partai terlalu dominan dan calon kurang mendapatkan insentif untuk berdekat-dekatan dengan konstituen. Bagi mereka, berada di lingkaran elite partai jauh lebih strategis dan menentukan.

Untuk mengompromikan keduanya, Indonesia menerapkan sistem proporsional dengan daftar terbuka sejak Pemilu 2004. Dari segi pelaksanaan, sistem ini ternyata sangat rumit, memunculkan banyak ketidakpastian karena proses atau rantai penghitungan suara yang terlalu panjang dan lama, plus biaya pemilu yang sangat mahal. Dari sisi hasil, ditambah dengan penerapan suara terbanyak, sistem ini hanya menghasilkan calon populer tanpa kejelasan kapasitas dan track record.

Dengan mixed system diharapkan terjembatani masalah popularitas dan kapasitas, termasuk masalah akuntabalitas dan penguatan parpol. Mixed system adalah sistem pemilu yang menerapkan sekaligus sistem proporsional (tertutup) dan sistem distrik. Kursi disediakan melalui dua jalur, jalur distrik dan jalur proporsional. Persentasi kursi kedua jalur tersebut bervariasi di antara negara-negara yang menerapkan sistem ini. Di Lesotho pascakonflik, misalnya, kursi dibagi ke dalam 80 kursi distrik dan 40 kursi proporsional, sementara di Jerman ada 299 masing-masing kursi untuk jalur distrik dan proporsional.

Dengan jumlah kursi DPR sekarang sebanyak 560, dengan mixed system bisa dibuat 280 kursi distrik dan 280 kursi proporsional (fifty-fifty). Nantinya akan ada 280 distrik pemilihan untuk anggota DPR. Setiap distrik hanya merebutkan satu kursi (single member district).

Pemilih akan diberikan satu surat suara yang memuat dua kolom, yaitu kolom lambang parpol (untuk kursi proporsional) dan kolom nama-nama calon (untuk kursi distrik). Bila ada 38 parpol yang ikut pemilu seperti Pemilu 2009, surat suara hanya akan memuat 38 lambang parpol dan maksimal 38 nama calon. Dikatakan maksimal karena setiap parpol hanya boleh mengajukan satu calon untuk setiap kursi distrik, tetapi bisa juga parpol tidak memiliki calon di distrik tertentu. Dengan demikian mudah bagi pemilih untuk mengenal para caleg, terlebih bila parpol yang ikut semakin sedikit.

Pemilih diharuskan memilih parpol dan caleg sekaligus. Caleg yang dipilih tidak harus berasal dari parpol yang dipilih. Bisa jadi pemilih memilih parpol A, tetapi calegnya dari parpol B. Caleg yang mendapatkan suara terbanyak di distrik langsung terpilh karena mendapatkan mandat langsung dari rakyat (the winner takes all).

Untuk kursi proporsional yang berjumlah 280 akan ditentukan berdasarkan proporsi perolehan suara masing-masing parpol. Caleg yang terpilih ditentukan dari daftar yang diajukan parpol seperti Pemilu 1999 atau pemilu-pemilu di era Orde Baru. Mereka nantinya akan disebar ke dapil sehingga satu dapil akan diwakili dua orang, satu dari kursi distrik dan satu dari kursi proporsional. Penyebaran ke dapil terhadap kursi proporsional adalah soal teknis yang bisa dibahas kemudian.

Untuk penyederhanaan parpol, parliamentary threshold (PT) tetap bisa diterapkan. Misalnya, hanya parpol yang memperoleh minimal 3% suara yang berhak atas kursi proporsional. Bila diterapkan pada hasil Pemilu 2009, berarti hanya sembilan parpol yang memperoleh kursi proporsional. Sembilan parpol inilah yang akan terwakili di parlemen dan membentuk fraksi. Calon dari parpol lain yang terpilih melalui kursi distrik tidak dibolehkan membentuk fraksi sendiri. Mereka harus bergabung dengan fraksi yang dibentuk parpol yang lolos PT. Tujuannya tidak lain adalah agar ada penyederhanaan jumlah parpol di parlemen. Secara teoretis, kursi-kursi distrik pun akan dikuasai oleh parpol yang lolos PT sehingga tidak ada urgensinya memberikan hak bagi caleg-caleg yang terpilih dari kursi distrik untuk membentuk fraksi tersendiri.

