31 May 2009

Memperjuangkan Hak Pemilih Non-DPT

Defending Citizen's Voting Rights

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 1 June 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer
at Centre for Electoral Reform (CETRO)

Karut-marut daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu Legislatif 9 April 2009 menyebabkan semua pihak tersentil. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab berlari kencang. Sejumlah paket sosialisasi digeber, termasuk kampanye masif di televisi dengan sejumlah bintang sinteron terkenal.

Pemerintah yang merasa tersentil juga menggerakkan aparatnya di level terbawah untuk membantu pemutakhiran daftar pemilih. Seperti yang saya rasakan, RT memberikan formulir dan setelah nama-nama didaftar, daftar nama tersebut diberikan lagi ke warga untuk dicek apakah namanya sudah tercantum atau tidak.

DPR juga merasa peduli dan bertindak seperti pahlawan kesiangan dengan menyetujui penggunaan hak angket. Meski DPT merupakan domain KPU, DPR tetap merasa perlu mengarahkan penyelidikan ke pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyediaan data pemilih ketimbang meminta pertanggungjawaban KPU secara langsung.

Stelsel Pasif-Aktif
Bagaimana hasil dari semua reaksi dari ketersentilan itu? Adakah semua warga negara yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah akan tercantum dalam daftar pemilih?

Meminjam ungkapan penyanyi rock Candil dari band Seurieus, KPU juga manusia. Kendati sudah berlari kencang dan bekerja setengah gila, pastilah masih ada warga negara yang masih tercecer, tidak terncamun dalam DPT. Misalnya, mereka yang hidup di gubuk-gubuk liar atau di kolong jembatan dan tanpa identitas kependudukan. Mereka juga warga negara dan memiliki hak untuk memilih presidennya pada 8 Juli nanti. Siapa tahu sang presiden betul-betul memenuhi janjinya untuk menyejahterakan rakyat, termasuk mereka yang terpinggirkan tersebut.

Sistem pendaftaran pemilih di Indonesia berstelsel pasif-aktif. Semua warga negara yang telah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah wajib didaftar dalam daftar pemilih, tak peduli apakah mereka berkenan didaftar atau tidak. Setelah didaftar, apakah akan menggunakan hak memilihnya atau tidak, hal itu merupakan hak dari pemilih yang bersangkutan. Inilah yang dimaksud dengan stelsel pasif. Namun, UU Pilpres juga meminta warga negara untuk secara aktif mengecek apakah mereka sudah tercantum dalam daftar pemilih sementara (DPS) atau tidak sebelum ditetapkan menjadi DPT. Inilah sisi aktifnya.

Mereka yang tidak tercantum dalam daftar pemilih akan kehilangan haknya untuk memilih karena UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menentukan hanya mereka yang terdaftar yang dapat memilih. Inilah ironi dari sistem pendaftaran pemilih di Indonesia. Di satu sisi kewajiban mendaftar diberikan kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya), tetapi di sisi lain, bila tidak terdaftar, seorang warga negara tidak bisa memilih. Kelalaian KPU mendaftar ditimpakan konsekuensinya kepada warga negara.

Bila sitemnya stelsel aktif, bisa dipahami bila mereka yang tidak terdaftar tidak bisa memilih. Dalam stelsel aktif, untuk dapat memilih, warga negara memang harus mendaftarkan diri, bukan didaftarkan. Artinya, keinginan untuk memilih diukur dari tindakan mereka mendaftarkan diri. Tidak mendaftar sama artinya tidak berkeinginan untuk memilih. Memang, dalam titik ini pun harus dicatat peran penyelenggara pemilu dalam hal voter information dan voter education agar pemilih tergerak mendaftar.

Aturan dalam Pasal 28 UU Pilpres yang menyatakan bahwa warga negara harus tercantum dalam daftar pemilih telah menghilangkan hak pemilih. Mereka yang tidak tercantum dalam daftar pemilih belum tentu tidak berkeinginan memilih. Bisa saja mereka tidak tahu informasi karena sosialisi buruk dari KPU atau baru kembali dari bepergian dan sebab-sebab lainnya. Karena hak memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia, hal itu tidak boleh dihilangkan dengan mudahnya.

Inskonstitusional
Karenanya Pasal 28 UU Pilpres dan pasal-pasal terkait harus dieliminasi. Caranya dengan melakukan revisi terbatas UU Pilpres. Bila revisi sulit dilaksanakan karena berbelitnya birokrasi pembentukan undang-undang di DPR, jalan perppu harus segera diwacanakan. Presiden harus mengeluarkan perppu tentang penghapusan Pasal 28 tersebut. Warga negara yang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap bisa memilih sepanjang memperlihatkan identitas kependudukan yang sah di semua TPS di negeri ini, termasuk di TPS luar negeri.

