20 July 2009

Menimbang Sistem Campuran

Considering A Mixed System

Published by Indonesian media
Media Indonesia, 24 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform

Tiga kali pemilu pada era Reformasi –Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009—terbilang sukses, terlepas dari segala kekurangan dan kecurangan yang terjadi. Lembaga semacam the Carter Center, misalnya, turut memuji pelaksanaan pemilu-pemilu di era Reformasi. Untuk Pemilu 2009, lembaga yang dibangun oleh mantan Presiden AS Jimmy Carter tersebut menulis dalam situs mereka, “The Carter Center congratulates the people, political parties, and National Election Commission (KPU) of Indonesia on the generally peaceful April 9, 2009, legislative elections, the third since the country's democratic transition from the New Order of former President Soeharto.”

(The Carter Center mengucapkan selamat kepada rakyat Indonesia, partai politik, dan KPU atas terselenggaranya pemilu legislatif 9 April 2009 yang relatif damai, pemilu ketiga sejak transisi demokrasi dari Orde Barunya mantan Presiden Soeharto).

Pujian seperti itu tentu tidak bisa menghilangkan fakta begitu bermasalahnya pemilu-pemilu di era Refomasi. Banyaknya parpol yang bertanding, penerapan sistem pemilu proporsional terbuka yang membingungkan pemilih, penghitungan suara yang lambat dan penuh kecurangan hingga menghadirkan raturan kasus di Mahkamah Konstitusi (MK), terlalu tersentralisasinya pelaksanaan pemilu di tangan KPU hingga membuat lembaga itu kalang-kabut sendiri, kualitas calon terpilih yang meragukan, adalah sebagian soal yang segera membutuhkan jawaban.

Pelaksanaan pemilu seperti ini tidak bisa dipertahankan, harus dilakukan langkah-langkah perbaikan. Salah satunya dengan meninjau ulang sistem pemilu yang ada. Sebagai wacana awal mengubah sistem pemilu, tulisan ini mengajukan sistem pemilu campuran (mixed system) seperti banyak diterapkan negara-negara demokrasi baru di Afrika dan bekas Uni Soviet (www.aceproject.org) untuk menggantikan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak Pemilu 1955. Sistem ini pernah ditawarkan Centre for Electoral Reform (Cetro) menjelang Pemilu 2004, tetapi tidak mendapatkan tanggapan yang memadai saat itu.

Kompromi Dua Ekstrem
Perdebatan tentang sistem pemilu sering bergerak dalam kutub ekstrem. Mereka yang menilai sistem proporsional bermasalah segera tertarik dengan sistem mayoritarian (pluralitas-mayoritas), atau yang secara salah kaprah disebut dengan sistem distrik. Demikian pula sebaliknya. Padahal, baik sistem proporsional maupun sistem distrik tidak sepenuhnya baik dan memang tidak ada sistem pemilu yang sempurna. Setiap sistem pemilu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan bergantung pada kebutuhan di mana sistem itu diterapkan.

Di Indonesia, kebutuhan paling nyata adalah menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel di satu sisi dan penguatan sistem kepartaian di sisi lain, yang pada gilirannya berujung pada penguatan sistem pemerintahan presidensial. Sistem distrik kerap dianggap lebih berdaya untuk menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel, tetapi lemah dalam penguatan sistem kepartaian karena peranan partai menjadi lebih minim. Sistem proporsional dinilai sebaliknya, partai terlalu dominan dan calon kurang mendapatkan insentif untuk berdekat-dekatan dengan konstituen. Bagi mereka, berada di lingkaran elite partai jauh lebih strategis dan menentukan.

Untuk mengompromikan keduanya, Indonesia menerapkan sistem proporsional dengan daftar terbuka sejak Pemilu 2004. Dari segi pelaksanaan, sistem ini ternyata sangat rumit, memunculkan banyak ketidakpastian karena proses atau rantai penghitungan suara yang terlalu panjang dan lama, plus biaya pemilu yang sangat mahal. Dari sisi hasil, ditambah dengan penerapan suara terbanyak, sistem ini hanya menghasilkan calon populer tanpa kejelasan kapasitas dan track record.

Dengan mixed system diharapkan terjembatani masalah popularitas dan kapasitas, termasuk masalah akuntabalitas dan penguatan parpol. Mixed system adalah sistem pemilu yang menerapkan sekaligus sistem proporsional (tertutup) dan sistem distrik. Kursi disediakan melalui dua jalur, jalur distrik dan jalur proporsional. Persentasi kursi kedua jalur tersebut bervariasi di antara negara-negara yang menerapkan sistem ini. Di Lesotho pascakonflik, misalnya, kursi dibagi ke dalam 80 kursi distrik dan 40 kursi proporsional, sementara di Jerman ada 299 masing-masing kursi untuk jalur distrik dan proporsional.

Dengan jumlah kursi DPR sekarang sebanyak 560, dengan mixed system bisa dibuat 280 kursi distrik dan 280 kursi proporsional (fifty-fifty). Nantinya akan ada 280 distrik pemilihan untuk anggota DPR. Setiap distrik hanya merebutkan satu kursi (single member district).