Dengan mixed system, parpol bisa mengompromikan popularitas dan kualitas caleg. Caleg populer dapat dinominasikan untuk kursi distrik, sedangkan yang berkualitas namun kurang populer dapat dinominasikan untuk kursi proporsional. Intinya, calon tidak boleh dinominasikan untuk kursi distrik dan proporsional sekaligus. Cara ini akan mengompromikan dua kebutuhan DPR, yaitu ada caleg yang memang dikenal konstituennya dan berjuang bagi kepentingan mereka, tetapi ada pula caleg yang memang berkualitas sehingga mampu menjalankan tugas-tugas DPR secara baik di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Tulisan ini baru merupakan lontaran awal. Eksplanasi lebih jauh tentang kelebihan dan juga kekurangan mixed system bisa diberikan dan tentu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, sistem pemilu saat ini, yang menyebabkan inflasi caleg dan kerumitan pelaksanaan pemilu plus calon terpilih yang mengecewakan, tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada terobosan-terobosan brilian untuk memperbaiki keadaan sekarang demi pemilu yang lebih baik di masa datang.***

11 July 2009

Pemilu Pro (Hak) Rakyat

Election Pro People's Rights

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 11 July 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Refrom (Cetro),
Petitioner of Judicial Review

Prosesi Pemilu 2009 bisa dikatakan hampir usai. Pemenangnya sudah bisa ditentukan, karena hasil hitung cepat lembaga survei plus hitung cepat ala KPU mengindikasikan hal yang sama: pasangan SBY-Boediono menang dengan persentase sekitar 60 persen dengan tingkat persebaran di atas 20 persen di semua provinsi. Angka ini cukup melampaui ambang batas konstitusional untuk menjadikan pemilu presiden lebih cepat (selesai) lebih baik, sehingga tidak perlu (di)lanjutkan dengan putaran kedua.

Prosesi pemilu tinggal menunggu hasil penghitungan manual yang akan ditetapkan dalam beberapa hari ke depan, plus pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober 2009. Terlepas dari segala kekurangan dan (barangkali) kecurangan yang ada, Pemilu 2009 makin memperkuat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Penting untuk terus-menerus menggemakan bahwa Indonesia negeri demokratis terbesar ketiga di dunia, karena faktanya banyak orang luar yang tidak tahu. Ketika di India (2006), iseng-iseng saya tanyakan kepada seorang rekan di sana mengenai jumlah penduduk Indonesia. Awalnya, dia menolak menyebut angka karena tidak punya ide apa-apa. "I have no idea," katanya. Namun, ketika saya mendesaknya untuk menebak, dia menyebut jumlah yang membuat dahi berkernyit: seratus ribu! "How could you think like that?" "Indonesia kan negara kecil," katanya. Oh, my God!

Keberhasilan pelaksanaan pemilu di Indonesia, terutama pemilu presiden, bisa jadi akan membuat masyarakat dunia lebih mengenal Indonesia. Pemilu presiden di Indonesia setidaknya tidak seperti di Iran, yang berakhir dengan demonstrasi dan anarki--yang untungnya sudah terselesaikan saat ini. Dalam hari-hari ke depan, mudah-mudahan situasi kondusif ini terpelihara hingga pelantikan presiden terpilih 20 Oktober nanti. Seandainya ada protes atas kecurangan, sebaiknya hal tersebut disalurkan ke instrumen hukum yang ada, dari mekanisme tindak pidana pemilu di pengadilan negeri hingga sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Menyatakan Pemilu 2009 mulus-mulus saja terlalu naif. Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) adalah contoh konkret betapa Pemilu 2009 sarat masalah. Hampir saja pemilu presiden tertunda bila tidak ada putusan MK di injury time yang membolehkan penggunaan KTP dan paspor bagi pemilih yang tidak tercantum dalam DPT. Putusan tersebut menjadi solusi terhadap keinginan menunda pemilu yang kencang disuarakan sejumlah pihak, termasuk pasangan calon.