Bila presiden pun tidak tergerak untuk melindungi hak rakyat dengan mengeluarkan perppu, jalan yang saya tawarkan adalah pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diharapkan MK mau menganulir ketentuan Pasal 28 dan pasal-pasal terkait dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, terutama menghilangkan hak konstitusional pemilih yang dijamin konstitusi dan sejumlah undang-undang.

Bila ketiga jalan juga gagal –revisi terbatas, perppu, dan pengujian undang-undang—harus ada keberanian dari KPU untuk membolehkan mereka yang tidak tercantum dalam DPT untuk memilih sebagai langkah melindungi hak pilih warga negara. Yang penting KPU dapat membuat mekanisme sedemikan rupa agar mereka yang tidak tercantum tersebut tidak memilih berkali-kali, menjadi ghost voter untuk memenangkan pasangan calon.

Caranya, antara lain, tinta pemilu harus betul-betul berkualitas, tidak gampang dihapus. Petugas KPPS betul-betul memastikan bahwa jari pemilih tercelup ke dalam tinta dan tidak menyediakan tisu atau kain pembersih karena akan menyebabkan tinta mudah hilang.

Cara lain, mereka yang tidak terdaftar tersebut diberikan kesempatan memilih setelah semua pemilih terdaftar menggunakan haknya atau menjelang TPS ditutup sehingga mereka tidak sempat bergerak ke TPS lain.

Banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk melindungi hak pilih warga negara yang tidak tercantum dalam DPT. Banyaknya warga negara yang harus kehilangan hak memilihnya lantaran tidak tercantum dalam DPT sebagaimana terjadi dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 harus menjadi pelajaran barharga bagi semua pihak untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Hanya keledai yang mau terjerambab pada lubang yang sama. Kita makhluk berpikir, bukan keledai.***

Kampanye Minus Larangan

Campaign Minus Borders


Published by Indonesian media

Jurnal Nasional, 1 June 2009



Refly Harun

Constitutional Law Expert and Election Observer, Centre for Electoral Reform (Cetro)

Pada 29 Mei lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang kemudian dilanjutkan dengan pengundian nomor urut calon keesokan harinya. Artinya, baru pada 29 Mei ada pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2009. Sebelumnya hanyalah bakal calon presiden dan wakil presiden.

UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menentukan bahwa kampanye dimulai tiga hari setelah pasangan calon presiden dan wakil presiden ditetapkan. Dengan demikian, masa kampanye baru dimulai pada 2 Juni (esok hari).

Faktanya, semua bakal pasangan calon telah melakukan kampanye sebelum 2 Juni, terutama kampanye melalui media cetak dan media elektronik. Sebagai otoritas penyelenggara pemilu, KPU tidak dapat menegur curi start seperti itu karena UU Pilpres tidak menjangkau kampanye yang dilakukan oleh bakal pasangan calon. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga tidak mampu mengejar dari aspek pidana pemilunya karena, sekali lagi, kegiatan tersebut belum dikategorikan kampanye menurut aturan formal.

UU Pilpres mendefinisikan kampanye sebagai kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon (Pasal 1 angka 22). Ketika Mega-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto belum ditetapkan sebagai pasangan calon maka unsur kampanye belum terpenuhi. Segala kegiatan yang mereka lakukan tidak bisa dikategorikan sebagai kampanye, tidak juga dapat diartikan sebagai curi start kampanye. Curi start kampanye hanya terjadi sejak pasangan calon ditetapkan pada 29 Mei hingga sebelum 2 Juni.

Etika adalah jawaban dari masalah ini. Bila hukum formal tidak dapat menjangkau, seyogianya setiap pasangan calon menghormati etika berpemilihan untuk tidak memanfaatkan lubang-lubang (loop holes) peraturan. Sayangnya, etika itu semakin jauh dari kegiatan berpemilu kita. Bahkan, ketika undang-undang jelas-jelas melarang kampanye setalah 29 Mei dan sebelum 2 Juni, masih saja ada iklan yang berbau kampanye terselubung, yaitu iklan mengenai kegiatan kemasyarakatan salah satu calon.