Pemilih akan diberikan satu surat suara yang memuat dua kolom, yaitu kolom lambang parpol (untuk kursi proporsional) dan kolom nama-nama calon (untuk kursi distrik). Bila ada 38 parpol yang ikut pemilu seperti Pemilu 2009, surat suara hanya akan memuat 38 lambang parpol dan maksimal 38 nama calon. Dikatakan maksimal karena setiap parpol hanya boleh mengajukan satu calon untuk setiap kursi distrik, tetapi bisa juga parpol tidak memiliki calon di distrik tertentu. Dengan demikian mudah bagi pemilih untuk mengenal para caleg, terlebih bila parpol yang ikut semakin sedikit.

Pemilih diharuskan memilih parpol dan caleg sekaligus. Caleg yang dipilih tidak harus berasal dari parpol yang dipilih. Bisa jadi pemilih memilih parpol A, tetapi calegnya dari parpol B. Caleg yang mendapatkan suara terbanyak di distrik langsung terpilh karena mendapatkan mandat langsung dari rakyat (the winner takes all).

Untuk kursi proporsional yang berjumlah 280 akan ditentukan berdasarkan proporsi perolehan suara masing-masing parpol. Caleg yang terpilih ditentukan dari daftar yang diajukan parpol seperti Pemilu 1999 atau pemilu-pemilu di era Orde Baru. Mereka nantinya akan disebar ke dapil sehingga satu dapil akan diwakili dua orang, satu dari kursi distrik dan satu dari kursi proporsional. Penyebaran ke dapil terhadap kursi proporsional adalah soal teknis yang bisa dibahas kemudian.

Untuk penyederhanaan parpol, parliamentary threshold (PT) tetap bisa diterapkan. Misalnya, hanya parpol yang memperoleh minimal 3% suara yang berhak atas kursi proporsional. Bila diterapkan pada hasil Pemilu 2009, berarti hanya sembilan parpol yang memperoleh kursi proporsional. Sembilan parpol inilah yang akan terwakili di parlemen dan membentuk fraksi. Calon dari parpol lain yang terpilih melalui kursi distrik tidak dibolehkan membentuk fraksi sendiri. Mereka harus bergabung dengan fraksi yang dibentuk parpol yang lolos PT. Tujuannya tidak lain adalah agar ada penyederhanaan jumlah parpol di parlemen. Secara teoretis, kursi-kursi distrik pun akan dikuasai oleh parpol yang lolos PT sehingga tidak ada urgensinya memberikan hak bagi caleg-caleg yang terpilih dari kursi distrik untuk membentuk fraksi tersendiri.

Dengan mixed system, parpol bisa mengompromikan popularitas dan kualitas caleg. Caleg populer dapat dinominasikan untuk kursi distrik, sedangkan yang berkualitas namun kurang populer dapat dinominasikan untuk kursi proporsional. Intinya, calon tidak boleh dinominasikan untuk kursi distrik dan proporsional sekaligus. Cara ini akan mengompromikan dua kebutuhan DPR, yaitu ada caleg yang memang dikenal konstituennya dan berjuang bagi kepentingan mereka, tetapi ada pula caleg yang memang berkualitas sehingga mampu menjalankan tugas-tugas DPR secara baik di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Tulisan ini baru merupakan lontaran awal. Eksplanasi lebih jauh tentang kelebihan dan juga kekurangan mixed system bisa diberikan dan tentu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, sistem pemilu saat ini, yang menyebabkan inflasi caleg dan kerumitan pelaksanaan pemilu plus calon terpilih yang mengecewakan, tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada terobosan-terobosan brilian untuk memperbaiki keadaan sekarang demi pemilu yang lebih baik di masa datang.***

11 July 2009

Pemilu Pro (Hak) Rakyat

Election Pro People's Rights

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 11 July 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Refrom (Cetro),
Petitioner of Judicial Review

Prosesi Pemilu 2009 bisa dikatakan hampir usai. Pemenangnya sudah bisa ditentukan, karena hasil hitung cepat lembaga survei plus hitung cepat ala KPU mengindikasikan hal yang sama: pasangan SBY-Boediono menang dengan persentase sekitar 60 persen dengan tingkat persebaran di atas 20 persen di semua provinsi. Angka ini cukup melampaui ambang batas konstitusional untuk menjadikan pemilu presiden lebih cepat (selesai) lebih baik, sehingga tidak perlu (di)lanjutkan dengan putaran kedua.