Kendati demikian, putusan tersebut tetap memunculkan persoalan karena mengandung ketentuan teknis-administratif yang berpotensi menghilangkan hak pemilih, yaitu syarat kartu keluarga (KK) yang mengiringi KTP dan ketentuan hanya memilih di wilayah RW di mana KTP dikeluarkan. Dari pemberitaan media, terbukti banyak warga negara yang akhirnya tidak memilih karena sedang berada di rantau pada hari pencontrengan, atau memang tidak memiliki KTP setempat.

Cara pandang salah
Ada cara pandang yang salah di kalangan penyelenggara negara, mulai DPR, KPU, Bawaslu, hingga MK. Yang dikembangkan adalah perspektif “mencurigai” warga negara, bukan “melindungi” hak warga negara. Cara pandang mereka kurang-lebih begini: bila tidak ada pembatasan, akan ada mobilisasi pemilih, atau mereka yang memiliki lebih dari satu KTP bisa memilih berkali-kali, padahal surat suara terbatas. Lebih dari itu, pemilu akan berlangsung curang karena pada dasarnya setiap warga negara hanya boleh memilih satu kali.

Pertanyaannya: bagaimana dengan warga negara yang berwatak baik, yang ingin menyalurkan haknya hanya satu kali, tapi tidak tercantum dalam DPT dan tidak memiliki KTP setempat? Mereka sudah pasti terhalang untuk memilih. Ketika memantau pelaksanaan pemilu presiden 8 Juli lalu, di salah satu TPS di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, saya menyaksikan seorang warga yang terpaksa gigit jari karena membawa KTP Sumedang, Jawa Barat. Petugas KPPS menyatakan, kalau mau memilih sebaiknya pulang ke Sumedang. Petugas KPPS tersebut tidak salah. MK yang salah karena cara pandang yang mencurigai tadi plus dilanda kekhawatiran yang tak beralasan.

Soal ketersediaan surat suara, dari beberapa TPS yang saya pantau, rata-rata surat suara berlebih. Kelebihannya bahkan mencapai jumlah ratusan. TPS tempat saya memilih di Kebon Jeruk kelebihan sekitar 250 surat suara. Mengenai skenario kelebihan surat suara ini, dalam banyak kesempatan saya menyatakan bahwa kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan. Undang-undang memang menentukan bahwa KPU hanya boleh mencetak 102 persen surat suara dari jumlah DPT yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, tindak pidana yang dapat dihukum penjara dan denda. Namun, jumlah DPT yang 176-an juta tersebut harus dikurangi beberapa hal: pemilih yang sudah meninggal dunia, yang masih aktif sebagai TNI/Polri, yang di bawah umur, dan--yang jumlahnya lebih banyak—yang tercatat dua atau tiga kali. Angka DPT juga harus dikurangi dengan jumlah mereka yang tidak datang ke TPS karena golput.

Angka pengurang kelima komponen ini sudah pasti jutaan. Bila pemilih dengan KTP juga berjumlah jutaan, sesungguhnya akan terjadi keseimbangan yang tidak perlu membuat penyelenggara pemilu khawatir mengenai ketersediaan surat suara. Perihal kemungkinan warga negara memilih berkali-kali karena, misalnya, memiliki lebih dari satu KTP, kekhawatiran itu juga tidak pada tempatnya. Ada tinta pemilu yang pengadaan dan penggunaannya seharusnya bisa menghalangi seseorang memilih lebih dari satu kali. Kalau tidak, buat apa ada tinta pemilu yang menghabiskan miliaran rupiah.