Namun, tidak bisa begitu saja pasangan calon atau tim sukses dipersalahkan atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, baik dengan memanfaatkan celah peraturan maupun yang kasat mata, karena undang-undang sendiri sering tidak realistis dan terlalu banyak mengatur. Di masa depan sebaiknya tidak dimuat lagi aturan yang menyatakan bahwa kampanye baru dimulai tiga hari setelah ditetapkan sebagai calon. Setiap saat calon atau bakal calon sebaiknya diperbolehkan berkampanye (kampanye dalam pengertian material, bukan formil).

Juga tidak diperlukan aturan larangan kampanye di masa tenang selama tiga hari sebagaimana diatur dalam UU Pilpres karena potensi pelanggaran juga akan terjadi di masa ini. Contohnya, kampanye dengan menggunakan SMS (short message service) pada masa tenang. Kampanye jenis ini susah untuk dihindarkan. Ketika pemilu legislatif lalu, masih ada pimpinan parpol yang berkampanye secara terselubung di masa tenang dengan berpura-pura bersikap tulus untuk mengajak agar jangan golput dan mengimbau bahwa kalah-menang adalah soal biasa. Iklan itu bahkan terus ditayangkan hingga pagi menjelang pencontrengan. Sekali lagi, ini suatu contoh pintarnya politisi memanfaatkan celah aturan.

Pelanggaran curi start kampanye atau kampanye di masa tenang terjadi karena ada aturan yang melarangnya. Seandainya tidak ada aturan yang melarang, kegiatan tersebut tidak menjadi pelanggaran. Karena itu, yang terbaik adalah menghilangkan larangan tersebut di dalam undang-undang. Di negara-negara lain bahkan pada hari ‘H' pun kampanye tidak dilarang. Yang dilarang adalah kampanye pada radius tertentu di tempat pemungutan suara (polling station). TPS harus steril dari simbol-simbol atau kegiatan kampanye peserta pemilu. Tujuannya tidak lain untuk ketertiban dalam proses pemungutan suara.

Filosofi masa tenang bahwa pemilih diberikan kesempatan untuk berpikir tenang sebelum memutuskan pilihannya terlalu merendahkan kecerdasan pemilih. Pemilih pasti sudah punya preferensi. Mereka yang masih swing voter pun tidak memerlukan waktu khusus -apalagi selama tiga hari-untuk memutuskan pilihannya. Mereka sering hanya butuh waktu beberapa menit untuk menentukan pilihan, yaitu ketika berada di bilik suara. Sebelumnya, sangat mungkin mereka tidak terlalu berpikir mengenai pilihan mereka.

Kampanye Negatif dan Hitam

Satu soal lagi yang menonjol dalam kampanye adalah kecenderungan pasangan calon atau tim sukses untuk saling menyerang. Bahasa sehari-harinya kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign).

UU Pilpres sesungguhnya melarang dua bentuk kampanye tersebut. Dalam pasal tentang larangan kampanye, misalnya, ditegaskan bahwa tidak boleh menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau pasangan calon yang lain (Pasal 41 ayat [1] huruf c).

Yang membedakan negative campaign dan black campaign adalah soal fakta. Negative campaign didasarkan pada fakta yang ada (faktual), sementara black campaign bisa dikatakan mengada-ada (fitnah). Negara-negara lain, terutama negara maju, hanya melarang black campaign, tidak negative campaign. Namun, UU Pilpres rupanya melarang untuk menjelek-jelekkan calon lain meskipun hal tersebut bersifat faktual.

Di masa depan, sekali lagi, saya melihat untuk melonggarkan larangan kampanye. Hanya black campaign yang seharusnya dilarang, tetapi tidak negative campaign. Pasangan calon harus siap untuk "diobok-obok" track record-nya baik oleh kompetitor maupun masyarakat karena dalam panggung pilpres yang kita cari adalah pemimpin terbaik. Mereka harus siap dibuka semua borok masa lalunya agar masyarakat tahu seperti apa mereka sesungguhnya.

Satu hal yang perlu dicatat, kendati negative campaign diperbolehkan, belum tentu hal tersebut menjadi sarana efektif. Buktinya, ketika Mega diserang dalam Pemilu 1999 oleh AM Saefuddin (PPP) setelah "bersembahyang" di sebuah pura di Bali, PDIP tetap melaju dan Bali solid di belakang Mega. Demikian pula, ketika banyak pihak meragukan "keproislaman" SBY pada Pemilu 2004, ia tetap melaju dan menang. Artinya, dalam memilah persoalan dan memilih calon, masyarakat cukup cerdas. Mereka tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu negatif dan murahan. Bahkan, ada kecenderungan pihak yang diserang justru jadi pemenang. Jadi, buat apa terlalu banyak larangan.***