Prosesi pemilu tinggal menunggu hasil penghitungan manual yang akan ditetapkan dalam beberapa hari ke depan, plus pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober 2009. Terlepas dari segala kekurangan dan (barangkali) kecurangan yang ada, Pemilu 2009 makin memperkuat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Penting untuk terus-menerus menggemakan bahwa Indonesia negeri demokratis terbesar ketiga di dunia, karena faktanya banyak orang luar yang tidak tahu. Ketika di India (2006), iseng-iseng saya tanyakan kepada seorang rekan di sana mengenai jumlah penduduk Indonesia. Awalnya, dia menolak menyebut angka karena tidak punya ide apa-apa. "I have no idea," katanya. Namun, ketika saya mendesaknya untuk menebak, dia menyebut jumlah yang membuat dahi berkernyit: seratus ribu! "How could you think like that?" "Indonesia kan negara kecil," katanya. Oh, my God!

Keberhasilan pelaksanaan pemilu di Indonesia, terutama pemilu presiden, bisa jadi akan membuat masyarakat dunia lebih mengenal Indonesia. Pemilu presiden di Indonesia setidaknya tidak seperti di Iran, yang berakhir dengan demonstrasi dan anarki--yang untungnya sudah terselesaikan saat ini. Dalam hari-hari ke depan, mudah-mudahan situasi kondusif ini terpelihara hingga pelantikan presiden terpilih 20 Oktober nanti. Seandainya ada protes atas kecurangan, sebaiknya hal tersebut disalurkan ke instrumen hukum yang ada, dari mekanisme tindak pidana pemilu di pengadilan negeri hingga sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Menyatakan Pemilu 2009 mulus-mulus saja terlalu naif. Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) adalah contoh konkret betapa Pemilu 2009 sarat masalah. Hampir saja pemilu presiden tertunda bila tidak ada putusan MK di injury time yang membolehkan penggunaan KTP dan paspor bagi pemilih yang tidak tercantum dalam DPT. Putusan tersebut menjadi solusi terhadap keinginan menunda pemilu yang kencang disuarakan sejumlah pihak, termasuk pasangan calon.

Kendati demikian, putusan tersebut tetap memunculkan persoalan karena mengandung ketentuan teknis-administratif yang berpotensi menghilangkan hak pemilih, yaitu syarat kartu keluarga (KK) yang mengiringi KTP dan ketentuan hanya memilih di wilayah RW di mana KTP dikeluarkan. Dari pemberitaan media, terbukti banyak warga negara yang akhirnya tidak memilih karena sedang berada di rantau pada hari pencontrengan, atau memang tidak memiliki KTP setempat.

Cara pandang salah
Ada cara pandang yang salah di kalangan penyelenggara negara, mulai DPR, KPU, Bawaslu, hingga MK. Yang dikembangkan adalah perspektif “mencurigai” warga negara, bukan “melindungi” hak warga negara. Cara pandang mereka kurang-lebih begini: bila tidak ada pembatasan, akan ada mobilisasi pemilih, atau mereka yang memiliki lebih dari satu KTP bisa memilih berkali-kali, padahal surat suara terbatas. Lebih dari itu, pemilu akan berlangsung curang karena pada dasarnya setiap warga negara hanya boleh memilih satu kali.

Pertanyaannya: bagaimana dengan warga negara yang berwatak baik, yang ingin menyalurkan haknya hanya satu kali, tapi tidak tercantum dalam DPT dan tidak memiliki KTP setempat? Mereka sudah pasti terhalang untuk memilih. Ketika memantau pelaksanaan pemilu presiden 8 Juli lalu, di salah satu TPS di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, saya menyaksikan seorang warga yang terpaksa gigit jari karena membawa KTP Sumedang, Jawa Barat. Petugas KPPS menyatakan, kalau mau memilih sebaiknya pulang ke Sumedang. Petugas KPPS tersebut tidak salah. MK yang salah karena cara pandang yang mencurigai tadi plus dilanda kekhawatiran yang tak beralasan.

Soal ketersediaan surat suara, dari beberapa TPS yang saya pantau, rata-rata surat suara berlebih. Kelebihannya bahkan mencapai jumlah ratusan. TPS tempat saya memilih di Kebon Jeruk kelebihan sekitar 250 surat suara. Mengenai skenario kelebihan surat suara ini, dalam banyak kesempatan saya menyatakan bahwa kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan. Undang-undang memang menentukan bahwa KPU hanya boleh mencetak 102 persen surat suara dari jumlah DPT yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, tindak pidana yang dapat dihukum penjara dan denda. Namun, jumlah DPT yang 176-an juta tersebut harus dikurangi beberapa hal: pemilih yang sudah meninggal dunia, yang masih aktif sebagai TNI/Polri, yang di bawah umur, dan--yang jumlahnya lebih banyak—yang tercatat dua atau tiga kali. Angka DPT juga harus dikurangi dengan jumlah mereka yang tidak datang ke TPS karena golput.

Angka pengurang kelima komponen ini sudah pasti jutaan. Bila pemilih dengan KTP juga berjumlah jutaan, sesungguhnya akan terjadi keseimbangan yang tidak perlu membuat penyelenggara pemilu khawatir mengenai ketersediaan surat suara. Perihal kemungkinan warga negara memilih berkali-kali karena, misalnya, memiliki lebih dari satu KTP, kekhawatiran itu juga tidak pada tempatnya. Ada tinta pemilu yang pengadaan dan penggunaannya seharusnya bisa menghalangi seseorang memilih lebih dari satu kali. Kalau tidak, buat apa ada tinta pemilu yang menghabiskan miliaran rupiah.