Masalahnya, adanya tinta ini seolah dilupakan oleh KPU, Bawaslu, MK, bahkan publik. Yang terjadi di lapangan kemudian, petugas KPPS tidak benar-benar mencelupkan tangan pemilih di kubangan tinta untuk memastikan bahwa seperempat atau sepertiga jari kelingking kiri tercelup, termasuk kuku, yang tidak mudah terhapus dalam jangka waktu singkat. Bahkan ada petugas KPPS yang hanya menuangkan tinta ke dalam bantalan stempel. Warga yang sudah memilih bukan mencelupkan jari ke botol tinta, melainkan hanya mengoleskan tangannya ke bantalan tersebut, tanpa menyentuh kuku.

Prosesi Pemilu 2009 hampir berakhir dengan pemenang yang telah bisa ditentukan. Bagi kepentingan masa depan, saatnya mulai memikirkan reformasi pemilu. Hal itu bisa dimulai dengan membalik paradigma, dari paradigma “mencurigai” ke paradigma “melayani” hak pemilih. Pemilu harus lebih berorientasi kepada pelayanan hak-hak rakyat karena dalam pemilu inilah rakyat diperhatikan oleh calon wakil atau calon pemimpinnya. Soal-soal teknis-administratif selanjutnya untuk memastikan hak digunakan secara benar (proper) adalah kewajiban negara, terutama penyelenggara pemilu. Pemilu di masa-masa mendatang mudah-mudahan menjadi pemilu yang lebih pro-hak rakyat. Lebih cepat kesadaran ini muncul, lebih baik. Tak perlu kita lanjutkan hal-hal buruk yang muncul selama prosesi Pemilu 2009.***

Menegakkan Hak Pemilih

Struggle for People's Voting Rights

Published by Indonesian media
Kompas, 6 July 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (Cetro), Petitioner of Judicial Review

"If we cannot secure all our rights, let us secure what we can." Thomas Jefferson, 1787

Kata-kata Thomas Jefferson itu pas untuk menggambarkan perjuangan ”setengah” panjang untuk melindungi hak warga negara yang terlalaikan penyelenggara pemilu, yang mencapai titik kulminasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi, Senin (6/7/2009).

Hari ini, semua warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah diharapkan dapat menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan kedua presiden secara langsung dalam sejarah Indonesia.
Tercecer

Yang dapat memilih termasuk mereka yang tercecer tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan. Dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu, diperkirakan jutaan warga negara tidak dapat memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Ada banyak spekulasi mengenai jumlah. Ada yang menyebutkan angka 40 juta, ada yang menyebut angka yang lebih kecil. Namun, jumlah bukan pangkal persoalan. Berapa pun itu, asal dia warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan atau sudah menikah seharusnya dapat memilih.

Negara, melalui penyelenggara pemilu, harus mampu menjamin terpenuhinya hak memilih warga karena—meminjam MK—hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi karena soal-soal teknis administratif.

Faktanya, kendati KPU sudah berlari kencang untuk mendata semua pemilih yang memenuhi syarat (eligible voters) pascakisruh DPT pada pemilihan 9 April, tetap saja masih banyak yang tercecer.

Negara tidak lagi mampu melindungi hak warga negara, maka harus ada yang mau bertindak, persis seperti yang dikatakan Jefferson, ”Bila tidak mampu melindungi semua hak, lindungi saja apa yang kita bisa.”

Judicial review ke MK adalah pilihan logis setelah tuntutan keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi gayung yang tidak bersambut.