Masalahnya, adanya tinta ini seolah dilupakan oleh KPU, Bawaslu, MK, bahkan publik. Yang terjadi di lapangan kemudian, petugas KPPS tidak benar-benar mencelupkan tangan pemilih di kubangan tinta untuk memastikan bahwa seperempat atau sepertiga jari kelingking kiri tercelup, termasuk kuku, yang tidak mudah terhapus dalam jangka waktu singkat. Bahkan ada petugas KPPS yang hanya menuangkan tinta ke dalam bantalan stempel. Warga yang sudah memilih bukan mencelupkan jari ke botol tinta, melainkan hanya mengoleskan tangannya ke bantalan tersebut, tanpa menyentuh kuku.

Prosesi Pemilu 2009 hampir berakhir dengan pemenang yang telah bisa ditentukan. Bagi kepentingan masa depan, saatnya mulai memikirkan reformasi pemilu. Hal itu bisa dimulai dengan membalik paradigma, dari paradigma “mencurigai” ke paradigma “melayani” hak pemilih. Pemilu harus lebih berorientasi kepada pelayanan hak-hak rakyat karena dalam pemilu inilah rakyat diperhatikan oleh calon wakil atau calon pemimpinnya. Soal-soal teknis-administratif selanjutnya untuk memastikan hak digunakan secara benar (proper) adalah kewajiban negara, terutama penyelenggara pemilu. Pemilu di masa-masa mendatang mudah-mudahan menjadi pemilu yang lebih pro-hak rakyat. Lebih cepat kesadaran ini muncul, lebih baik. Tak perlu kita lanjutkan hal-hal buruk yang muncul selama prosesi Pemilu 2009.***

Menegakkan Hak Pemilih

Struggle for People's Voting Rights

Published by Indonesian media
Kompas, 6 July 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (Cetro), Petitioner of Judicial Review

"If we cannot secure all our rights, let us secure what we can." Thomas Jefferson, 1787

Kata-kata Thomas Jefferson itu pas untuk menggambarkan perjuangan ”setengah” panjang untuk melindungi hak warga negara yang terlalaikan penyelenggara pemilu, yang mencapai titik kulminasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi, Senin (6/7/2009).

Hari ini, semua warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah diharapkan dapat menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan kedua presiden secara langsung dalam sejarah Indonesia.
Tercecer

Yang dapat memilih termasuk mereka yang tercecer tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan. Dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu, diperkirakan jutaan warga negara tidak dapat memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Ada banyak spekulasi mengenai jumlah. Ada yang menyebutkan angka 40 juta, ada yang menyebut angka yang lebih kecil. Namun, jumlah bukan pangkal persoalan. Berapa pun itu, asal dia warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan atau sudah menikah seharusnya dapat memilih.

Negara, melalui penyelenggara pemilu, harus mampu menjamin terpenuhinya hak memilih warga karena—meminjam MK—hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi karena soal-soal teknis administratif.

Faktanya, kendati KPU sudah berlari kencang untuk mendata semua pemilih yang memenuhi syarat (eligible voters) pascakisruh DPT pada pemilihan 9 April, tetap saja masih banyak yang tercecer.

Negara tidak lagi mampu melindungi hak warga negara, maka harus ada yang mau bertindak, persis seperti yang dikatakan Jefferson, ”Bila tidak mampu melindungi semua hak, lindungi saja apa yang kita bisa.”

Judicial review ke MK adalah pilihan logis setelah tuntutan keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi gayung yang tidak bersambut.

Empat jalan
Sebagai peneliti di Centre for Electoral Reform (Cetro), ada empat jalan yang semula saya wacanakan untuk melindungi hak pemilih non-DPT, yaitu revisi terbatas UU Pilpres, perppu, judicial review, dan peraturan KPU. Yang paling aman adalah melakukan revisi terbatas atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Revisi perlu dilakukan karena ada ketentuan dalam UU Pilpres yang memblokade pemilih non-DPT untuk melaksanakan haknya, yaitu Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1).

Kedua ketentuan itu pada dasarnya menyatakan, pemilih yang memenuhi syarat (usia 17 tahun dan/atau sudah kawin) baru dapat memilih bila tercantum dalam daftar pemilih. Daftar pemilih yang dimaksud adalah DPT dan daftar pemilih tambahan.

Masalahnya, kewajiban mendaftar ada pada penyelenggara pemilu, bukan pemilih bersangkutan. Sistem pendaftaran pemilih di Indonesia menganut stelsel pasif. Semua warga yang memenuhi syarat harus didaftar oleh penyelenggara pemilu, suka atau tidak. Amat tidak adil dan mencederai akal sehat saat kelalaian penyelenggara pemilu untuk mendaftar warga negara ditimpakan akibatnya kepada warga negara itu, berupa penghilangan hak untuk memilih.

Mengharapkan DPR mau concern dengan soal hak warga negara melalui revisi undang-undang yang mereka buat agaknya jauh panggang dari api. Itu sebabnya, usul untuk revisi terbatas pasca-Pileg 9 April dibuang jauh-jauh.

Pilihan berikut adalah meminta Presiden mengeluarkan perppu. Cetro telah menggelar konferensi pers 5 Juni 2009 yang meminta Presiden SBY mengeluarkan perppu, yang intinya membolehkan pemilih non-DPT memilih sepanjang menunjukkan identitas yang sah. Sejumlah komponen masyarakat juga menyuarakan soal ini, termasuk Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Presiden bergeming, KPU dan Bawaslu juga tak mau berinisiatif.

Akhirnya jalan ketiga ditempuh, berupa pengajuan judicial review terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1) UU Pilpres. Bersama seorang rekan yang juga tidak bisa memilih pada Pileg 9 April lalu, Maheswara Prabandono, saya bertindak sebagai pemohon. Permohonan diajukan pada 16 Juni, tetapi baru diregistrasi 24 Juni. Ketua MK Mahfud MD malah sempat mewacanakan untuk tidak memproses permohonan itu karena tidak cukup waktu.

Harian Kompas memuat tanggapan saya atas pernyataan Mahfud. Saya katakan, MK tidak profesional. Faktanya MK pernah memutuskan perkara yang diajukan mantan Presiden Abdurrahman hanya dalam waktu tiga hari sejak diajukan menjelang Pilpres 2004. Kritikan itu berbuah karena pada 2 Juli saya menerima telepon panggilan sidang yang akan diadakan 6 Juli.

Cerita selanjutnya telah diketahui publik, MK mengabulkan sebagian tuntutan. Mereka yang non-DPT dapat memilih dengan menunjukkan KTP/paspor.

Masalah
Sayang, putusan itu masih menyisakan masalah. Sebagian saudara kita yang non-DPT tetap tidak bisa memilih. Mereka antara lain mahasiswa perantau, pekerja rantau, atau siapa saja yang masih menggenggam KTP asal. Mereka bisa memilih bila pulang kampung, sesuatu yang mungkin sulit dilakukan untuk pencontrengan.

Akibatnya, putusan MK seperti setengah hati. Lembaga pelindung hak konstitusi warga itu hanya menjebol sebagian dinding blokade karena memiliki perspektif sama dengan unsur negara lainnya: pilpres akan curang bila semua dinding penghalang dijebol.

Maka, hari ini, masih akan ada saudara-saudara kita yang tetap tidak bisa memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Kendati demikian, mereka tetap berhak atas servis dari presiden yang akan ditentukan pemenangnya hari ini oleh kita yang memilih.***

Mari Berpesta Hari Ini

Lets Have the Party in Today's Election


Refly Harun

Constitutional Law Expert and Election Observer, Centre for Electoral Reform (Cetro)

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 8 July 2009

Hari ini, 8 Juli 2009, lebih dari seratus tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan menunaikan haknya dalam pemilihan presiden secara langsung.

Tiga pasang kandidat saling bersaing untuk merebut kepemimpinan politik lima tahun ke depan: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto.Siapa pun yang menang, mereka akan menjadi presiden kita, presiden Indonesia, bukan hanya presiden pendukung, apalagi tim sukses. Pemungutan suara hari ini terasa lebih spesial karena ada kado istimewa dari Mahkamah Konstitusi (MK), berupa putusan yang membolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilihan tambahan untuk menggunakan haknya dengan menunjukkan KTP atau paspor.

Putusan yang dibacakan pada sidang 6 Juli lalu itu diperkirakan dapat menyelamatkan jutaan warga yang tadinya bakal kehilangan hak memilih, yang jumlahnya tidak sedikit—bahkan ada yang menyebut hingga 49 juta. Putusan MK itu lebih bernilai bila warga negara berduyun-duyun ke tempat pemungutan suara (TPS) yang akan dibuka pada pukul 8–13.00. Khusus kepada pemilih non-DPT, giliran mereka memilih baru pukul 12.00 hingga TPS ditutup pada pukul 13.00.

Di antara kita, tentu ada yang skeptis terhadap prosesi bernama pemilu. Mereka menilai pemilu tidak menghasilkan apa-apa, kecuali hiruk-pikuk yang tak berkesudahan dan perpecahan di mana-mana. Terhadap pendapat demikian, kita tetap harus menghormati. Di alam demokrasi ini, memilih atau tidak memilih dalam pemilu adalah hak, belum dikonstruksikan sebagai kewajiban sebagaimana di Australia.

Putusan MK baru sebatas melindungi hak bagi warga non-DPT, tetapi soal penggunaan terpulang pada pemilih sendiri. Namun alangkah baiknya bila kita memberi makna atas putusan tersebut dengan datang ke TPS, menentukan pilihan terhadap satu dari tiga calon yang ada,siapa pun dia.