Empat jalan
Sebagai peneliti di Centre for Electoral Reform (Cetro), ada empat jalan yang semula saya wacanakan untuk melindungi hak pemilih non-DPT, yaitu revisi terbatas UU Pilpres, perppu, judicial review, dan peraturan KPU. Yang paling aman adalah melakukan revisi terbatas atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Revisi perlu dilakukan karena ada ketentuan dalam UU Pilpres yang memblokade pemilih non-DPT untuk melaksanakan haknya, yaitu Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1).

Kedua ketentuan itu pada dasarnya menyatakan, pemilih yang memenuhi syarat (usia 17 tahun dan/atau sudah kawin) baru dapat memilih bila tercantum dalam daftar pemilih. Daftar pemilih yang dimaksud adalah DPT dan daftar pemilih tambahan.

Masalahnya, kewajiban mendaftar ada pada penyelenggara pemilu, bukan pemilih bersangkutan. Sistem pendaftaran pemilih di Indonesia menganut stelsel pasif. Semua warga yang memenuhi syarat harus didaftar oleh penyelenggara pemilu, suka atau tidak. Amat tidak adil dan mencederai akal sehat saat kelalaian penyelenggara pemilu untuk mendaftar warga negara ditimpakan akibatnya kepada warga negara itu, berupa penghilangan hak untuk memilih.

Mengharapkan DPR mau concern dengan soal hak warga negara melalui revisi undang-undang yang mereka buat agaknya jauh panggang dari api. Itu sebabnya, usul untuk revisi terbatas pasca-Pileg 9 April dibuang jauh-jauh.

Pilihan berikut adalah meminta Presiden mengeluarkan perppu. Cetro telah menggelar konferensi pers 5 Juni 2009 yang meminta Presiden SBY mengeluarkan perppu, yang intinya membolehkan pemilih non-DPT memilih sepanjang menunjukkan identitas yang sah. Sejumlah komponen masyarakat juga menyuarakan soal ini, termasuk Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Presiden bergeming, KPU dan Bawaslu juga tak mau berinisiatif.

Akhirnya jalan ketiga ditempuh, berupa pengajuan judicial review terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1) UU Pilpres. Bersama seorang rekan yang juga tidak bisa memilih pada Pileg 9 April lalu, Maheswara Prabandono, saya bertindak sebagai pemohon. Permohonan diajukan pada 16 Juni, tetapi baru diregistrasi 24 Juni. Ketua MK Mahfud MD malah sempat mewacanakan untuk tidak memproses permohonan itu karena tidak cukup waktu.

Harian Kompas memuat tanggapan saya atas pernyataan Mahfud. Saya katakan, MK tidak profesional. Faktanya MK pernah memutuskan perkara yang diajukan mantan Presiden Abdurrahman hanya dalam waktu tiga hari sejak diajukan menjelang Pilpres 2004. Kritikan itu berbuah karena pada 2 Juli saya menerima telepon panggilan sidang yang akan diadakan 6 Juli.

Cerita selanjutnya telah diketahui publik, MK mengabulkan sebagian tuntutan. Mereka yang non-DPT dapat memilih dengan menunjukkan KTP/paspor.

Masalah
Sayang, putusan itu masih menyisakan masalah. Sebagian saudara kita yang non-DPT tetap tidak bisa memilih. Mereka antara lain mahasiswa perantau, pekerja rantau, atau siapa saja yang masih menggenggam KTP asal. Mereka bisa memilih bila pulang kampung, sesuatu yang mungkin sulit dilakukan untuk pencontrengan.

Akibatnya, putusan MK seperti setengah hati. Lembaga pelindung hak konstitusi warga itu hanya menjebol sebagian dinding blokade karena memiliki perspektif sama dengan unsur negara lainnya: pilpres akan curang bila semua dinding penghalang dijebol.

Maka, hari ini, masih akan ada saudara-saudara kita yang tetap tidak bisa memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Kendati demikian, mereka tetap berhak atas servis dari presiden yang akan ditentukan pemenangnya hari ini oleh kita yang memilih.***