Tradisi Gentleman
Seperti halnya pemilu legislatif yang diselenggarakan pada 9 April lalu, pemenang pemilu kali ini pun pasti sudah bisa ditentukan, bahkan jauh lebih mudah dan cepat karena hanya menyangkut perkara tiga pasang calon yang namanya tertera di kertas suara (ballot paper).

Alangkah indahnya bila yang menang dan yang kalah tetap dapat bertegur sapa. Ketika kalah dalam pemilihan presiden AS 2008, John McCain segera menelepon Barrack Obama yang baru ditahbiskan sebagai pemenang. Di depan pendukungnya pada malam setelah pemungutan suara, McCain berujar, “I wish godspeed to the man who was my former opponent and will be my president.” (Saya mendoakan segala kebaikan kepada mantan pesaing dan yang akan menjadi presiden saya).

Dilanjutkan lagi McCain, ”These are difficult times for our country. And I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face.” (Saat ini adalah masa-masa yang sulit bagi negara kita. Dan saja berjanji kepadanya malam ini untuk mencurahkan segenap upaya dalam membantunya memimpin kita keluar dari tantangan yang kita hadapi).

Penghargaan yang sama juga keluar dari mulut Obama terhadap McCain. “I just received a very gracious call from Senator McCain. He fought long and hard in this campaign, and he’s fought even longer and harder for the country he loves. He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine,…”(Saya baru saja mendapat telepon yang bersahabat dari Senator McCain.Dia berjuang keras dalam kampanye ini.

Dia bahkan telah berjuang lebih lama dan lebih keras bagi negara yang dia cintai. Dia telah berkorban untuk Amerika yang sebagian besar dari kita membayangkannya pun tidak). Sayangnya, tradisi politik Indonesia jauh dari sikap gentleman. Mereka yang kalah dengan begitu mudahnya menyatakan bahwa pemilu curang. Tidak pernah ada sikap yang mau mengakui kemenangan lawan. Sore setelah TPS ditutup pada pukul 13.00, rakyat kembali akan menyaksikan apakah tradisi politik tersebut telah berubah.

Apakah yang kalah akan menelepon pemenang dan mengucapkan selamat atas kemenangannya, ataukah buru-buru menyatakan pemilu berlangsung curang dan penuh rekayasa sang pemenang. Jawabannya tidak butuh lama, cukup beberapa jam setelah TPS ditutup pada pukul 13.00 hari ini.

Tugas Bersama
Kecurangan dalam bahasa sang pecundang bisa jadi dipicu oleh titik krusial tertentu, salah satunya putusan MK.Kendati putusan tersebut disambut dengan sukacita oleh banyak warga, termasuk oleh kandidat sendiri, bisa jadi justru akan menjadi sasaran tembak kalau pelaksanaannya tidak dikawal dengan baik.

Mereka yang merasa memiliki KTP tiba-tiba merasa berhak untuk memilih berkali-kali dengan identitas yang mereka miliki. Bisa jadi di lapangan banyak yang tidak peduli bahwa putusan MK membatasi pemilik KTP untuk memilih di wilayah RT/RW di mana KTP tersebut dikeluarkan, tidak di sembarang tempat. Mereka tetap memaksa untuk memilih dan bila tidak diizinkan akan memunculkan protes yang akhirnya akan mencederai prosesi Pilpres 2009.

Saya sendiri sebenarnya menyesalkan putusan MK tersebut yang masih setengah hati. Filosofi putusan kurang bisa dicerna nalar yang sehat. Di satu sisi, MK menyatakan bahwa hak memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dihilangkan hanya karena persoalan teknis-administratif. Di sisi lain, masih membuat pembatasan tertentu yang berpotensi menghilangkan hak memilih warga negara yang kebetulan sedang berada jauh di luar wilayah KTP yang dia punyai.

Masalah yang tidak kalah krusialnya adalah sampainya informasi ke publik dan petugas KPPS akan putusan MK.KPU harus betul-betul memastikan bahwa informasi tersebut sampai ke jajaran pelaksana pemilu di tingkat bawah, selain kepada pemilih.Komunikasi harus terus dijaga hingga hari ini ketika lebih dari seratus juta warga akan memilih.Tugas KPU menjadi jauh lebih ringan karena sejak putusan dibacakan, secara terus-menerus media massa memberitakan.

Selain KPU dan jajarannya, komponen yang tidak kalah penting adalah Bawaslu dan jajarannya. Pengawasan pemilu harus berjalan dengan baik di semua tingkatan. Tidak ada alasan bila pengawasan lebih buruk karena faktanya pilpres jauh lebih sederhana dibanding pemilihan legislatif.Adanya pengawas lapangan sejak Pemilu 2009 sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pengawasan.

Bila pengawasan masih lemah juga, tentu menjadi pertanyaan besar di kemudian hari untuk mempertahankan eksistensi para pengawas pemilu, yang di banyak negara bahkan tidak dibutuhkan. Yang tak juga kalah pentingnya adalah peran saksi-saksi dari pasangan calon. Pemilihan anggota legislatif pasti tidak sama dengan pemilihan presiden. Dalam pemilihan anggota legislatif, bisa jadi kandidat tidak punya saksi yang memadai sehingga tidak berdaya apa-apa ketika suara yang didapat dicurangi, baik oleh pesaing dari partai lain maupun rekan dari partai sendiri.

Fenomena yang jamak dalam pemilihan anggota legislatif adalah seringnya kecurangan terjadi bukan antarparpol, melainkan antarcaleg dari parpol yang sama atau berbeda. Pasangan capres seharusnya memiliki saksi di semua TPS. Tidak ada gunanya iklan puluhan miliar yang telah digelontorkan bila suara tidak dikawal, bila mereka tidak menghadirkan saksi di setiap TPS. Dalam alam demokrasi seperti saat ini, rasanya agak mustahil bila ada satu kekuatan yang bisa menentukan hasil pemilihan. Yang ada adalah mental jelek kandidat untuk mencari kambing hitam bila hasil pemilu tidak memuaskannya.

Hari ini, lebih dari seratus juta warga akan memilih.Mereka yang memilih tersebut tentu ingin menyaksikan Pilpres 2009 berakhir indah. Pemilu dan pilpres sejatinya adalah pesta, pesta rakyat. Karena itu, marilah kita berpesta hari ini dengan mendatangi TPS-TPS sekaligus menyaksikan penghitungan suara.(*)

Menggagas E-Voting

To Propose E-Voting

Published by Indonesian media
Koran Tempo, 11 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Inilah ilustrasi pemilu kita. Pemungutan suara dilakukan pada 9 April 2009. Hasilnya baru diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) satu bulan kemudian pada 9 Mei 2009, waktu maksimal yang disediakan undang-undang. Itu pun masih menyisakan masalah di Nias Selatan, yang hasil pemilunya tak bisa ditetapkan hingga tenggat akhir penetapan hasil pemilu secara nasional oleh KPU terlampaui. KPU menetapkan suara pemilu anggota DPR minus Nias Selatan, yang membuat Badan Pengawas Pemilu meradang, menganggap bahwa penetapan tersebut tidak sah.

Masalah selesai? Tidak. Masih ada hampir 700 sengketa hasil pemilu yang dibagi dalam 69 berkas perkara yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga pertengahan Juni, MK akan menyidangkan ratusan perkara tersebut, yang jumlah persisnya pun tidak diketahui karena saking banyaknya kasus yang masuk. Putusan MK yang mengabulkan permohonan akan mengubah perolehan suara yang telah ditetapkan pada 9 Mei lalu.

Ketidakpastian pemilu berlangsung sangat lama. Yang paling memprihatinkan, apa yang ditetapkan KPU bisa jadi tak semuanya mencerminkan pilihan rakyat. Suara yang ditetapkan KPU bisa jadi merupakan suara yang telah direkayasa. Terlebih penetapan calon anggota legislatif terpilih menggunakan mekanisme suara terbanyak. Satu suara bisa sangat menentukan kursi teraih atau melayang.

Semua karut-marut ini antara lain disebabkan oleh proses pemungutan suara dan penghitungan suara yang rumit, berbelit, dan berjenjang, sehingga berpotensi terjadi kecurangan. Rumit, karena pemilu legislatif 9 April memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sekaligus. Banyak parpol yang bertanding dan terlalu banyak calon legislator yang tercantum dalam surat suara. Mayoritas calon tersebut tidak dikenal oleh pemilih.

Tidak mudah bagi pemilih untuk menentukan pilihannya, terutama pilihan terhadap calon legislator yang mayoritas tidak mereka kenal. Tidak mudah pula bagi petugas KPPS, PPK, dan KPUD untuk menyelesaikan penghitungan suara karena yang dihitung bukan hanya perolehan suara parpol tapi juga masing-masing calon legislator.

Electronic voting
Tulisan ini merekomendasikan perbaikan pemungutan dan penghitungan suara. Untuk pemungutan suara, saya terinspirasi oleh pemilu India, yang telah menerapkan electronic voting (e-voting). Penerapan e-voting dapat dipahami untuk pemilu sebesar India, yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia--Indonesia terbesar ketiga setelah Amerika Serikat. Dengan pemilih (eligible voters) lebih dari 700 juta, memang tidak mudah melakukan penghitungan suara bila e-voting tidak diterapkan.

Untuk konteks Indonesia, kendati pemilih “cuma” 170-an juta, pemilu kita lebih kompleks dibanding India. India menerapkan sistem pluralitas-mayoritas dengan varian first past the post (FPTP), sistem pemilu yang paling sederhana di dunia. Sedangkan Indonesia menerapkan proportional representation system (PR system) dengan varian opened-list PR system yang jauh lebih kompleks dari sisi penghitungan suara. Bukan hanya suara parpol yang dihitung, tapi juga suara calon dari setiap parpol. Ditambah dengan banyaknya parpol yang ikut pemilu--hingga 38 parpol--kesulitan pemungutan dan penghitungan suara tersebut bertambah-tambah. Pada titik ini, e-voting makin urgen.

Yang dimaksudkan sebagai e-voting bukanlah online voting. E-voting hanyalah menggantikan fungsi surat suara. Sebelumnya pemilih diberi surat suara dan harus melakukan pencontrengan, sedangkan dengan e-voting mereka hanya datang ke bilik suara dan melakukan “pemencetan”. Di bilik suara akan ada semacam mesin yang menggantikan surat suara. Mereka tinggal memencet parpol dan calon yang tertera di mesin tersebut. Mesin inilah yang kemudian akan dibawa ke KPUD untuk dilakukan rekapitulasi penghitungan suara.

Dengan e-voting, rantai penghitungan suara bisa dipangkas secara signifikan. Penghitungan suara tidak perlu dilakukan di tiap TPS, begitu pula tidak perlu ada penghitungan di PPK. Untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota, penghitungan pertama dan terakhir cukup di KPU kabupaten/kota. Untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi, penghitungan pertama dan terakhir cukup dilakukan di KPU provinsi. KPU hanya mengumumkan perolehan yang telah ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi tersebut, tanpa melakukan rekapitulasi lagi.

Penghitungan satu kali itu--yang dipraktekkan di Inggris, misalnya--lebih mudah dilakukan bila menerapkan e-voting. Seluruh mesin pemungutan suara tinggal dikumpulkan di KPUD dan dibuka hasilnya serta direkapitulasi di suatu tempat--di Inggris, mereka menggunakan indoor stadium sebagai counting center.

Bagi peserta pemilu, penghitungan satu kali tidak hanya mereduksi secara signifikan potensi kecurangan, tapi juga memperingan ongkos pengawalan suara karena saksi yang dibutuhkan cukup untuk satu tingkat penghitungan. Terlebih bila individu calon legislator juga berkepentingan mengawal suara bila sistem suara terbanyak tetap dipertahankan.

Posibilitas dan tantangan
Ada empat soal yang menyangkut bisa-tidaknya e-voting diterapkan. Pertama, ketersediaan alat yang dimaksudkan. Kedua, ongkos yang dibutuhkan. Ketiga, kemauan politik pembentuk undang-undang. Keempat, penerimaan masyarakat.

Untuk ketersediaan alat, bila di dalam negeri tidak tersedia alat yang dimaksudkan, mungkin bisa diimpor dari India yang jelas-jelas telah mempraktekkannya. Namun, mengingat ini teknologi sederhana, rasanya dan seharusnya tidak sulit untuk diadakan di dalam negeri. Terlebih, berdasarkan informasi yang ada, beberapa daerah sudah pernah mempraktekkan e-voting untuk pemilihan kepala desa.

Mengenai ongkos yang dibutuhkan, e-voting harus lebih murah dibanding cara tradisional. Harus dihitung secara cermat apakah pengadaan mesin bisa lebih memangkas biaya ketimbang mencetak surat suara plus ongkos rekapitulasi yang berjenjang. Secara teoretis, ongkos tersebut seharusnya lebih murah karena banyak yang bisa dipangkas dengan e-voting. Bukan hanya biaya surat suara, tapi juga tenaga manusia yang dibutuhkan untuk mendistribusikan dan melipat surat suara tersebut.

Yang terberat adalah soal kemauan politik DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Problem utamanya adalah soal trust (kepercayaan) dan kebiasaan melihat pemilu sebagai proyek. Penghematan biaya pemilu sering tidak didukung karena berarti banyak yang tidak kebagian proyek lagi. Selain itu, ada soal trust yang tak pernah selesai, yaitu apakah mesin itu bisa dipercaya seratus persen, tidakkah nantinya malah bisa direkayasa. Soal-soal seperti ini seharusnya tidak menghalangi langkah perbaikan pemilu ke depan bila ada niat untuk memperbaiki karut-marut pemilu.

Terakhir, dari sisi masyarakat, perubahan dari mencoblos, lalu mencontreng, dan kemungkinan memencet atau menekan tombol, bisa jadi persoalan, terlebih di daerah-daerah tertentu yang tingkat pendidikannya sangat minim. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah segera menyelesaikan Undang-Undang Pemilu yang baru agar ada waktu untuk sosialisasi. Skenario terbaik, RUU Pemilu diajukan pada 2010 dan disahkan pada 2011, sehingga ada waktu tiga tahun untuk sosialisasi Pemilu 2014. Sebagai langkah awal, e-voting bisa juga diujicobakan dalam pilkada.

E-voting adalah alternatif perbaikan yang perlu didiskusikan lebih lanjut untung-ruginya. Semua pihak yang terlibat dan berkepentingan terhadap pemilu seyogianya secara serius memikirkan langkah perbaikan ke depan. Bila tidak, pemilu di Indonesia akan terus-menerus diwarnai kecurangan, yang pada gilirannya akan menyebabkan pemilu kehilangan makna dan kepercayaan sebagai sarana paling demokratis untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin.***